MEMAHAMI
KONSEP AL-FALĀH MELALUI UPAYA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DALAM WORLD
ISLAMIC ECONOMIC FORUM (WIEF)
Ulfa Jamilatul Farida
Program Studi Ekonomi Syariah
STAIS-Kutai Timur
E-mail:[email protected]
Abstract
Global
food crises occurred post 2008 have clearly figured out the susceptibility of
food security of world countries not only in poor countries but also welfare
countries. World Bank data shows that there are millions of hungry people
everyday. Referring to FAO data, it is known that the buried countries in the
world caused by food are primarily faced by Muslim countries. This research
aims to study strengthening food security in Muslim countries and resolution
mechanism. Food problem is a common problem that is difficult to be overcome by
each country alone. That is why a cooperation mode becomes important to
overcome food problem of Muslim countries. Food problem is economic problem
both conventional and Islamic economic. In Islamic economic aiming to realize
al-falah, food sufficiency is a primer condition in gaining the aim. World
Islamic Economic Forum is international organization of Muslim world which
concerned to food problem. Therefore, it is very relevant for this
international organization to be subject of research. Starting studying on
condition of food security in Muslim world and food in a global context,
research questions will be discussed by using operational frame in gaining al-falāh and through integration of Muslim world and
representative concept of food security. Technically this research is using
double research strategy mutually combining quantitative and qualitative
approach to gain sharp analyses. The result of the study is strengthening food
security in Muslim world done by World Islamic Economic Forum is significant
first step by availability of Memorandum of Agreement (MoA) among Muslim
countries, mutually cooperation of agriculture investment, and effort to
upgrade the potentiality of each Muslim countries by conductively trade cooperation.
The process of gaining al-falāh is manifested in effort step to
fulfill a sufficiency of food in Muslim world.
Key
words: Food security, al-Falāh, Maqāşid
al-Syarī�ah.
Hak dasar manusia adalah mendapatkan makanan dan
kebutuhan dasar lainnya. Makanan adalah hak yang pertama harus dipenuhi untuk
sebuah kehidupan di dunia ini. Molla dalam Mohamed Behnassi, Sidney Draggan,
Sanni Yaya (2001, p.127) menyebutkan bahwa terdapat 25.000 orang yang
diantaranya adalah 18.000 anak-anak dan 7.000 orang dewasa meninggal karena
kelaparan dan lebih dari 1 milyar orang kelaparan setiap malamnya di seluruh
pelosok dunia Dari data FAO daftar sebaran penduduk yang mengalami kelaparan
dan ketidaktahanan pangan adalah negara-negara muslim yang juga merupakan
kelompok negara anggota organisasi konferensi islam yaitu antara lain:
Banglades dan negara-negara Afrika sub Sahara.
Dalam konteks ini, masyarakat yang
tidak dapat mengembangkan penyesuaian diri terhadap kerentanan-kerentanan yang
ada akan mengakibatkan terjadi ketahanan pangan yang tidak baik. Bentuk
ketidaktahanan pangan ada dua macam yaitu bersifat transitori dan
bersifat kronik. Ketidaktahanan transitori adalah masyarakat yang
kekurangan makanan akibat bencana alam atau gagal panen, sementara
ketidaktahanan kronik adalah kekurangan makanan yang terus menerus
karena daya beli dan sumber daya insan yang rendah (Shaw, 2007) Kondisi kemiskinan di negara-negara muslim ini rata-rata adalah
kelaparan atau ketidaktahanan pangan kronik.
Mengapa terjadi kemiskinan dan siapa yang idealnya
bertanggung jawab terhadap masalah kemiskinan tersebut? Menurut Molla (2001,
p.129) secara umum kemiskinan yang berakibat pada kondisi kelaparan dan
ketidaktahanan pangan disebabkan oleh sistem proteksi yang berakibat pada
penyalahgunaan fungsi makanan, makanan yang berkualitas rendah, sistem pasar
yang buruk, kekerasan dalam suatu negara atau kondisi perang, jumlah penduduk
yang berlebihan, wabah penyakit, dan lain sebagainya.
Kondisi sebagaimana terurai di atas adalah kondisi
riil masyarakat dunia pada umumnya dan rakyat di negara muslim pada khususnya.
Berangkat dari gambaran ini penelitian ini fokus bagaimana sikap Islam secara
operasional menjawab masalah buruknya ketahanan pangan negara-negara muslim.
Selanjutnya terkait dengan masalah diatas tentu kajian
Islam dalam bidang ekonomi yang sangat relevan untuk menganalisanya. Salah satu
definisi ekonomi Islam menyatakan bahwa ekonomi Islam bertujuan untuk mengkaji
dan mewujudkan kesejahteraan manusia (al-falāh) yang dicapai
melalui pengorganisasian sumber-sumber alam berdasarkan kooperasi dan
partisipasi (Sadeq dan Ghazali , 1992). Anto (2003) mendefinisikan ekonomi
Islam dalam kerangka maqāşid al-syarī�ah. Tujuan utama
ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat (falāh), serta kehidupan yang baik dan terhormat
(al-hayāt at-tayyibah). Kata falāh terdapat di Al-Qu�an
dalam 40 tempat. Falāh mencakup konsep kebahagiaan dalam dua
dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falāh
mencakup tiga aspek, yaitu: (1). Kelangsungan hidup, (2). Kebebasan dari
kemiskinan, (3). Kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi
akhirat, falāh mencakup tiga aspek pokok juga, yaitu:
(1).Kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2).Kesejahteraan abadi,
(3).Berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan.
Dalam konteks tujuan ekonomi Islam maka penelitian ini
membahas mengenai ketahanan pangan di negara-negara muslim yang tergabung dalam
World Islamic Economic Forum (WIEF).[1] World
Islamic Economic Forum (WIEF) relevan untuk menjadi objek kajian mengingat concern
lembaga internasional ini dalam masalah pengentasan kemiskinan dan ketahanan
pangan. Pembahasan ketahanan pangan dalam ekonomi Islam idealnya masuk kategori
isu utama ekonomi Islam mengingat sebagian besar negara muslim mengalami hal
tersebut. Sistem ekonomi dunia selama ini (kapitalis) menjadikan negara-negara
muslim menjadi negara pinggiran, sehingga secara sistemik rentan dengan masalah
kemiskinan dan kekurangan pangan (Wallerstein, 2005).
Masalah ketahanan pangan negara-negara muslim salah
satunya disebabkan proporsi impor bahan pangan jauh lebih besar dibandingkan
dengan ekspornya. Hal ini diperparah dengan keadaan seringkali terjadi
goncangan harga jual beli bahan pangan dunia yang tidak imbang dengan harga
domestik. Masalah ketahanan pangan di negara-negara muslim sudah demikian
kompleks namun belum terlambat untuk mengatasi dan hal ini dapat menjadi entry
point ekonomi Islam memasuki isu ketahanan pangan.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang masalah di atas maka muncul pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana penguatan
ketahanan pangan dalam World Islamic Economic Forum (WIEF)/Forum
Ekonomi Dunia Islam sebagai upaya memahami konsep al-falāh?
C. Kerangka
Teori
1.
al-Falāh sebagai Maqāşid
al-Syarī�ah dalam Ekonomi Islam
a. Sekilas
tentang Maqāşid al-Syarī�ah
Jika
melihat sejarah perkembangan ushul fiqih sebelum al-Syatibi, tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa istilah maqāşid al-syarī�ah
belum ditemukan secara eksplisit. Pembicaraan pada era sebelum al-Syatibi hanya
dapat diidentifikasi secara implisit dalam tema-tema kajian �illah hukum
dan maşlahat. Secara konseptual pengenalan dan pembahasan tentang maqāşid
al-syarī�ah telah dimulai dari Imam al-Haramain al-Juwaini. Imam
al-Juwaini secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak mampu menetapkan hukum
sebelum benar-benar memahami tujuan Allah mengeluarkan perintah dan larangan.
Lebih jauh beliau mengelaborasi maqāşid al-syarī�ah
tersebut dalam �illah dan asl, dan selanjutnya membagi tujuan tasyri�
menjadi tiga macam yaitu: dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyat.[2]
Menurut
Yudian Wahyudi (2007, p.95-96), maqāşid al-syarī�ah
bermaksud mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan manusia, khususnya
umat Islam. Adapun inti dari konsep maqāşid al-syarī�ah
adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik
manfaat dan menolak mudarat. Istilah lain yang sepadan dengan inti dari maqāşid
al-syarī�ah tersebut adalah kepentingan umum, karena penetapan hukum
dalam Islam harus bermuara kepada kepentingan umum (Yusdani, 2000, p.67-68).
Dalam
ushul fiqh, bahasan maqāşid al-syarī�ah bertujuan untuk
mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam
mensyariatkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam
melakukan ijtihad. Ulama ushul fiqh mendefinisikan maqāşid
al-syarī�ah: sebagai makna dan tujuan yang dikehendaki syara� dalam
mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan manusia (Dahlan, 2001, p.1108).
Dari
penjelasan yang telah dikemukakan di atas, baik yang terkait dengan pengertian,
macam dan tingkatannya maupun cara memahaminya, maka maqāşid
al-syarī�ah intinya tidak lain adalah menyangkut kemaslahatan yang
menjadi tujuan dari ditetapkannya hukum syara�. Ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa sejak zaman Rasulullah saw sudah ada petunjuk yang mengacu kepada peranan
penting maqāşid al-syarī�ah dalam pembentukan hukum
Islam.[3]
b. Implikasi Maqāşid
al-syarī�ah dalam Ekonomi Islam
Dalam
perkembangan ilmu ekonomi, paradigma ekonomi Islam mulai bangkit sekitar tiga
dasawarsa terakhir ini, dan seiring dengan itu para mujtahid ekonomi Islam
mulai menggali dan membuat bangunan keilmuan ekonomi berbasis Islam. Dalam
menjawab permasalahan yang semakin kompleks seiring perkembangan zaman,
kerangka al-syatibi mewujudkan maşlahah dalam maqāşid
al-syarī�ah, menawarkan ijtihad taţbīqī sebagai
metode menjawab masalah. Selanjutnya penelitian ini menggunakan
pemikiran-pemikiran dari mujtahid ekonomi Islam yang optimis aka-family:"Times New Roman",serif'>Para
pemikir ekonomi Islam ini mengelaborasi mengenai maşlahah sebagai
tujuan syari�ah dengan membuat indikator-indikator ekonomi berbasis Islam
sehingga secara operasional dapat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitn penerapan
ekonomi Islam seperti Muhammad Akram Khan dari International Institute of
Islamic Thought (IIIT) and Institute of Policy Studies juga pemikir ekonomi
Islam Indonesia dari Tim Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam
(Munrokhim Misanam, M. Bekti Hendrianto, Priyonggo Suseno) Universitas Islam Indonesia
sebagai alat analisa.
maqāşid
al-syarī�ah
dalam ekonomi Islam adalah terwujudnya falāh dalam konteks dunia
maupun akhirat, sehingga bagaimana konsep falāh ini diterjemahkan
dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan diaplikasikan. Falāh dalam
konteks dunia merupakan konsep yang multidimensi yang memiliki implikasi pada
aspek prilaku individu/mikro maupun prilaku kolektif/makro. Untuk kehidupan
dunia, falāh mencakup tiga pengertian yaitu: kelangsungan hidup (survival),
kebebasan berkeinginan (freedom for want) serta kekuatan dan kehormatan
(power and honour). Sedangkan untuk kehidupan akhirat, falāh
mencakup pengertian kelangsungan hidup abadi (eternal survival),
kesejahteraan abadi (eternal prosperity), kemualiaan abadi (everlasting
glory) dan pengetahuan yang bebas dari segala kebodohan (knowledge free
of all ignorance).(Misanam, Anto, and Suseno, 2008,
p.2)
Dalam konteks tulisan ini, definisi
ekonomi Islam yang sangat relevan adalah yang menyatakan bahwa ekonomi Islam
bertujuan untuk mengkaji kesejahteraan manusia (al-falāh) (Ishlahi dalam Sadeq, 1992) yang dicapai melalui
pengorganisasian sumber-sumber alam berdasarkan kooperasi dan partisipasi.
Disarikan dari Khan (1994,
p.35-36), definisi tersebut memiliki tiga kunci konsepsional, yakni:
�
al-falāh
yakni kesejahteraan;
�
resources atau
sumber-sumber daya, dan;
�
kooperasi dan partisipasi.
Tiga
kata kunci di atas selanjutnya berimplikasi secara positif dalam ekonomi Islam
baik secara makro maupun mikro yang mana dapat dilihat dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 1
Aspek Mikro
dan Aspek Makro dalam Fālah
Unsur Fālah |
Aspek Mikro |
Aspek Makro |
Kelangsungan
Hidup |
�
Kelangsungan hidup biologis;
kesehatan, kebebasan keturunan, dan sebagainya. |
�
Keseimbangan ekologi dan
lingkungan |
�
Kelangsungan hidup ekonomi;
kepemilikan faktor produksi |
�
Pengelolaan sumber daya alam �
Penyediaan kesempatan berusaha
untuk semua penduduk. |
|
�
Kelangsungan hidup sosial;
persaudaraan dan harmoni hubungan sosial. |
�
Kebersamaan sosial, ketiadaan
konflik antar kelompok. |
|
� Kelangsungan
hidup politik; kebebasan dalam partisipasi politik. |
�
Jati diri dan kemandirian |
|
Kebebasan
berkeinginan |
� Terbebas
dari kemiskinan |
�
Penyediaan sumber daya untuk
seluruh penduduk |
� Kemandirian
hidup |
� Penyediaan
sumber daya untuk generasi yang akan datang. |
|
Kekuatan
dan harga diri |
� Harga
diri |
� Kekuatan
ekonomi dan kebebasan dari utang |
�
Kemerdekaan, perlindungan
terhadap hidup dan kehormatan. |
� Kekuatan
militer |
Dari
tabel diatas dan jika ditarik dalam konteks penelitian ini menjelaskan bahwa
dalam ekonomi Islam kebutuhan pangan masuk kategori pertama yaitu terkait
kelangsungan hidup dan selebihnya tentu tetap terkait kategori lainnya. Dari
kerangka ini mulai terjawab rasionalisasi dan signifikansi penelitian ketahanan
pangan dalam konteks ekonomi Islam.
2.
Kerangka Fungsionalisme dalam
Integrasi
Neo
fungsionalisme adalah salah satu pemikiran dari teori integrasi yang paling
menyeluruh, sekalipun banyak mendapat kritikan. Neo fungsionalisme pada
dasarnya dapat dilihat sebagai sebagai kelanjutan dari tradisi berfikir kaum
fungsionalisme. Fungsionalisme merupakan cabang dari strukturalisme. Pencetus
fungsionalisme adalah Emile Durkheim, yang menyatakan bahwa fakta-fakta sosial
membutuhkan penjelasan kemasyarakatan yang bersifat fungsional.(Apter, 1985, p. 371)
Berbicara
mengenai teori integrasi, dalam hal ini akan diambil beberapa pendapat tentang integrasi
dari aliran fungsionalisme. Menurut Ernst B. Hass dalam James and Jr (1990), yang terpenting dari integrasi adalah
gagasan bahwa hasil akhir dari suatu proses adalah terwujudnya �komunitas
politik�.
��Integration as a process �whereby political
actors in several distinc national settings are persuaded to shift their
loyalities, expectations, and political activities toward a new center, whose
institutions process or demand jurisdiction over the preexisting national
states.�
Selanjutnya
melalui paduan antara neo fungsionalisme dan integrasi maka diharapkan muncul
sesuatu yang baru yaitu sebuah komunitas politik. Dalam proses ini akan
dibedakan antara organisasi dengan integrasi. Tidak seperti organisasi internasional
yang menetapkan mekanisme kelembagaan antar bangsa, integrasi internasional
membentuk mekanisme pembuatan keputusan di atas mereka (supranasionalisme).
Tesis
utama neo fungsionalisme adalah bahwa integrasi dalam satu sektor cenderung
ekspansif merangsang timbulnya integrasi di sektor-sektor lain. Ini merupakan
strategi yang ditawarkan untuk menuju unifikasi politik. Dalam konteks World
Islamic Economic Forum (WIEF) dalam mengatasi ketahanan pangan
negara-negara muslim dengan adanya kerjasama dan integrasi ekonomi dapat
meminimalisir keterbatasan-keterbatasan yang muncul sehingga masalah dapat
teratasi (Sadeq, 1989, p.101)
D. Metode
Penelitian
Penelitian
ini bersifat eksplanatif dengan menggunakan teknik analisis data Critical
Discourse Analysis atau disingkat CDA (analisis wacana). CDA merupakan
bantuan dalam analisis berbasis bahasa-data. Selanjutnya analisa ekonomi
politik membantu dalam analisa proses integrasi. Dengan demikian posisi CDA
adalah sarana mengatasi masalah positionality dimana pengetahuan tidak
pernah menjadi fenomena netral atau objektif, tetapi sangat tergantung dengan
masalah tempat dari mana orang berbicara, kepada siapa, dan untuk apa tujuannya
(Baker and Galasinaaski, 2001, p.22)
E. Memahami Ketahanan
Pangan dalam WIEF sebagai Manifestasi al-Falah
1.
World Islamic Economic Forum (WIEF)
World Islamic Economic Forum (WIEF)
merupakan evolusi dari pertemuan rutin Forum Bisnis negara-negara anggota
Organisasi Konferensi Islam yang dalam konteks ini masuk dalam aktifitas COMCEC
(Committee for Economic and Comercial Cooperation) berturut-turut tahun
2003 dan 2004 (Pirzada,1988,p.10-14). Organisasi ini akhirnya melaksanakan konferensi pertamanya di
Malaysia pada tanggal 1-3 Oktober 2005. Diawal pembentukannya organisasi ini
diarahkan untuk menyiapkan platform kerjasama dan pertukaran gagasan dalam
bidang bisnis antar negara muslim dan juga menyiapkan jaringan kerjasama dengan
negara non muslim seperti Eropa, Amerika, Australia, dan lain sebagainya.
World Islamic Economic Forum (WIEF)
dibentuk sebagai upaya untuk memperluas jaringan kerja ekonomi dan mewujudkan
kesejahteraan seluruh umat muslim di negara-negara muslim secara khusus dan
masyarakat muslim di seluruh dunia melalui peningkatan aktifitas ekonomi
meliputi bisnis dan perdagangan antar negara tersebut. Arah organisasi WIEF ini
adalah menyatukan dunia Islam sebagai sebuah kaukus (baca: forum yang mempunyai
bargaining position secara politik) perdagangan dan investasi yang
saling menguntungkan yang bisa menarik mitra bisnis dan investor asing dari
berbagai negara-negara di seluruh dunia(Rosyidi, 1981, p.13). Organisasi ini meyakini bahwa kerjasama atau kolaborasi
merupakan corak yang utama dalam hubungan internasional di era Millenium ketiga
ini. Kerjasama bisnis dan perdagangan dapat menjadi jembatan yang riil menuju
kemakmuran dan perdamaian antar negara muslim dan negara bukan muslim. World
Islamic Economic Forum (WIEF) menyetujui arti penting dua segmen utama
dalam masyarakat yaitu kaum muda dan wanita-wanita dari dunia Islam sehingga
penting pula untuk mencari dan memelihara potensi mereka agar maksimum melalui
pendidikan dan pelatihan, serta peluang dalam aktivitas bisnis.
Pada tahun 2003, 57 negara anggota Organisasi Konferensi
Islam memulai diskusi atau mewacanakan mengenai bisnis dan perdagangan menjadi
isu sentral pada konferensi tingkat tinggi negara-negara Organisasi Konferensi
Islam yang diadakan di Putrajaya Malaysia. Pada akhir konferensi pada KTT ini
mendeklarasikan pentingnya kerjasama bisnis
sebagai solusi masalah ekonomi dalam menghadapi di luar dunia Islam. Bersamaan
dengan puncak KTT, Forum Bisnis negara-negara OKI ditunjuk dan disepakati untuk
menyediakan suatu platform bisnis global untuk dunia Islam. Kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Forum Bisnis OKI sehingga dalam kurun waktu yang
relatif singkat forum ini sukses dan menyajikan platform kerjasama ekonomi
negara-negara muslim. Hal ini ditandai terbentuknya �Forum Ekonomi� pada tahun
2005 yang secara resmi sekaligus membuka pintu ke dunia bisnis dengan entitas
non-Muslim. Logika sangat sederhana: Orang Islam tinggal di suatu dunia yang inter-connected
di manapun usaha akan dilakukan akan memperkuat integritas ekonomi antar
negara-negara Islam tanpa bantuan dari dunia non-Muslim. Untuk mencerminkan
logika ini, Forum mengubah nama nya dari Forum Bisnis OKI menjadi Forum Ekonomi
Dunia Islam (World Islamic Economic Forum/WIEF) sehingga dapat
menghadirkan tidak hanya 57 negara-negara OKI, tetapi juga orang/masyarakat
Islam yang tersebar di seluruh dunia dan tentu sektor bisnis akan menarik dunia
non-Muslim.
Dalam konferensi pertama World Islamic Economic Forum (WIEF)
memberikan himbauan kepada masing-masing delegasi untuk melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Membangun sebuah
unit mandiri yang didukung World Islamic Economic Development Corporation
untuk mengidentifikasi dan mempromosikan investasi dan pembangunan
infrastruktur dan merancang investasi antar negara-negara OKI dan seluruh
muslim di dunia dengan penekanan komitmen bantuan kepada negara-negara muslim
yang terbelakang.
b.
Memperkuat jaringan
kerjasama (networking) antarnegara anggota untuk mencapai persekutuan
bisnis yang strategis dan sehat. Dengan persatuan pebisnis negara muslim ini
maka akan dapat membantu memperluas kerjasama bisnis di wilayah lain yang bukan
negara muslim.
c.
Membentuk jaringan
kerjasama pelaku bisnis wanita, pengenalan potensi dan memberikan peluang
investasi.
d.
Membentuk World
Islamic Education Trust yang dibiayai oleh donatur dari negara-negara
anggota untuk memajukan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi, dengan memberikan
penekanan memberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan untuk memperkuat ICT.
Selanjutnya konferensi World Islamic Economic Forum (WIEF) yang pertama ini menghasilkan kesepakatan sebagai
berikut:
a.
Menetapkan tugas
masing-masing negara anggota (delegasi dari negara anggota) untuk mengembangkan
dan membuat kerangka implementasi kerjasama yang mana selanjutnya harus
dilaporkan pada International Advisory Panel pada waktu yang telah
ditentukan.
b.
Menentukan
sekretariat World Islamic Economic Forum (WIEF).
c.
Mendorong
persatuan ekonomi negara-negara muslim.
2. Gambaran
Masalah Ketahanan Pangan Negara-negara Muslim
Untuk melihat kondisi ketahanan
pangan di negara-negara muslim maka jika merujuk negara-negara muslim yang
menjadi anggota World Islamic Economic Forum (WIEF) jumlahnya cukup
banyak sehingga penelitian ini akan mengambil data secara acak negara anggota World
Islamic Economic Forum (WIEF) yang tersebar di wilayah yaitu Asia, Afrika
sub-Sahara, dan negara-negara Teluk Persia.
Dari data FAO memperlihatkan bahwa
mayoritas penderita ketidaktahanan pangan adalah negara-negara di Afrika
sub-Sahara yang nota bene negara muslim maka untuk wilayah ini akan lebih
komprehensif pembahasannya. Afrika sub-Sahara adalah
istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan negara-negara
di benua Afrika yang tidak dianggap termasuk bagian Afrika Utara.
Pada umumnya, Afrika sub-Sahara adalah wilayah termiskin di dunia, yang
diakibatkan oleh warisan penjajahan kolonial, neokolonialisme, konflik
antar-etnis, dan perselisihan politik. Wilayah ini terdiri dari banyak negara-negara paling
terbelakang di dunia.
Menurut
Behnassi, Draggan, and Yaya (2011, p. 284-285), untuk memahami secara
komprehensif masalah ketahanan pangan di negara-negara muslim maka harus dicari
akar masalah masing-masing wilayah. Berbicara mengenai negara-negara sedang
berkembang maka memang sektor pertanian adalah penopang utama masalah ekonomi,
demikian juga yang terjadi di wilayah Afrika sub-Sahara. Jika melihat data FAO,
maka negara-negara di Afrika sub-Sahara ini mengalami kemiskinan juga krisis
pangan (ketidaktahanan pangan), namun apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
Dari seluruh wilayah di dunia yang mengalami ketahanan pangan (krisis pangan)
maka 25% dari total, dialami oleh penduduk di Afrika-sub Sahara. Hal ini
menggambarkan betapa bermasalahnya masalah pangan dinegara muslim wilayah
Afrika sub-Sahara ini. Dalam angka FAO mencatat pada tahun 2001 populasi Afrika
sub-Sahara 667 juta dengan klasifikasi 436 juta masyarakat desa dan dari jumlah
ini 92% adalah petani.
Pertanian
menjadi sumber kehidupan yang utama masyarakat desa, namun tidak beruntungnya
banyak sekali masalah pertanian di wiayah Afrika sub-Sahara. Dalam
perkembangannya sampai tahun 2011 di wilayah negara berkembang secara umum
sektor pertanian mampu mencukupi pangan bahkan meningkat 40%, namun di Afrika
sub-Sahara justru menurun sebesar 5%. Hal ini cukup tragis yaitu ketika sekitar
70% penduduk Afrika sub-Sahara bertani namun mereka semua mengalami
ketidaktahanan pangan kronik. Meskipun lahan Afrika-sub Sahara sangat luas
dibandingkan dengan wilayah negara lain di dunia namun lahan ini tidak subur
untuk pertanian dikarenakan kemarau panjang membuat lahan kering, dan juga
ketika bertani terdapat tanaman-tanaman parasit yang sulit diatasi akhirnya
mengakibatkan gagal panen.
3. Pola WIEF
dalam Ketahanan Pangan dan Tahapan Pencapaian al-Falāh
a.
Ketahanan pangan dalam Islam
Dalam
hal konsep ketahanan pangan, jika ditelaah, Islam dapat menjelaskan melalui dua
bentuk asimilasi. Pertama Islam berbicara konsep dasar pangan dan ketahanan
pangan. Kedua, terkait dengan implementasi konsep dasar tersebut oleh orang
Islam (muslim) dalam keseharian di negara muslim dan bagaimana cara mereka
mencapai ketahanan pangan. Manan (2010) mengemukakan bahwa ketahanan
pangan dalam Islam dapat dilihat dari beberapa persepsi berikut:
�
Pangan dalam
persepsi spiritual, meliputi: amal/kesalehan, hak atas tercukupinya makanan,
ikhtiar mengatasi kemiskinan, dan puasa sebagai manajemen iman dan kontrol
nafsu terhadap makanan.
�
Pangan dalam
persepsi sumber daya, meliputi: manfaat makan untuk menjalankan ibadah, memakan
makanan yang halal, kualitas makanan yang baik, ketersediaan makanan yang
cukup, mekanan termasuk air dan bahan pangan.
�
Pangan dalam
persepsi ketahanan/keamanan, meliputi: nilai yang berhubungan dengan Allah SWT
(Allah Maha Pengasih dan Penyayang), dan nilai yang terkait dengan manusia
(Barang siapa bersyukur Allah akan menambah nikmatnya, dan barang siapa kufur
nikmat maka azab Allah sangat pedih).
�
Pangan dalam
persepsi institusional, meliputi: hubungan personal muslim dengan pertanggungjawaban
sosial, serta tentang tanggung jawab lembaga keuangan Islam.
�
Pangan dalam
persepsi muslim, meliputi: bekerja di jalan Allah, tidak berlebihan dalam
konsumsi, menjauhi perbuatan menimbun makanan, zakat-infak-sedekah.
Sistem makanan suatu individu atau masyarakat dipengaruhi
oleh tingkat kerentanan dan kemampuannya dalam menghadapi perubahan. Penyebab
kerentanan ada tiga yaitu: pertama,
shock adalah perubahan mendadak dan tidak terduga karena alam atau
konflik. Kedua, trend adalah perubahan yang bisa diamati seperti
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, perkembangan politik. Ketiga, seasonality
adalah perubahan musiman dari harga, produksi dan iklim.(Shaw, 2007, p. x-xiv)
Suatu individu atau masyarakat akan selalu berusaha
bagaimana pun caranya untuk tetap dapat memperoleh makanan demi kelangsungan
hidupnya. Masyarakat yang tidak dapat mengembangkan penyesuaian diri terhadap
kerentanan-kerentanan yang ada inilah akan mengakibatkan terjadi ketahanan
pangan yang tidak baik. Bentuk ketidaktahanan pangan ada dua macam yaitu
bersifat transitori dan bersifat kronik. Ketidaktahanan transitori
adalah masyarakat yang kekurangan makanan akibat bencana alam atau gagal panen,
sementara ketidaktahanan kronik adalah kekurangan makanan yang terus
menerus karena daya beli dan sumber daya insan yang rendah. Pada kedua bentuk
ini Islam melihatnya dengan pendekatan yang berbeda.
b. Ketidaktahanan transitori
Ketidaktahanan transitori pernah terjadi pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab
yang terkenal dengan krisis
(al-Haritsi, 2003). Krisis
Ramadah adalah krisis ekonomi yang diakibatkan tidak turunnya hujan yang cukup
lama menyebabkan kekeringan, mewabahnya penyakit dan kelaparan terjadi
dimana-mana. Untuk mengatasi kelaparan Umar melaksanakan beberapa kebijakan
antara lain :
� Mengambil makanan dan
harta dari baitul māl
sampai habis.
� Mengirim surat pada
gubernur-gubernur yang ada di daerah untuk mengirimkan bantuan.
� Menggali teluk yang
menghubungkan Madinah dan Mesir agar bantuan dari Mesir sampai dengan mudah dan
cepat.
� Membangun gudang
penyimpanan makanan yang berisi tepung, kurma, dan makanan-makanan lain yang
berasal dari bantuan-bantuan Mesir
dan wilayah lainnya.
� Memberikan makanan
pada orang-orang yang berhak menerimanya secara berkelanjutan dengan menulis cek. Umar menentukan orang-orangnya
dengan harga yang murah pada saat harga di pasaran lebih mahal. Ia menambah dan
mengurangi menurut jumlah persediaan makanan yang terdapat pada gudang penyimpanan makanan.
c. Ketidaktahanan kronik
Sementara pada ketidaktahanan
kronik yang diakibatkan tidak dapatnya masyarakat merespon
perubahan-perubahan yang ada dapat bersifat jangka pendek yang disebut coping
mechanism dan bersifat jangka panjang yang disebut adaptive mechanism.
Pada jangka pendek tujuan mereka adalah bagaimana mendapatkan makanan, tetapi
dalam jangka panjang tujuannya adalah memperkuat sumber-sumber kehidupan untuk
menjamin keberlanjutan dalam memperoleh makanan (Shaw,
2007). Hal
ini telah dipraktekkan oleh Umar bin Khattab ketika memberi bantuan pada
anaknya Ashim. Selama satu bulan beliau memberi nafkah dari baitul māl,
tetapi setelah satu bulan beliau menghentikan bantuannya dan kemudian menyuruh
anaknya untuk berusaha sendiri, dengan memetik dan menjual buah-buahan yang ada
di kebun Umar (Muhammad,
2002).
Menurut
Mannan (1997), kemiskinan adalah bentuk dari ketidaktahanan kronik.
Kemiskinan timbul karena lemahnya kemampuan untuk mengekspolarasi sumber-sumber
materi yang ada. Bagi mereka adalah bagaimana memperkuat sumber-sumber
kehidupan untuk menjamin keberlanjutan dalam mendapatkan makanan, tidak hanya
mendapatkan makanan dalam jangka pendek. Menurut Abdul Mannan dalam
mengatasi kemiskinan mutlak yang harus dilakukan adalah usaha untuk
meningkatkan pendapatan mereka, tidak hanya sebatas perbaikan dalam distribusi
pendapatan.
�
Terkait dengan
isu ketahanan pangan maka hal ini akan dimulai dengan pembahasan pada putaran
kelima Forum Tahunan World Islamic Economic Forum yang mana waktu itu diadakan pada tahun 2009.
Tema Annual Forum World Islamic Economic Forum kelima ini adalah �Global
Food and Energy Security�. Untuk melihat langkah strategis apa yang diambil
maka penting untuk membahas rekam agenda The Annual Forum World
Islamic Economic Forum yang kelima di Jakarta-Indonesia pada 1-4 Maret
2009.
Pada putaran kelima di Jakarta, ajang
WIEF ke-5 ini jumlah peserta yang hadir mencapai 1.557 perserta yang terdiri
1.395 delegasi, 85 pembicara, 38 kepala negara dan 12 kepala pemerintahan.
Acara ini dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Meneg BUMN Sofyan
Djalil dan Menkominfo, M Nuh. Hadir pula tokoh bisnis nasional seperti Tanri
Abeng, Erwin Aksa dan para CEO BUMN. Setelah pembukaan akan dilakukan Memorandum
of Agreement (MoA) antar sesama negara muslim. Salah satunya berisi
kesepakatan untuk menghadapi krisis pangan dan energi dunia. Kepala Negara,
Perdana Menteri Malaysia Datuk Sri Ahmad Badawi, Perdana Menteri Kerajaan
Maroko, Abbas El Fassy, Abdullah bin Hamad Al Adttiyah dari Deputi Perdana
Menteri Qatar. Syeh Saud bin Syakir Al Qosimi, Deputi Perdana Menteri Bidang
Hukum Emirat Arab.
Membahas mengenai komitmen negara-negara anggota World Islamic Economic Forum (WIEF) dalam ketahanan pangan negara muslim dapat disarikan dari sikap politik masing-masing pejabat (decision maker) dari negara-negara anggota WIEF. Pada pertemuan WIEF ke-lima ini para kepala negara bergiliran menyampaikan sikap politik dan ekonomi, yakni Emir Kuwait Sheikh Sabah Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah, Raja Yordan Raja Abdullah II, Presiden Senegal Abdoulaye Wade yang juga Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), Presiden Afganistan Hamid Karzai, dan Presiden Bosnia-Herzegovina Haris Silajdzic.
Kemudian Emir Kuwait berpandangan, memasuki milenium ketiga umat Islam harus bertekad untuk menjaga dan meningkatkan kualitas umat dan kelembagaan Islam. Menurutnya, jika selama ini sumberdaya alam negara-negara Islam dieksploitasi secara tidak terkontrol (wildly used) maka untuk selanjutnya harus dipertegas orientasinya untuk umat manusia keseluruhan yakni �perang melawan kemiskinan dan peningkatan pendidikan adalah kunci jawabannya�.(www.fundacionbotin.org/file/10145/ 2009)
Raja Yordan menekankan agar umat Islam memantapkan posisinya di antara penduduk dunia sementara negara-negara Islam menepatkan posisinya di lingkungan global, tidak sekadar membagi atau menyebar kemiskinan (share poverty) tetapi membagi kebaikan dan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia keseluruhan. Menurutnya, negara-negara Islam yang berpenduduk kurang lebih 1/5 jumlah penduduk dunia secara nyata harus menegaskan keinginan untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan pasar. Umat Islam dan negara-negara Islam berperan penting untuk terus mendorong hubungan erat antar-umat Islam dan negara Islam, membangun media dan jaringan komunikasi bisnis, meningkatkan pendidikan, dan mengembangkan inovasi.
Presiden Senegal menjelaskan betapa negara-negara di Afrika sangat merasakan dampak kenaikan harga pangan yang ditanggulangi dengan terus memacu upaya produksi menjelang musim hujan bulan Juni nanti. Abdoulaye Wade mendorong pembangunan pendidikan, kesehatan, dan lingkungan serta mengundang masuknya investasi.
Giliran Presiden Afganistan menyampaikan sikap politik dan ekonominya. Hamid Karzai mengatakan, umat Islam sering menghadapi musuh dari dalam, dicontohkan dengan membiarkan bahkan melarang anak-anak berusia 5-12 tahun tidak bersekolah. Kelanjutan pendidikan dalam pengertian luas sangat dibutuhkan untuk menjalin kekuatan bersama umat Islam dari Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, sampai Asia Tenggara untuk membangun kekuatan ekonomi dan memerangi kemiskinan. Selanjutnya Hamid Karzai menyatakan peran pelaku bisnis yang sangat penting.
Selain adanya Memorandum of Agreement dan sikap
ekonomi politik masing-masing negara, maka fungsi strategis WIEF dapat dilihat
adanya kerjasama-kerjasama yang terjadi dari hasil pertemuan tersebut.
Penelitian ini tidak menemukan data yang rigid tentang penanaman investasi
pertanian dari negara ke negara yang lain, namun ada beberapa kesepakatan yang
dapat menjadi contoh nyata efektifnya organisasi ini.
Adapun
contoh-contoh hasil kesepakatan dalam WIEF dibidang investasi pangan adalah
sebagai berikut. Pertama adalah investasi oleh UEA di Provinsi Kalimantan
Timur. WIEF adalah forumnya Negara-negara Islam di dunia dan Kaltim adalah
satu-satunya Provinsi se-Indonesia yang beberapa waktu lalu menandatangani
kerjasama dengan investor Ras-Alkhaimah asal Uni Emirat Arab (UEA) untuk
pembangunan rel kereta api di Kutai Timur (Kutim). Investasi ini mempunyai fungsi
strategis untuk pembangunan klaster industri berbasiskan pertanian dan oleo
chemical (di Maloy, Kutai Timur) sebagai outlet impor hasil CPO.
Selain
itu investasi akan dialokasikan untuk pembangunan Pelabuhan Internasional dan
kawasan industri yang mengolah industri hilir dari CPO. Saat ini, di Kaltim ada
perkebunan seluas 760 ribu hektar dari target 1 juta hektar yang akan selesai
tahun 2014. Sedangkan total petani plasma mencapai 194.489 hektar, sehingga
investasi pertanian melalui WIEF sangat efektif membantu program tersebut.
Proyek di Kaltim ini merupakan hasil dari World Islamic Economic Forum
(WIEF) di Jakarta yang nilainya USD 5 miliar (www.kaltimpost.co.id
/?mb =berita �investor -timteng)
Selain
dengan UEA Kaltim juga menjalin kerjasama dengan MEC/Ras AL Haima UEA, meliputi
pembangunan rel kereta api sepanjang 130 kilometer, dari Muara Wahau ke Lubuk
Tutung. Selanjutnya dibangun juga terminal batu bara dan pembangkit
tenaga listrik berkapasitas 1.400 MW, semua kerjasama ini adalah mutualisme dan
merupakan upaya pemerintah membangun wilayahnya. Provinsi Kaltim dapat menjadi
contoh bagi provinsi lainnya untuk dapat memanfaatkan lembaga WIEF sebagai
media mempertemukan kepentingan investasi, pangan khususnya.
Nota
kesepakatan adalah transaksi jual beli buah-buahan segar Malaysia dan ayam beku
antara Exotic Ecofarm Sdn Bhd dan Badan Perdagangan Cupid dari Bangladesh
senilai 7,3 juta dolar AS. Sementara nota kesepakatan keempat dan kelima adalah
perjanjian dengan nilai total 58 juta dolar AS yang melibatkan Muslim SE.com
Sdn Bhd dengan Most Glory Corp Ltd dan Asia EP.
Kemudian
Indonesia juga berhasil menarik sejumlah investor. Di antara calon investor
yang sempat muncul adalah BinLadin Group yang merencanakan investasi hingga 4,3
miliar dollar AS, salah satunya dengan mengembangkan lahan padi seluas lebih
dari 500.000 hektar di Merauke. Proyek ini akhirnya batal karena krisis
keuangan global. Padahal, Indonesia sudah mencadangkan 2 juta hektar lahan dan
proyek ini, seperti dikatakan utusan RI, Alwi Shihab, digadang bisa mewujudkan
impian Indonesia menjadi eksportir besar beras dunia pada 2009. Isu pangan ini menjadi perhatian
bersama dan menjadi perhatian dalam pertemuan WIEF berikutnya. Bentuk riilnya seperti dalam putaran keenam WIEF,
dunia Islam menindaklanjuti tentang upaya mengatasi ketahanan pangan yaitu
berupa kebijakan penghapusan pajak tambahan dan kerjasama bea cukai. Dengan demikian, sektor swasta di negara-negara Islam
bisa meningkatkan kerjasama di sektor investasi
dan perdagangan.
Berbiacara
mengenai maşlahah dan keberkahan maka sarat dengan nilai adil di
dalamnya. Sejak adanya peradaban manusia ajaran keadilan ditekankan oleh
seluruh agama di muka bumi, jauh sebelum urusan peribadatan dikenalkan. Itulah
yang diyakini sebagai maksud utama turunnya agama (maqāşid
al-syarī�ah). Keyakinan akan kepentingan keadilan itu pula yang
selanjutnya menjadi nilai dasar perlindungan terhadap hak keberagamaan sampai
hak privat yang non diskriminatif, termasuk hak atas keadilan pangan.
Pada
masa Nabi Muhammad ketika membangun peradaban Madinah, urusan keadilan pangan
tidak lepas dari perhatiannya. Dalam banyak rujukan standar, disebut bagaimana
ketegasan Nabi terhadap potensi ketidakadilan pangan karena ulah penimbunan
yang menyebabkan melangitnya harga dan mengakibatkan rumah tangga miskin tidak
mampu membeli makanan. Nabi menyebut para penimbun itu sebagai dosa besar dan
dikutuk oleh Allah.
Perspektif
mendasar fikih pangan adalah kepentingan utama penegakan keadilan pangan. Fikih
pangan bukanlah sekedar terbatas pada fikih dzat pangan berkenaan dengan
kehalalan dan keharaman pangan semata, akan tetapi mencakup pula segala macam
urusan sosial, ekonomi dan politik terkait dengan pangan. Dalam hal ini,
setidaknya mengacu pada pandangan Imam Suyuthi, perlu mendasarkan pada kaidah al-dhararu
yuzaal, yaitu segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan. Dalam konteks
penyediaan pangan haruslah selalu mengacu pada upaya maksimal untuk
menghilangkan segala upaya penyerobotan, penimbunan atau monopoli terhadap
pangan agar kebutuhan pangan rakyat berjalan lancar (al-Suyuthi, 1994)
Dalam
konteks ketidaktahanan pangan negara-negara muslim maka sudah seharusnya
negara-negara muslim untuk bekerjasama dan berintegrasi dalam sebuah kekuatan
ekonomi Islam untuk mengatasinya. Suatu gerakan untuk mencapai maşlahah
tentu saja harus dipenuhi nilai berkah didalamnya. Dan sebagai suatu indikator
universal sebagimana dalam uraian di atas bahwa keberkahan dalam kemaslahatan
pangan adalah nilai keadilan, baik bagi produsen maupun konsumen.
Dalam
hal ketahanan pangan negara anggota WIEF maka falāh yang
berorientasi maşlahah sejalan dengan optimalisasi produksi pangan
masing-masing negara adalah tujuan. Dengan memakai analisis produksi dalam
Islam maka kita dapat melihat bagaimana secara ideal produksi barang agar
mencapai maşlahah. Produksi dalam cakupan ekonomi Islam diartikan
sebagai bagaimana komoditas dihasilkan agar dapat maşlahah terwujud
(Misanam, Anto, and Suseno, 2008). Pemenuhan pangan dalam ekonomi
Islam ketika ditarik pada masalah kenegaraan sesuai dengan apa yang pernah
dipraktekkan dalam sejarah Islam dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:
pertama, produksi pangan sendiri. Kemudian kedua, jika tidak mencukupi maka
produksi sendiri dan impor, serta ketiga jika negara tidak mampu memproduksi
maka impor sepenuhnya.
Ketika
negara mampu memenuhi kebutuhan pangan negaranya sendiri maka relatif tidak
menjadi masalah dalam konteks antar bangsa, dan ketidakadilan biasanya terjadi
dalam masalah distribusi domestiknya. Dan hal ini tidak menjadi fokus kajian
penelitian ini. Selanjutnya ketika masalah pangan menjadi masalah antarbangsa
maka muncul masalah yang harus diatur dalam konteks internasional dan hal ini
seperti halnya dalam proses pemenuhan pangan yang kedua dan ketiga yaitu dimana
ada produsen dan investor sebagai pelaku.
Proses
ketahanan pangan sebagai manifestasi al-falah adalah bahwa proses integrasi negara muslim ke
organisasi internasional WIEF dan selanjutnya WIEF mengatur terjadinya
investasi dan juga menjadi pihak yang melindungi kepentingan produsen sebagai
penghasil terutama melindungi hak-hak petani. Manifestasi maşlahah digambarkan
pada kontrol keadilan sehingga investor tidak melakukan investasi yang agresif
dan monopoli dan di sisi lain WIEF memastikan bahwa dana investasi
benar-benar sampai kepada petani sebagai pelaku produksi pangan sehingga
kesejahteraan tercapai.
Melalui pola sebagaimana diurai di atas maka investor pertanian
akan mendapatkan komoditas pangan yang diinginkan untuk memenuhi ketidaktahanan
pangan dalam negaranya. Dan selanjutnya negara tujuan investasi (produsen) baik
negara yang ketahanan pangannya baik ataupun juga negara yang ketahanan
pangannya buruk akan mendapatkan kesejahteraan dari adanya suntikan modal dari
investor. Dengan demikian WIEF akan menjadi mediator untuk mewujudan maşlahah dalam masalah
ketercukupan pangan negara-negara muslim.
Mewujudkan al-falāh tidak semudah dan
sesingkat menulis konsepnya. Menuju terwujudnya cita-cita mulia ekonomi Islam al-falāh
maka harus mampu membumikan konsep tersebut dalam masing-masing bidang
kajian ekonomi Islam. Dalam konteks ketidaktahanan pangan negara muslim dan
ketika dihubungkan dengan kerangka pemikiran P3EI UII tentang produksi dimana maşlahah sebagai
prasyarat mencapai al-falāh, maka langkah berikutnya mencari maşlahah apa yang
representatif dalam setiap isu.Dalam ketahanan pangan maka nilai keadilan
menjadi indikator dalam pencapaian al-falāh.
Mengukur
keadilan dalam ketercukupan pangan bagi umat bukan hal yang harus diperdebatkan
dalam hal ini, mengingat semua orientasi keadilan di sini adalah kepada tujuan
terwujudnya pemenuhan pangan bagi masyarakat muslim khususnya dan dunia pada
umumnya. Kemudian bagaimana keadilan dapat diwujudkan? Pemerintah atau negara
dimana amanat rakyat dilimpahkan kepadanya mempunyai kewajiban dan kewenangan
untuk mewujudkannya. Demikian pula dalam masalah keadilan terwujudnya kecukupan
pangan dalam masayarakat. Mewujudkan al-falāh tanpa regulasi dari
pemerintah maka hanya akan menjadi cita-cita saja.��
Kemaslahatan dalam hal pangan
melihat bahwa kebutuhan masing-masing individu dalam soal pangan menjadi sangat
vital dan bukan sekedar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.
Dengan kata lain, bukan sekedar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang
diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP). Aspek
distribusi menjadi sangatlah penting, sehingga dapat dijamin secara pasti bahwa
setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemudian,
mekanisme pasar harus berjalan sempurna; ikhtikar (penimbunan) dan spekulasi
harus ditangani. Islam memandang keadilan harus menjadi prinsip sistem ekonomi.
Dalam pandangan Islam, mekanisme pasar bebas adalah sistem yang alami, sistem
yang memungkinkan pelaku ekonomi berkompetisi menuai hasil atas usaha
masing-masing. Namun demikian, Islam menekankan perlunya perlindungan bagi
golongan lemah oleh pemerintah.
Upaya
menerapkan syariah pada sektor pertanian ditengah pesatnya Lembaga Keuangan syariah
terus dilakukan meskipun masih sangat jarang skema pembiayaan syariah dibidang pertanian.
Perbankan syariah masih fokus bermain pada pembiayaan konsumtif, bukan
produktif. Pemerintah dapat meminta perbankan syariah untuk membantu
peningkatan produktivitas, seperti mekanisasi pertanian atau pembelian pupuk
dan bibit. Beberapa skim pembiayaan seperti pinjaman kebaikan atau ijarah dapat
digunakan untuk hal ini. Sejatinya, tidak ada masalah bagi lembaga keuangan
syariah untuk terjun langsung ke sektor pertanian. Pertanian merupakan sektor
strategis yang memberikan potensi jika dikelola dan didukung dengan baik. Dan
lebih dari itu, lembaga-lembaga keuangan syariah memiliki tanggung jawab
vertikal dan horisontal untuk merealisasikan tujuan keadilan.
Pembahasan
model regulasi di atas akan direpresentasikan negara-negara muslim
masing-masing ketika berlaku nasional, dan dalam konteks internasional maka World
Islamic Economic Forum akan menjadi pengejawantahan negara-negara muslim di
dunia. Dan apabila semua proses terwujud sesuai dengan pola-pola di atas maka al-falāh
yang diklasifikasikan Muhammad Arkham Khan dapat terwujud baik dari sisi mikro
maupun makro pada parameter pencapaian pertama dan kedua.
Sebagaimana
terurai sebelumnya pencapaian al-falāh sebagai maqāşid
al-syarī�ah dalam ekonomi Islam bukan merupakan proses yang cepat dan
singkat sehingga masih panjang proses untuk hal tersebut. Aktifitas World
Islamic Economic Forum dalam masalah ketahanan pangan merupakan salah satu
saja dari sekian pekerjaan dalam upaya mewujudkan al-falāh.
Penguatan ketahanan pangan dapat tercapai dengan perhatian yang tinggi terhadap
isu tersebut dan senantiasa mendorong kerjasama negara-negara di dunia untuk
mengatasi krisis pangan dan WIEF sudah memulainya.
6.
Kristalisasi
Kerangka al-Falāh
Isu ketahanan
pangan adalah isu yang masih belum banyak menjadi fokus kajian ilmu ekonomi
Islam di Indonesia sehingga dalam mengeksplorasi dan mengeksplanasi masalah ini
peneliti menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan maqāşid al-syarī�ah untuk mencari tujuan syari�ah dalam ekonomi
Islam. Kemudian analisis ekonomi politik Islam untuk menjawab mengenai masalah
buruknya ketahanan pangan di negara-negara muslim. Berikut ini adalah
kristalisasi pemikiran kerja masing-masing pendekatan, dan dengan bagan ini
akan memperlihatkan bagaimana masing-masing pendekatan bekerja.
���������������������������������������������������
�
Bagan
Proses Pemikiran al-Falāh
dalam Isu Pangan
Induksi���������������������������������������������������� Deduksi
��
Dari bagan di
atas diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memberikan tuntunan pada seluruh
aspek kehidupan, baik hubungan manusia dengan Tuhan, atau manusia dengan sesama
makhluk Tuhan. Selanjutnya dari sumber dasar nash al Qur�an dan juga sumber
dari Sunnah Nabi (Teks) maka dirumuskan maqāşid al-syarī�ah,
dan kemudian ketika aspek kehidupan sangat luas, maka dalam konteks ekonomi
secara spesifik tujuan syari�ah dalam bidang ekonomi adalah terwujudnya al-falāh.
Hal ini merupakan proses induksi dalam ijtihad.
Bagan
Proses Aplikasi Pemikiran al-Falāh
dalam Isu Pangan
Induksi���������������������������������������������������� Deduksi
��
Penting untuk diketahui bahwa dalam
pembahasan penelitian ini pendekatan maqāşid al-syarī�ah
melalui proses induksi mampu mengantarkan tujuan ekonomi Islam adalah terwujudnya
al-falāh yakni kesejahteraan di dunia dan akhirat. Selanjutnya
untuk membuat al-falāh dapat dioperasionalkan maka harus
berintegrasi dengan pendekatan keilmuan yang lain misalnya dalam hal ini ilmu
ekonomi dan ekonomi politik. Hal ini mengingat bahwa dalam dasar hukum syari�ah
Islam tidak mengurai secara eksplisit al-falāh.
Kemudian penelitian ini melalui mekanisme deduksi
menggunakan kerangka Muhammad Akram Khan yang dengan bantuan ilmu makro dan
mikro ekonomi membuat klasifikasi al-falāh di dalamnya agar mampu
dioperasionalkan. Dari gambaran kristalisasi pembahasan penelitian ini dapat
diketahui bahwa maqāşid al-syarī�ah tidak dapat berdiri
sendiri untuk menjawab tantangan zaman atau permasalahan kontemporer dan untuk
membuat maqāşid al-syarī�ah dapat menjawab secara
komprehensif maka harus berintegrasi dengan keilmuan yang lain. Proses induksi
dan deduksi dalam hal ini dipadukan/dikombinasikan untuk dapat menjawab
permasalahan yang dalam penelitian ini secara spesifik adalah masalah ketahanan
pangan negara-negara muslim.
F.
Kesimpulan
Program ketahanan
pangan dalam World Islamic Economic Forum (WIEF) sebagai upaya
perwujudan al-falāh adalah melalui integrasi negara muslim dan
kerjasama dalam investasi pertanian. Pola integrasi yang efektif melalui World
Islamic Economic Forum (WIEF) adalah bahwa masing-masing negara muslim
melepaskan identitas dan kekuatan politiknya dan memberikan loyalitas kepada
lembaga supranasional yakni WIEF. Selanjutnya World Islamic Economic Forum
(WIEF) menjadi wakil dunia Islam secara dan mempunyai peran melakukan
upaya-upaya penyelesaian masalah pangan dunia Islam. Dalam konteks ini al-falāh
hanya akan tercapai apabila aktivitas ekonomi dalam Islam dilakukan dengan
orientasi maslahah, artinya proses produksi dan investasi bahan pangan
sarat nilai keadilan sebagai indikator maslahah-nya. Adapun fungsi
strategis World Islamic Economic Forum (WIEF) adalah lembaga yang sudah
semestinya mengatur dan mengontrol lalu lintas investasi pertanian untuk pangan
mengingat hal ini rentan dengan monopoli dan investasi yang eksploitatif.
Adapun proses penguatan keahanan pangan untuk mencapai al-falāh oleh
World Islamic Economic Forum (WIEF) adalah sebagai berikut: adanya MoA,
adanya sikap politik negara muslim, dan kerjasama investasi pertanian antar
negara muslim yang kondusif.
�
Daftar Pustaka
Anto,
M.B. Hendri. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami, (Yogyakarta:
EKONISIA)
Apter,
David. 1985. Introduction to Political Analysis, terj. Setiawan Abadi
(Jakarta: LP3ES).
Asmuni Mth, Aplikasi
Beberapa Qawa�id Fiqhiyah, Diktat Kuliah Fiqh Legal Maxim yang tidak
diterbitkan.
Baker,
Chris and Dariuzs Galasinaaski. 2001. Cultural Studies and Discourse
Analysis: A Dialogue on Language and Identity, (London: SAGE Publications
Ltd).
Behnassi,
Mohamed, Sidney Draggan, Sanni Yaya (Ed.). 2011. Global Food Insecurity,
Rethinking Agricultural and Rural Development Paradigm and Policy, (New
York: Springer).
Dahlan,
Abdul Azis [ed. Et. Al.]. 2001. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve).
Daugherty,
James and Robert L. Pfaltzgraff, Jr. 1990. Contending Theories of
Internastional Relations A Comprehensive Survey Third Edition (New York:
Harper Collins Publisher).
Immanuel
Wallerstein. 2005. World System Analysis: An Introduction, (Amerika:
Duke University Press).
Khan,
Muhammad Akram. 1994. An Introduction to Islamic Economics, (Islamabad,
Pakistan: International Institute of Islamic Thought and Institutes of Policy
Studies, IIIT)
Mannan, M. Abdul. 1997. Teori dan
Praktek Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Mastingin, (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa).
Miles,
Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru, (Jakarta: UI Press).
Misanam,
Munrohim, M. Bekti Hendri Anto, Priyonggo Suseno. 2008. Textbook, Ekonomi
Islam, Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bekerja sama dengan
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas
Islam Indonesia (UII).
Muhammad, Quthb
Ibrahim. 2002. Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab, diterjemahkan oleh
Ahmad Syarifuddin Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam).
Opwis,
Felicitas. 2003. �Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory�, Essay,
Yale Symposium on Shariah in the Contemporary Context: Inquiries into the
Normative Discourse of Islam on February 8-9, 2003.
Pirzada,
S.S. 1988. The Organization of the Islamic Conference, (Jeddah: ttp).
Rosyidi,
Imron. 1981. Organisasi Konferensi Islam dan Masalahnya, (Jakarta:
Yayasan Idayu).
Sadeq,
A.H.M. 1989. Islamic Economics Some Selected Issues, (Lahore-Pakistan:
Islamic Publications (PVI) Ltd.).�
Sadeq,
Abul Hasan M. dan Aidit Ghazali (Ed). 1992. Reading in Islamic Economic
Thought, (Malaysia: Reading in Islamic Economic Thought).
Shaw,
John. 2007. World Food Security: A History Since 1945, (New York:
Palgrave Macmillan).
Wahyudi,
Yudian. 2007. Maqashid Syari�ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum
Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea
Press).
Yusdani.
2000. Peranan kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep
Hukum Islam Najamuddin at-Tufi, (Yogyakarta: UII Press).
Website:
www.oic-oci.org.
www.wief.org
Haddad, Manan.
2010. �An Islamic Perspective of Food Security Management�, Paper,
Diakses dari: www.fundacionbotin.org/file/10145/ tanggal 13 Maret 2012, jam 10.00 wib.[1]John Shaw, World
Food Security: A History Since 1945�, hal. x-xiv.
Harian
Republika, �WIEF dan
Ketahanan Pangan Dunia�, 11 Maret 2009, hal. 18.
Kaltim Post, �Investor Timteng
Bidik 4 Sektor�, dapat diakses www.kaltimpost.co.id /?mb =berita �investor -timteng�
bidik.
[1]World Islamic Economic Forum (WIEF)/ Komunitas Ekonomi Dunia Islam adalah organisasi yang muncul pada tahun 2007 atas inisiatif Asian Strategic Leadership Institute (ASLI). World Islamic Economic Forum (WIEF) merupakan pecahan dari Organisation of the Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI).
[2] Untuk analisa yang detail mengenai Maslahah sebagai Teori Hukum Islam, lihat Felicitas Opwis, Maslahah: An Intellectual History of a Core Concept in Islamic Legal Theory, (Ph. D. thesis, Yale University, 2001).
[3] Yang sering dijadikan contoh dan menjustifikasi ajaran maslahat dari Nabi adalah hadis nabi yang melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging kurban, kecuali sekedar bekal selama tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah saw. Dengan menyimpan daging kurban lebih dari sekedar perbekalan tiga hari. Peristiwa itu disampaikan orang kepada Rasulullah saw., namun Rasulullah membenarkannya serta menjelaskan bahwa dahulu hal tersebut dilarang karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari perkampungan badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban). Ini menunjukkan bahwa ketetapan dari Rasulullah tetap mempertimbangkan kemaslahatan sebagai maqashid syariah. Lihat Imam Muslim, Shohih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub al-�Ilmiyah, 1992), XIII:110.