ANALISIS KERANGKA REGULASI MODEL SHARIAH
GOVERNANCE LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA[1]
Ali Rama*
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat 15412, Indonesia
Abstrak
Shariah governance merupakan konsep tata kelola yang unik dan khusus bagi
perusahaan atau lembaga keuangan yang menawarkan produk dan jasa yang sesuai
denganprinsip syariah.Shariah governance hakekatnya menjadi
komplementer dari sistem tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) yang sudah ada yang fungsi utamanya
untuk melakukan review atas kepatuhan syariah atas seluruh aktivitas perusahaan
baik sebelum terjadinya transaksi (ex-ante)
maupun setelah terjadinya transaksi (ex-post).
Untuk menjalankan fungsi tersebut, sistem shariah
governance harus memiliki tiga komponen utama, yaitu dewan syariah (DPS),
opini kepatuhan syariah dan proses review
syariah. Pada prakteknya, model shariah
governance lembaga keuangan syariah (LKS) yang diterapkan di berbagai
negara bervariasi disebabkan adanya perbedaan kerangka hukum yang mengaturnya.
Penelitian ini menganalisis model shariah
governanceLKS
berdasarkan kerangka hukum yang berlaku di Indonesia melalui analisis konten
terhadap undang-undang, peraturan, surat edaran dan peraturan lainnya yang
berhubungan dengan keuangan dan perbankan syariah. Shariah governance pada penelitian ini dilihat dari empat aspek
utama, yaitu pernyataan regulasi yang mengaturnya, struktur organisasi, proses
dan fungsi shariah governance.
Penelitian ini menemukan bahwa konsep shariah
governance LKS di Indonesia disinggung secara singkat dalam UU Perbankan
Syariah yang selanjutnya dijabarkan secara umum melalui PBI dan SEBI. Adapun struktur
organisasi shariah governance mengadopsi
model sentralisasi melalui dewan fatwa pada level nasional yang selanjutnya
membentuk dewan syariah pada level perusahaan. Sementara dari segi prosesnya,
Indonesia menganut pendekatan moderat. Selanjutnya, aspek fungsi shariah governance memiliki fungsi utama
sebagai pengawasan dan penasehatan. Dengan demikian, pihak otoritas perlu
mengembangkan konsep shariah governance
yang komprehensif dalam bentuk guidelines
yang jelas dan ketat demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kepatuhan
syariah oleh para industri.
Kata kunci: shariah governance,
tata kelola perusahaan, lembaga keuangan syariah, dewan pengawas syariah.
I.
PENDAHULUAN
Industri
keuangan syariah seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi secara
global mengalami pertumbuhan yang cukup menjanjikan. Pertumbuhantersebut
tidak hanya segi
jumlah aset dan variasi produk tetapi juga cakupan geografis, termasuk aspek
regulasi dan kelembagaannya. Menurut laporan IFSB[2] total aset industri
keuangan syariah diperkirakan telah mencapai sekitar USD 1,6 triliun dengan
tingkat pertumbuhan sebesar 20,4% pertahun pada akhir tahun 2012, dan telah
beroperasi di lebih 75 negara di seluruh dunia
dengan jumlah lebih dari 300 lembaga keuangan syariah. Perbankan
syariah� masih menjadi pilar utama
pertumbuhan industri keuangan syariah global, tumbuh rata-rata sebesar 38,5%
pertahun dari tahun 2004-2011. Sementara pasar modal syariah global yaitu sukuk, reksadana syariah (Islamic funds), dan indeks syariah juga
terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Penerbitan sukuk misalnya tumbuh rata-rata sebesar
44,0% pertahun dari tahun 2004-2011.
Secara
geografis, penyebaran lembaga keuangan syariah tidak hanya terkonsentrasi di
negara-negara mayoritas Muslim seperti di Timur Tengah, tetapi mulai berkembang
di negara-negara muslim minoritas seperti UK, Jerman, Singapura, dan Thailand.
Perluasan geografis industri keuangan syariah tersebut berdampak pada
penyesuaian peraturan dan perundang-undangan yang sudah berlaku di
masing-masing yurisdiksi. Terdapat dua pendekatan yang secara umum diadopsi
yaitu integrated approach (pendekatan
terpadu) dimana lembaga keuangan syariah diatur oleh undang-undang yang sudah
ada, dan hanya perlu amandemen. Pendekatan ini berlaku di UK, Jerman, dan Singapura. Adapunsegregated approach (pendekatan terpisah) yaitu, lembaga keuangan syariah diatur oleh undang-undang yang
berbeda dengan undang-undang konvensional yang sudah ada.� Kedua pendekatan tersebut, biasa disebut dual-financial
system.� Pendekatan ini berlaku di
Malaysia, Indonesia, dan Pakistan.
Pertumbuhan
kelembagaan kuangan syariah harus direspon dengan penguatan sistem tata kelola
perusahaan yang baik atau biasa disebut good
corporate governance. Desain tata kelola perusahaan lembaga keuangan
syariah (LKS) tentunya memiliki keunikan dengan lembaga keuangan lainnya. Hal
ini terjadi dikarenakan LKS selain harus menerapkan sistem tata kelola
perusahaan pada umumnya, LKS juga memiliki kewajiban untuk mengembangkan sistem
tata kelola yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip syariah pada
seluruh produk, instrumen, operasi, praktek, dan manajemen LKS.
Istilah shariah
governance merupakan istilah yang digunakan pada LKS sebagai suatu bentuk
struktur yang unik dan khusus di LKS, yang berfungsi untuk memastikan bahwa
seluruh operasi LKS sesuai dengan syariah (shariah
compliant)
IFSB[3] memandang
konsep shariah governance hanya
merupakan komplementer dari sistem tata kelola yang sudah ada pada LKS. Selain
memiliki dewan direksi, audit internal, dan eksternal, dan unit kepatuhan sebagai elemen utama dari
sistem tata kelola perusahaan, LKS harus memiliki dewan syariah (Dewan Pengawas
Syariah atau DPS), audit syariah internal dan eksternal serta unit kepatuhan
syariah sebagai elemen utama dari sistem shariah
governance. Dalam
sistem shariah governance, Dewan Pengawas Syariah berperan penting dalam
proses supervisi, monitoring, audit, dan
pemberian opini terhadap kepatuhan syariah pada lembaga keuangan atau
perusahaan yang menawarkan produk dan layanan syariah. Keberadaan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi perusahaan atau lembaga
keuangan syariah menjadi suatu yang unik dalam sistem tata kelola perusahaan.
DPS adalah elemen penting dalam sistem tata kelola syariah (shariah
governance). DPS merupakan suatu badan yang diberi wewenang untuk melakukan
penasehatan dan atau pengawasan serta melihat secara dekat aktivitas lembaga
keuangan syariah agar lembaga tersebut konsisten mengikuti dan mentaati aturan
dan prinsip-prinsip syariah.
Model
shariah governance yang diadopsi oleh
berbagai negara berbeda-beda. Hal ini terjadi disebabkan adanya perbedaan
kerangka regulasi yang mengatur sistem shariah
governance di masing-masing yurisdiksi. Studi yang dilakukan oleh Rama
(2014), Hassan, dkk (2013), Zulkifli (2010), dan Grais dan Pallegrini (2006)
menunjukkan bahwa sebagian negara mengatur secara detail tentang kerangkashariah governance LKS pada UU perbankan
dan keuangan syariah mereka, sebaliknya sebagian negara tidak mengatur secara
ketat dan membiarkan industri untuk melakukan pengaturan masing-masing.
Penelitian
ini bermaksud untuk melakukan analisis investigatif terhadap kerangka regulasi shariah governance LKS di Indonesia
berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Penelitian ini
mengembangkan klasifikasi shariah
governance berdasarkan studi terdahulu yang terdiri dari empat aspek utama,
yaitu (1) posisi shariah governance
dalam undang-undang/peraturan; (2) struktur organisasi shariah goveranance; (3) proses shariah
governance; dan (4) fungsi dewan syariah.
II. METODE
PENELITIAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap model shariah governance LKS di Indonesia. Aspek shariah governance LKS yang ditelusuri dari dokumen hukum yang ada meliputi
aspek regulasi, struktur organisasi, proses, dan fungsi dari shariah
goverannce.
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah jenis data primer-kualitatif, yang diperoleh melalui berbagai bentuk dokumen hukum
seperti undang-undang, peraturan, surat edaran, dan dokumen terkait lainnya. Dokumen hukum yang dimaksud
adalah undang-undang perbankan syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI)[4] atau Peraturan
OJK, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) atau Surat Edaran OJK yang membahas
tentang kerangkashariah goveranance LKS di
Indonesia. Data-data tersebut didapatkan melalui penelusuran di website resmi
lembaga-lembaga terkait. Data sekunder lainnya sebagai penunjang penelitian ini
bersumber dari buku, jurnal, dan hasil penelitian yang terkait dengan tema penelitian
ini.
Penelitian ini selanjutnya menggunakan metode analisis konten
terhadap berbagai dokumen hukum untuk mendapatkan gambaran tentang model shariah governance LKS di Indonesia. Analisis konten (isi)
merupakan jenis analisis yang berusaha membahas secara mendalam terhadap suatu
isi teks. Suatu teks dapat diteliti secara mendalam berdasarkan pada
kategori-kategori yang dikembangkan. Dokumen hukum berupa undang-undang
perbankan syariah, PBI, SEBI dan jenis peraturan lainnya,
yang merupakan jenis teks
yang dapat dianalisis dan dikategorikan berdasarkan pada tujuan penelitian.
Analisis konten dilakukan berdasarkan pada empat kategori shariah governance terhadap isi dokumen hukum yang terkaituntuk mendapatkan gambaran
model shariah goveranance yang
diadopsi oleh kerangka hukum di Indonesia.
A.
Kajian
Pustaka
Secara
historis, konsep shariah governance �memiliki kesamaan dengan konsep hisbah[5]dalam
sejarah masyarakat Islam klasik, yaitu sebagai lembaga khusus yang mengawasi
berjalannya pasar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kedua sistem ini
memiliki banyak kemiripan khususnya pada fungsi kelembagaannya, yaitu untuk
menegakkan prinsip dan aturan syariah dalam organisasi perusahaan atau pasar.
Institusionalisasi
Dewan Pengawas Syariah dapat dianggap sebagai bentuk konsep modern dari muhtasib[6]
dalam masyarakat Muslim modern. Berbeda dengan konsep tradisional hisbah
yang lebih kepada pengawasan pasar, lembaga Dewan Pengawas Syariah berfungsi
dalam tata kelola internal perusahaan/lembaga keuangan syariah yang menjalankan
tugas penasehatan (advisory) dan pengawasan (supervisory)
terhadap kepatuhan syariah
Konsep
corporate governance (CG) sebagai
sistem tata kelola yang umumnya dilaksanakan di perusahaan mengalami proses
pengembangan makna dari waktu ke waktu � mulai dari konsep yang sempit yang
lebih mengedepankan pada orientasi kepentingan stakeholders sampai kepada konsep yang lebih luas yang mencakup
semua stakeholders
Dalam konteks tata kelola
lembaga keuangan syariah (LKS), istilah shariah
governance dimunculkan sebagai suatu sistem komplementer atas sistem tata
kelola yang sudah ada. Adapun definisi shariah governance menurut IFSB
adalah �a set of institutional and organisational arrangements through which
Islamic financial institutions ensure that there is an efective independent
oversight of shariah compliance over the issuence of relevant shariah
pronouncements, dissemination of information and an internal shariah compliance
review�
Dalam kerangka shariah governance, sistem pengawasan
syariah dilakukan dalam dua� proses,
yaitu proses sebelum dan sesudah transaksi. Di dalam proses sebelum transaksi (ex-ante),
pengawasan dilakukan dengan adanya pihak independen berupa Shariah
Supervisory Board (SSB) atau Sharia Advisory Firm yang memberikan
fatwa mengenai operasi dan struktur lembaga keuangan syariah. Selain itu,
keberadaan fungsi kepatuhan diperlukan untuk mensosialisasikan prinsip-prinsip
syariah serta melakukan pengawasan langsung terhadap kepatuhan prinsip syariah
pada setiap tingkatan dan transaksi. Untuk pengawasan sesudah transaksi (ex-post)
dilakukan oleh fungsi audit syariah internal yang merupakan bagian dari atau
terpisah fungsi audit internal. Selain itu pengawasan ini juga dilakukan oleh
fungsi audit eksternal independen yang memastikan bahwa penelaahan kepatuhan internal
telah memenuhi standar. Proses pengawasan ini dapat melibatkan Shariah
Supervisory Board atau Sharia Advisory Firm
Dalam sistem shariah
governance, Dewan Pengawas Syariah (DPS)[8]
berperan penting dalam proses supervisi, monitoring, audit dan pemberian opini
terhadap kepatuhan syariah pada lembaga keuangan atau perusahaan yang
menawarkan produk dan layanan syariah. Keberadaan DPS dalam struktur organisasi perusahaan atau
lembaga keuangan syariah menjadi suatu yang unik dalam sistem tata kelola
perusahaan. Fungsi DPS di berbagai negara berbeda-beda, namun secara umum
meliputi tiga aspek utama yaitu penasehatan, pengawasan, dan penelitian
Dalam
menjalankan fungsi pengawasan dewan syariah pada internal perusahaan secara
optimal, sistem shariah governance
membentuk departemen atau unit lain dalam struktur perusahaan dengan nama shariah review unit. Unit ini dapat
secara independen dari unit lain yang sudah ada atau menjadi bagian yang tak
terpisah dari internal audit dan departemen kontrol.
B.
Analisis Model Shariah Governance LKS Di Indonesia
Studi kerangka regulasi shariah governance atas sejumlah negara
di Timur Tengah, Inggris, dan Malaysia yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan menemukan bahwa model shariah governance yang diadopsi oleh
masing-masing yurisdiksi bervariasi
Beberapa yurisdiksi menerapkan
sistem regulasi yang komprehensif yang melibatkan pihak otoritas terkait untuk
mengatur industri keuangan secara ketat dan disiplin. Sebaliknya, beberapa
yurisdiksi justru membiarkan pelaku industri untuk menentukan kerangka shariah governance yang diadopsi
berdasarkan pada kebijakan dan model praktis yang terbaik. Kedua model tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan masih sulit untuk
menentukan mana model ideal diantara keduanya yang layak untuk dijadikan model
terbaik.
Bagian ini akan menganalisis model shariah governance bagi lembaga keuangan
syariah di Indonesia berdasarkan empat aspek, yaitu regulasi, struktur
organisasi, proses dan fungsi shariah
governance berdasarkan kerangka hukum keuangan dan perbankan syariah yang
ada.
1.
Aspek Regulasi
Aspek ini difokuskan untuk melihat apakah sistem shariah governance diatur dalam bentuk
undang-undang tersendiri, yaitu terpisah dari undang-undang konvensional yang sudah ada.Selain itu, juga melihat apakah diatur dalam bentuk
undang-undang saja atau diikuti dengan peraturan lembaga otoritas terkait
seperti bank central dan guidelines
tentang kerangka penerapan shariah
governance lembaga keuangan syariah di masing-masing yurisdiksi.
Keberadaan perbankan syariah di Indonesia, diatur melalui undang-undang tersendiri dengan nama UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Sebelum lahirnya UU Perbankan Syariah, industri
perbankan syariah masih diatur secara bersama melalui UU perbankan
konvensional, yaitu UU No. 10 Tahun 1998, hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. UU tentang Perbankan Syariah selanjutnya dijelaskan lebih
detail dan operasional melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)[9]
dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). UU, PBI dan SEBI yang berhubungan
dengan bank syariah dapat dilihat pada Tabel 2.
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pihak yang bertugas
untuk melakukan pengawasan kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip
syariah disebut sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS). Setiap bank syariah atau
bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) wajib membentuk DPS
yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi
kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.[10].
Dengan demikian, DPS adalah elemen penting dari sistem shariah governance pada level perusahaan (mikro). Pada level
nasional, ada lembaga bernama Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia� (MUI) yang
bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa
dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.[11]
Hakekatnya, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan
atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN.
Meskipun UU Perbankan Syariah tidak memberikan penjelasan yang rinci
tentang DPS, tetapi Bank Indonesia melalui PBI dan SEBI yang dikeluarkan, memberikan perincian dan guidelines terkait dengan dewan pengawas syariah beserta pelaksanaan
GCG pada bank syariah. Setidaknya terdapat tiga PBI dan dua SEBI yang
menguraikan tentang sistem tata kelola syariah atau shariah governance pada bank syariah. Uraian masing-masing
peraturan dan surat edaran tersebut dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1Regulasi Sistem Shariah Governance LKS di Indonesia.
Pelaksanaan GCG pada bank syariah dijelaskan melalui PBI No.
11/33/PBI/2009. PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG bagi bank
syariah dan UUS serta bagaimana peran masing-masing dari Dewan Komisaris,
Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syariah. Dalam PBI ini juga
dijelaskan tentang format self assessment
pelaksanaan GCG pada bank syariah. Pada bagian pengawasan syariah dijelaskan
tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung
jawab, mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak
melaksanakan kewajibannya. Meskipun guidelines
ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut sebagai model kerangka shariah governance yang menyeluruh bagi
bank syariah. Format guidelines GCG
ini cenderung hasil penyesuaian dengan guidelines
GCG bagi bank konvensional[12] yang sudah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada
keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam struktur organisasi perusahaan.
Penjelasan lebih detail tentang teknis pelaksanaan GCG bagi bank syariah
diuraikan melalui Surat Edaran BI (SEBI) No. 12/13/DPbS/2010.
Selain undang-undang
dan peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI
juga mengeluarkan Surat Keputusan No. 03 Tahun 2000 tentang Penunjukan
Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan
Syariah. Pada surat keputusan tersebut dijelaskan tentang syarat, tugas dan
fungsi dan perangkapan keanggotan DPS. Sebagaimana diketahuan DSN-MUI bukanlah
organisasi pemerintah, sehingga produk fatwa yang dikeluarkannya tidak bersifat
mengikat dan final. Namun berdasarkan pada PBI No. 6/24/PBI/2004 sebenarnya telah menjadikan fatwa-fatwa tentang perbankan
syariah dan keuangan syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI wajib menjadi
rujukan bagi lembaga keuangan yang menawarkan produk dan jasa layanan keuangan
syariah.
Berdasarkan uraian aspek regulasi dari kerangka shariah governance dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga pihak
utama yang berperan penting dalam pengawasan syariah dalam sistem perbankan di
Indonesia, yaitu Bank Indonesia yang saat ini beralih ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), Dewan Syariah Nasional di bawah keorganisasian Majelis Ulama Indonesia
dan Dewan Pengawas Syariah yang dibentuk pada level perusahaan. Undang-undang
dan peraturan yang mengatur tentang DPS diatur secara terpisah dengan
undang-undang perbankan konvensional. UU yang diterbitkan diuraikan lebih
lanjut melalui PBI dan SEBI termasuk di dalamnya terkait dengan pengawasan
aspek syariah. Meskipun regulasi terkait sistem shariah governance cukup banyak namun belum bisa dikatakan
Indonesia sudah memiliki sistem regulasi kerangka shariah goverannce yang komprehensif. Hal ini disebabkan karena guidelines dalam bentuk PBI dan SEBI
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia tidaklah bersifat komprehensif sebagai
kerangka sistem shariah goverannce.
Sistem shariah goverance dalam
peraturan tersebut masih menjadi sub bagian khususnya hanya terletak pada Dewan
Pengawas Syariah.
2.
Aspek Struktur
Organisasi
Pada aspek ini akan melihat
bagaimana bentuk struktur shariah
governance pada level perusahaan dan pada level nasional. Apakah sistem shariah
governance pada sistem keuangan syariah memiliki lembaga yang
tersentralisasi atau independen yang memiliki otoritas berbeda?.
Struktur shariah governance di Indonesia mengakui adanya dua level
pengawasan syariah. Level pengawasan pertama adalah dewan syariah pada level
nasional yang biasa disebut sebagai Dewan Syariah Nasional (DSN), dan kedua
adalah dewan syariah pada level perusahaan yang disebut Dewan Pengawas Syariah
(DPS). Kedua lembaga tersebut disebutkan secara jelas dalam UU No. 21 Tahun
2008 dan PBI No.6/24/PBI/2004.
DSN adalah
lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi
melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mengenai masalah-masalah yang berhubungan
dengan aktivitas keuangan syariah. MUI adalah organisasi perkumpulan
ulama yang berasal dari berbagai organisasi Islam di Indonesia yang berstatus
sebagai organisasi non-pemerintahan. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji,
menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariat) dalam
bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga
keuangan syariah.[13]
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi pedoman bagi lembaga keuangan yang
menawarkan layanan keuangan syariah. Meskipun status keorganisasian DSN adalah
organisasi non-pemerintah tetapi fatwa yang dikeluarkan khususnya terkait
dengan transaksi keuangan bersifat megikat bagi pelaku industri keuangan
syariah sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 UU No. 21/2008 tentang Perbankan
Syariah. Sementara hubungan antara DSN dan Bank Sentral Indonesia adalah
bersifat koordinasi.
Gambar 1: Struktur Organisasi DSN dan DPS
Pengawasan terhadap pelaksanaan
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS)
pada level perusahaan. DSN sebagaimana dijelaskan oleh PBI No.11/33/PBI/2009
adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan syariah. Proses pengangkatan DPS
melalui proses pengajuan oleh bank kepada Bank Indonesia atas calon DPS yang
telah mendapatkan rekomendasi DSN-MUI.[14]
Bank Indonesia berwewenang untuk menerima dan menolak atas calon aggota DPS
yang diajukan.
Dengan demikian, DPS merupakan
lembaga unik dalam sistem shariah
governance di Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan DSN berdasarkan
persetujuan dari Bank Indonesia. DSN berperan dalam menjembatani hubungan
antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional. Dalam artian, DSN
memperantarai fatwa DSN ke dalam peraturan Bank Indonesia. Pengawasan DSN
meliputi dua hal, yaitu (i) pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru
bank; dan (ii) pengawasan terhadap kegiatan bank. Hasil pengawasan DPS disampaikan kepada Bank Indonesia dengan
menggunakan format yang telah ditentukan oleh BI.
Keputusan yang dikeluarkan oleh DPS
terkait dengan pelaksanaan prinsip syariah pada bank bersifat mengikat (binding). Hal demikian dikarenakan DPS
adalah lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan pada PBI. Hubungan antara DPS
dengan direksi dalam struktur organisasi perusahaan adalah hubungan koordinasi,
yaitu DPS dapat memberikan nasehat dan saran kepada direksi terkait pelaksanaan
prinsip syariah pada bank (lihat Gambar 2). Di sisi lain, fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN tidak bersifat mengikat kecuali jika diadopsi menjadi
peraturan bank Indonesia.
Gambar 2: Struktur Organisasi DSN
pada Perusahaan
3.
Aspek Proses
Aspek proses dari praktek shariah governance meliputi (i)
pengangkatan dan pemberhentian; (ii) komposisi; (iii) persyaratan; dan (iv)
batasan rangkap jabatan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional (DSN).
Undang-undang perbankan syariah
tahun 2008 mewajibkan pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank
syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. Mekanisme pengangkatan
dan pemberhentian DPS pada bank syariah diatur melalui PBI No.11/3/PBI/2009 dan
SEBI No. 12/13/DPbS/2010 . Langkah pertama adalah bank syariah wajib mengajukan
proposal pengajuan calon anggota DPS yang disertai dengan dokumen pendukung
kepada Bank Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
Bank Indonesia kemudia melakukan persetujuan atau penolakan atas permohonan
yang diterima berdasarkan pada pemeriksaan kelengkapan dokumen dan wawancara
yang dilakukan. Dengan demikian, Bank Indonesia dan DSN bertanggungjawab dalam
memastikan calon anggota DSN yang ditunjuk sudah memenuhi persyaratan peraturan
yang ada. Hal yang menarik dari ketentuan prosedur ini adalah bahwa DPS tidak
ditunjuk semata oleh masing-masing bank tetapi berdasarkan pada hasil fit and proper tes yang dilakukan oleh
BI dan DSN. Ini mengindikasikan bahwa DSN sebagai lembaga pengawas syariah pada
level perusahaan bersifat independen dari proses pengangkatannya. Di sisi lain,
pemberhentian anggota DPS dapat terjadi jika yang bersangkutan tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik seperti tidak melakukan penasehatan,
penilaian, pengawsan dan review terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah
pada bank.
Jumlah anggota DPS berdasarkan PBI
No. 11/3/PBI/2009 dalam struktur organisasi suatu bank tidak kurang dua orang
atau paling banyak 50 persen dari jumah anggota direksi. Satu orang dari
anggota DPS bertindak sebagai ketua. Ketentuan bagi anggota DPS adalah hanya
dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS tidak lebih dari empat (4) lembaga
keuangan syariah, yaitu dua (2) bank lain dan dua (2) lembaga keuangan syariah
non bank.[15]
DPS juga tidak boleh merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS dan
atau UUS.[16]
Tambahan, sebanyak-banyaknya dua (2) anggota DPS dapat merangkap jabatan
sebagai anggota DSN.
Perangkapan jabatan sebagai anggota
DPS sampai empat lembaga keuangan syariah lainnya dapat memunculkan masalah
bias keputusan yang dikeluarkan. Begitupula dengan keanggotaaan ganda sebagai
anggota DPS dan di saat bersamaan sebagai anggota DSN. Keanggotaan ganda
tersebut dapat berimplikasi pada masalah independensi. Mengingat bahwa DPS
harus secara periodik melakukan laporan hasil pengawasan kepada DSN terkait
dengan pelaksanaan prinsip syariah pada suatu bank.�
Sementara segi persyaratan, anggota
DPS adalah harus memiliki (i) integritas berupa akhlak yang baik, komitmen
terhadap perundang-undangan dan pengembangan bank syariah; (ii) kompotensi
berupa pengetahuan dan pengalaman di bidang muamalah dan pengetahua di bidang
perbankan dan keuangan secara umum; dan (iii) reputasi kuangan yang baik. Namun
demikian, PBI tersebut tidak mensyaratkan perlunya keanggota DPS berasal dari
latar belakang yang berbeda terutama dari segi kualifikasi, pengalaman dan
pengetahuan. Keragaman tatar belakang tersebut akan membantu anggota DPS dalam
melakukan pengawasan syariah.
Dewan Syariah Nasional sebagai
lembaga otoritas tertinggi yang berwewenang mengeluarkan fatwa terkait dengan
transaksi keuangan syariah dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia. Adapun
keanggotaan DSN diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam,
Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan para praktisi perekonomian yang memenuhi
kriteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN melalui Rapat Pleno
DSN-MUI.
4.
Aspek Peran dan Fungsi
Aspek penting dari sistem shariah governance mencakup tentang
peran dan fungsi dewan pengawas syariah pada lembaga keuangan syariah. Bagian
ini akan menganalisis peran dan fungsi dewan pengawas syariah di perbankan
syariah.
Undang-Undang
Perbankan Syariah Tahun 2008 secara umum menyebutkan tugas dari Dewan pengawas Syariah
(DPS) pada setiap bank adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi
serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS menurut PBI No. 6/24/PBI/2004
antara lain meliputi: (i) memastikan dan mengawasi mengawasi kesesuaian
kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; (ii)
menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan
Bank; (iii) memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan
operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank; (iv) mengkaji
produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN;
dan (v) menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang kurangnya setiap
enam (6) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank
Indonesia. Sementara SEBI No.12/13/DPbS/2010 meringkas bagaimana DPS melakukan
tugas tanggung jawabnya dengan cara antara lain: (i) melakukan pengawasan
terhadap proses pengembangan produk baru; dan (ii) melakukan pengawasan
terhadap kegiatan bank.
Penjelasan yang tidak jauh berbeda tentang peran, fungsi dan
tanggung jawab DPS tercantum dalam Surat Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000
tentang petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan
Syariah. Adapun fungsi utama DPS adalah (i) sebagai penasehat dan pemberi saran
kepada direksi, pimpinan unit usaha syari'ah dan pimpinan kantor cabang
syari'ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari'ah; dan (ii) sebagai
mediator antara lembaga keuangan syari'ah dengan DSN dalam mengkomunikasikan
usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syari'ah yang
memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Sementara kewajiban anggota DPS meliputi
(i) mengikuti fatwa-fatwa DSN; (ii) mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan
syari'ah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah
difatwakan oleh DSN; dan (iii) melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan
lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya
dua kali dalam satu tahun.
Berdasarkan pada BPI dan Surat Keputusan
DSN-MUI yang menjelaskan tentang peran, fungsi dan tanggung jawab DSN sebelumnya
menunjukkan bahwa seorang anggota DSN harus memiliki kompotensi dalam bidang
fiqh muamalah untuk menjalakam tugas dan perannya secara maksimal. Namun penjelasan PBI
No. 11/3/2009 tentang kompotensi bagi anggota DPS hanya menekankan perlunya
pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah muamalah dan pengetahuan perbankan
dan keuangan secara umum. Tidak dipersyaratkan setidaknya harus memiliki latar
belakang pendidikan di bidang syariah (hukum Islam) atau batas minimal
pengalaman di bidang perbankan dan keuangan.
Keputusan yang dikeluarkan oleh DPS terkait dengan hasil
pengawasan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah bersifat mengikat yaitu
memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat DPS adalah lembaga resmi yang
dibentuk melalui Peraturan Bank Indonesia.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada studi dokumen hukum terkait dengan praktek shariah governance di� Indonesia berdasarkan pada aspek regulasi,
struktur organisasi, proses, dan fungsi shariah governance,ditemukan bahwa secara umum regulasi (UU dan peraturan) tentang perbankan dan keuangan syariah
sudah mengatur tentang sistem shariah
goveranance bagi lembaga keuangan syariah di Indonesia.
Sistem shariah governance di
Indonesia disinggung melalui UU Perbankan Syariah khususnya pada bagian pembahasan
dewan pengawas syariah. Konsep tata kelola LKS diatur dalam bentuk PBI dan
SEBI. Sayangnya regulasi ini belum bisa dikatakan sebagai guideline yang komprehensif tetang sistem shariah governance bagi LKS di Indonesia. Sementara pada aspek
struktur shariah governance,
Indonesia menerapkan model sentralisasi pengawasan syariah dengan mengembangkan
dua level pengawasan, yaitu level makro melalui DSN-MUI sebagai otoritas fatwa
syariah keuangan tertinggi dan level mikro yang menempatkan dewan pengawas
syariah pada level perusahaan. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bersifat binding (mengikat). Hal ini terjadi
karena fatwa-fatwa yang dikeluarkan diadopsi dalam bentuk Peraturan BI
(sekarang peraturan OJK) yang selanjutnya pengawasannya dilakukan oleh DPS internal
perusahaan. Dengan demikian, DPS adalah penghubung hubungan antara DSN-MUI
dengan BI/OJK.
Pada aspek proses dari shariah
governance ditemukan bahwa Indonesia menggunakan pendekatan moderat dalam
proses shariah governance-nya.
Pendekatan moderat misalnya terlihat dari dibolehkannya anggota DSN-MUI untuk
menjadi anggota DPS pada level perusahaan. Hal ini berbeda dengan apa yang
berlaku di Malaysia yang justru melarang anggota Shariah Advisory Council (SAC)
untuk merangkap menjadi anggota Shariah Committee pada perusahaan. Model ini
tentunya dapat meminimalisir terjadinya konflik kepentingan.
Pada aspek fungsi pengawas syariah ditemukan bahwa DPS hanya berfungsi
pada panasehatan dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan aspek
syariah oleh dewan syariah pada level perusahaan dapat dibentuk internal shariah unit. Unit ini membantu
dewan pengawas syariah dalam melakukan proses audit kepatuhan syariah setiap
saat di internal lembaga keuangan syariah. Untuk model struktur internal shariah
review pada unit ini, dalam konteks di Indonesia tidak dijelaskan secara khusus. Unit ini, nampaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari unit audit
internal perusahaan (LKS).
DAFTAR PUSTAKA
AAOIFI,� Statement on Governance Principles and
Disclosure for Islamic Financial Institutions.
AAOIFI, Governance
Standard for islamic Financial Institutions, No. 1-3, 1999, Bahrain.
Grais, W dan
Pellegrini, M. (2006), �Corporate
Governance and Shariah Compliance in Institutions Offereing Islamic Financial
Sevices�, September 2006, World Bank.
Hasan, Zulkifli
(2010), �Regulatory Framework of Shariah
Governance System in Malaysia, GCG Countries and the UK�, Kyoto Bulletin of
Islamic Area Studies, 3-2, p. 82-115.
Hassan, et.al. (2013), �A Comparative Analysis of Shariah Governance in Islamic Banking
Institutions Across Jurisdiction�, Isra Research Paper, No. 50/2013.
IFSB Report 2013.
IFSB (2009), Guiding
Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic
Financial Sevices, December 2009.
Iqbal dan Mirakhor
(2011), An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice
(Singapore: John Wiley).
Islamic Financial
Services Board (2009), Guiding Priciples on Shariah Governance System for
Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009.
Isra (2010), Islamic
Financial System: Principles and Operations, (Isra Press: Kuala Lumpur).
Kumpulan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 2000-2007.
Handoko, Luqman Hakim and Saim Kayadibi
(2013), �The Implementation of Good
Governance in the Era of Caliphate Omar Ibn Abd al-Aziz (61H-101 H/717-720 M)� Global
Review of Islamic Economics and Business, Vol. 1, No. 2.
Rama, Ali (2014), �Analisis Komparatif Model Shariah Governance
Lembaga Keuangan Syariah: Studi Kasus Negara ASEAN�, Laporan Penelitian
Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014
Taimiyah, Ibnu (2008), Al-Hisbah,
edisi terjemahan (Jakarta: Nusantara Intikarma Pratama).
Wardhany, Nurhastuty
dan Arshad, S. (2012), �The Role of
Shariah Board in Islamic Banks: A Case Study of Malaysia, Indonesia, and Brunei
Darussalam�. 2nd Isra Colloquium.
��������������������������������������������������������
Dokumen Hukum
Indonesia
1. PBI No. 11/33/PBI/2009
tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS
2.
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
3.
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
4.
PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
5.
PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
6.
SEBI No. 12/13/DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
7.
SEBI No. 8/19/DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah
dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah
8.
Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syariah
Tabel 1:Regulasi
Sistem Shariah Governance LKS di
Indonesia
Regulasi |
Uraian tentang
sistem Shariah Governance dan Dewan
Pengawas Syariah |
1.
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah - �Dewan pengawas syariah� (Bab V Pasal 32), - Tata kelola bank
syariah (Bab VI pasal 34) |
a.
Kewajiban bank syariah membentuk DPS melalui RUPS atas
persetujuan MUI. b.
Fungsi DPS untuk memberikan nasehat dan saran bagi direksi
dan pengawasan bank terkait kepatuhan terhadap prinsip syariah. c.
Ketentuan lebih lanjut diatur melalui PBI. d.
Bank syariah wajib menerapkan tata kelola yang baik yang
mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional
dan kewajaran e.
Bank syariah wajib menyusun prosedur inetrnal mengenai
pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut. |
2.
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan - Penjelasan Pasal 6 |
a.
Hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU
ini secara spesifik menjelaskan adanya jenis bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip syariah. Dan pada bagian penjelasan pasal disebutkan tentang
Dewan Pengawas Syariah meskipun tidak diuraikan lebih lanjut lagi. |
3.
PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah - Pasal 34, 35, 36,
37, 38, 39 |
a.
Bank berkewajiban membentuk DPS di tingkat pusat. b.
Syarat-syarat menjadi anggota DPS dilihat dari segi
integritas, kompotensi, dan reputasi keuangan. c.
Tugas dan tanggungjawab DPS. d.
Komposisi DPS dan batasan rangkap jabatan sebagai DPS pada
bank lain e.
Mekanisme pemilihan dan pengangkatan DPS |
4.
PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah - Pasal 44, 45, 46,
47, 48, 49, 50, 51 |
a.
Usulan pengangkatan DPS dan masa jabatan. b.
Tugas dan tanggungjawab DPS. c.
Pembuatan laporan hasil pengawasn oleh DPS d.
Ketentuan rapat bagi DPS e.
Aspek transparansi DPS |
5.
PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah - Pasal 21, 26, 27
,32, 33 |
a.
Persyaratan anggota DPS b.
Komposisi DPS, ketentuan rangkap jabatan di DSN dan di bank
syariah c.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS d.
Mekanisme pengangkatan DPS |
6.
SEBI No. 12/13/DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah |
a.
Mekanisme pengangkatan calon anggota DPS b.
Tugas dan tanggungjawab DPS c.
Ruang lingkup pengawasan DPS d.
Laporan hasil pengawasan DPS e.
Fasilitas yang diterima oleh DPS dalam menjalankan
pengawasan di bank f.
Batasan-batasan bagi DPS g.
Sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan tugasnya h.
Kewajiban untuk membuat laporan penilaian (self assessment) pelaksanaan GCG pada
bank syariah |
7.
SEBI No. 8/19/DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah
dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah |
a.
Ketentuan isi laporan hasil pengawasan DPS pada bank
syariah |
8.
Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syariah |
a.
Ketentuan keanggotan DPS b.
Syarat-syarat keanggotan DPS c.
Tugas dan fungsi DPS d.
Prosedur pengangkatan DPS e.
Kewajiban anggota DPS terkait hubungannya dengan DSN-MUI f.
Ketentuan perangkapan keanggotan DPS di lembaga keuangan
syariah yang lain |
[1] Penelitian ini merupakan
hasil pengembangan dari penelitian tentang Shariah
Governance yang dibiayai oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun anggaran 2014. Penelitian ini diajukan untuk
diterbitkan di Jurnal Ekonomi Islam La-Riba.
*Korespondensi Penulis
melalui Email: [email protected], HP: +6282190191028
[2]Lihat Laporan
Tahunan IFSB 2013.
[3]International Islamic Financial Services Board (IFSB). Merupakan
lembaga regulasi dan supervisi bertaraf interrnasional yang memiliki tujuan
untuk memastikan kesehatan dan stabilitas industri keuangan syariah yang
meliputi perbankan, pasar modal dan asuransi. Lembaga ini didirikan pada tahun
2002 yang berbasis di Kuala Lumpur.
[4] Dokumen hukum
yang digunakan dalam penelitian ini khususnya terkait dengan peraturan dan
surat edaran yang berhubungan dengan perbankan syariah di Indonesia masih
menggunakan peraturan dan surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
(BI) sebelum aturan/surat edaran tersebut dikonversi menjadi aturan dan surat
edaran Otoritas Jasa Keuangan. Dengan berdirinya OJK maka peraturan terkait
dengan perbankan syariah yang sebelumnya berada di bawah BI beralih ke OJK.
[5] Istilah hisbah dapat ditemukan dalam buku �Al Hisbah� karangan Ibnu Taimiyah.
[6]Muhtasib menurut Ibnu Taimiyah (2008) adalah pihak yang diberikan
wewenang untuk menegakkan aturan Allah di dalam pasar untuk menindak setiap
pelaku, individu ataupun kelompok, yang melakukan perbuatan demikian secara jelas
(dzahir), baik berupa perbuatan atau
ucapan, dan juga melarang semua kegiatan yang menjurus pada pelanggaran dzahir dari hukuman hudud (bukan menangani hukum hudud,
karena hudud urusan lembaga
peradilan).
[7] Lihat PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan
UUS, Pasal 1, Ayat 10.
[8]Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan istilah umum yang
digunakan di Indonesia untuk menyebut institusi pengawasan internal syariah di
bank syariah. Beberapa negara menyebut DPS sebagai shari'a supersory board (SSB), atau shari'a committee (SB), dan atau shari'a council (SC). DPS menurut PBI No. 11/3/PBI/2009
tentang Bank Umum Syariah, adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan
saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip
syariah.
[9] Penelitian ini masih menggunakan
Peraturan dan Surat Edaran yang berhubungan dengan perbankan syariah yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). Peraturan dan Surat Edaran yang digunakan
pada penelitian ini saat ini sudah berada di bawah naungan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
[10] Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal
33.
[11]Lihat PBI No. 6/24/PBI/2004, bagian Ketentuan Umum.
[12] Lihat
PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum.
[13] Lihat Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) 2000-2007.
[14] Lihat SEBI No.12/13/DPbs/2010.
[15] Lihat PBI No. 6/24/PBI/2004.
[16]Lihat SEBI No. 12/13/DPbS/2010.