Main Article Content
Abstract
Gambaran praktik historis menunjukkan bahwa persoalan formal pemilu apakah melalui sistem distrik atau proporsional seperti yang akhgir-akhir ini ramai dibicarakan orang tidak menjadi masalah dalam Islam. Para yuris Islam (fuqaha) kemudian memformulasikannya secqara konseptual dalam berbagai literatur fiqh yang biasanya dikaitkan dengan pembahasan masalah wakalah (lembaga perwakilan). Dalam perspektif fiqh, unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam lembaga perwakilan itu adalah muwakkil (orang yang memberikan madat), wakil (orang yang mendapatkan mandat/mandataris), muwakkil fih (segala urusan yang dipercayakan kepada seseorang mendatariss), sighat (ikrar), dan ta’yin, yaitu penentuan figur kandidat yang akan menduduki parlemen. Untuk konteks Indonesia, bila mengacu kepada referensi fiqh lebih dekat mengarah kepada penggunaan sistem distrik karena dalam sistem ini ada unsur ta’yin yang jelas, antara pemberi mandat dengan seorang mandataris sama-sama saling mengetahui terjadinyya ijab kabul dalam peristiwa bai’at, serta terjalinnya hubungan yang baik antara Uli al-Amri dengan rakyatnya karena adanya keterikatan langsung.