LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO BERBASIS KELOMPOK USAHA BERSAMA; SEBUAH STRATEGI PENGENTASAN
KEMISKINAN STRUKTURAL
Yuli
Afriyandi
STEIBI Al Muhsin dan Konsultan Koperasi
dan UKM di Pusat Layanan Usaha Terpadu DI. Yogyakarta, Indonesia
Intisari:
Artikel ini
bertujuan untuk menganalisis peran lembaga keuangan mikro berbasis kelompok
usaha bersama sebagai strategi pengentasan kemiskinan struktural di Indonesia.
Dalam rangka membantu percepatan pengentasan kemiskinan terutama kemiskinan
struktural, pemerintah melalui Kementrian Sosial Republik Indonesia meluncurkan
program pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang
kemudian membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM-KUBE memiliki karakteristik
khusus yang diharapkan mampu menjadi salah satu mekanisme pemberdayaan
masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Karakteristik
tersebut adalah pertama; program LKM-KUBE mewajibkan angotanya untuk mengikuti
Pelatihan Wajib Kelompok yang membekali anggotanya dalam aspek manajemen, dan
pengelolaan keuangan usaha, serta sistem peran dan fungsi LKMKUBE. Kedua;
mekanisme tanggung renteng dalam aplikasi pemberian pembiayaan kepada anggota
dapat meminimalisir risiko pembiayaan bermasalah. Dan ketiga adalah pembinaan
(rumpun) yang dilakukan oleh LKM-KUBE sebagai bentuk edukasi dan pemberian
motivasi kepada anggota untuk menjalankan usaha dengan baik dan menjadi anggota
LKM-KUBE yang aktif. Peran penting Lembaga Keuangan Mikro Kelompok Usaha Bersama
dalam pengentasan kemiskinan struktural sangat efektif dan merupakan program
yang dipandang tepat. Manfaat dari keberadaan LKM-KUBE dapat diterima langsung
oleh masyarakat kelompok usaha skala mikro, tidak hanya dari aspek permodalan
usaha, akan tetapi juga melalui program pendampingan.
I.
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan masalah yang
sangat serius dihadapi oleh Indonesia. Kebanyakan penduduk Indonesia rentan
terhadap kemiskinan. Data terakhir menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk
dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia
mencapai 27, 73 juta orang (10, 96 % dari
populasi).
Berbagai program pengentasan kemiskinan
telah diupayakan dan digagas, baik oleh pemerintah maupun organisasi di luar
pemerintah. Bahkan organisasi seperti PBB telah mendorong Negara-negara di
dunia untuk memerangi musuh kemiskinan melalui berbagai forum. Diantaranya
hasilnya ialah telah dikeluarkannya Millenium
Development Goals (MDGs) sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan
dalam memerangi kemiskinan.[1]
Meskipun demikian, kemiskinan di Indonesia masih dipandang sebagai tugas
pemerintah dan kelompok tertentu yang masih memperjuangkan bahkan si miskin
sendiri dan bukan kewajiban bersama untuk mengatasinya. Karena keterbatasan
peran di dalam pelibatan pengentasan kemiskinan, program-program yang dilakukan
seringkali tidak berkesinambungan dan sporadis bahkan cenderung tidak tepat.
Olehkarenanya, kondisi kemiskinan di Indonesia nampaknya mengalami kemajuan
yang lambat dibanding perkembangan lainnya.
Menjawab permasalahan di atas, proses
perubahan kebijakan pengentasan kemiskinan terus dilakukan pembaharuan. Karena
semua pihak menyadari bahwa kemiskinan lebih disebabkan pada problem struktural
sehingga kemudian muncullah istilah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang
disebabkan oleh struktur sosial masyarakat yang tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Pada tataran
masyarakat miskin yang tergolong usaha ekonomi skala mikro misalnya, problem struktural
yang biasa mereka hadapi meliputi dua hal, pertama; kesulitan mereka mengakses
kredit, kedua; ketiadaan perlindungan dan jaminan atas modal bagi usaha mereka.
Karena itu, dalam rangka membantu
percepatan pengentasan kemiskinan terutama mengatasi persoalan kemiskinan struktural,
muncul program yang dipandang bagus dan efektif oleh pemerintah melalui
Kementrian Sosial Republik Indonesia yang meluncurkan program pemberdayaan
fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang kemudian membentuk
Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Program yang dimulai pada tahun 2005 ini dirancang sesuai dengan potensi masyarakat miskin
untuk meningkatkan kesejahteraan warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi
dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan
potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan,
mengembangkan akses pasar dan menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai
pihak yang terkait.
LKM � KUBE yang operasionalisasinya mirip dengan bank
dan lembaga keuangan koperasi yang pada umumnya menghimpun dana
masyarakat (anggota) dan menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan skala mikro. Namun
perbedaan mendasar dari lembaga ini adalah pembianaan terhadap kelompok usaha
(KUBE). Pola � pola pembinaan inilah yang kemudian diyakinkan mampu menjadi
senjata untuk mengatasi persoalan kemiskinan, minimal dari anggota kelompok. Olehkarena itu artikel ini mengkaji
secara mendalam mengenai pola pengentasan kemiskinan melalui lembaga keuangan
mikro kelompok usaha bersama.
II.
KEMISKINAN STRUKTURAL
Kemiskinan struktural merupakan masalah
sosial yang lebih disebabkan disfungsionalitas negara dalam merespon globalisasi ekonomi. Dalam
hal ini Revrisond Baswier menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu
kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Menurutnya,
�Kemiskinan natural adalah keadaan
kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber
daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebabkan terjadinya
proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan
structural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor buatan manusia
seperti kebijakan perekonomian yang tidak adil, penguasaan factor-faktor buatan
manusia seperti kebijakkan perekonomian yang tidak adil, penguasaan
faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan
perekonomian internasional yang lebih menguntungkan Negara tertentu.�
Kemiskinan struktural merupakan bentuk
disfungsionalitas lembaga Negara yang memunculkan kebijakan yang tidak tepat
sasaran sehingga cenderung memiskinkan. Bentuk kegagalan kebijakan seperti
membuat regulasi yang tidak tepat, atau regulasi yang tidak berpihak pada
kesejahteraan rakyat.
Kemiskinan struktural yang biasanya
terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara
mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya
raya.� Benar saja, tingkat rasio gini
Indonesia meningkat khususnya dalam 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Rasio gini adalah ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung
berdasarkan kelas pendapatan. Pada 2005, rasio gini Indonesia sebesar 36,3 persen, meningkat menjadi 41,3 persen pada 2013.
Perbedaan tingkat pendapatan ini
biasanya dialami golongan misalnya para petani yang tidak memiliki tanah
sendiri, atau kaum migran di kota yang bekerja di
sektor informal dengan hasil tidak menentu sehingga pendapatannya tidak
mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarga. Termasuk
golongan miskin lain adalah kaum buruh, pedagang kaki lima,
penghuni pemukiman kumuh, pedagang asongan, dan lain-lain yang tidak terpelajar
dan tidak terlatih, atau dengan kata lain disebut unskilled labour.[2]
III.
PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI �LKM-KUBE
Program pengentasan kemiskinan melalui
LKM-KUBE merupakan program yang tepat dalam mengatasi persoalan kemiskinan
structural. Karena walaupun kebijakan program ini bersifat top down, tapi partisipasi aktif masyarakat dalam menerima program
ini mejadi kunci keberhasilan. Hal ini bisa dibuktikan dengan tahapan-tahapan
pelaksanaan program yang tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat di
setiap tahapannya. Untuk lebih jelasnya beberapa tahapan dalam pelaksanaan
program adalah sebagai berikut;
A.
Penumbuhan dan Penguatan KUBE
Penumbuhan Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) sebagai cikal bakal lahirnya LKM � KUBE dibentuk dengan beberapa tahapan
kegiatan seperti mulai dari persiapan/identifikasi, sosialisasi ke masyarakat, dan
Pelatihan Wajib Kelompok (PWK), dan Rumpun.
Pada tahapan persiapan dilakukan dengan
identifikasi wilayah secara keseluruhan baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi
dan budaya. Identifikasi data sekunder dengan menganalisa data dasar potensi
kelompok usaha yang ada diwilayah, data monografi desa dan kecamatan. Serta
melakukan identifikasi partisipatif dengan melibatkan perwakilan masyarakat dan
unsur pemerintah desa untuk melihat secara lebih luas kondisi dan potensi wilayah.
Tahapan selanjutnya adalah proses
sosialisasi ke masyarakat. Pada tahapan ini diperkenalkan tentang alur program
serta manfaat yang akan diterima oleh masyarakat.
Tujuan dari sosialisasi ini adalah agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif
dalam mensukseskan program serta terbangun komitmen bersama.
Proses pemahaman program telah
tersampaikan kemasyarakat selanjutnya adalah pembentukan KUBE. Pada tahapan ini
dibutuhkan pendamping yang akan mensuvervisi agar
fungsi KUBE sesuai dengan tujuan program. Dalam KUBE dibutuhkan struktur
organisasi minimal Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota. faktor
yang menentukan keberhasilan KUBE adalah motivasi masyarakat yang tinggi untuk
meningkatkan taraf hidup mereka dan semangat kebersamaan di antara mereka,
serta peran pendamping dan fasilitator dalam proses berlangsungnya program.
Setelah KUBE terbentuk dibuktikan
dengan terbentuknya kepengurusan, maka selanjutnya mereka akan
mendapatkan penguatan melalui Pelatihan Wajib KUBE (PWK). Pelatihan wajib
kelompok atau di singkat PWK merupakan� satu rangkaian kegiatan dalam upaya
memahamkan konsep LKM kepada anggota kelompok KUBE. Pelatihan ini bersifat
wajib sebelum LKM didirikan.
Ada tiga tahapan PWK yang harus
dilewati oleh anggota kelompok KUBE sebelum LKM didirikan. Adapun pelatihan
tersebut terdiri dari:
1.
PWK
1
PWK 1 (pertama)
bertujuan untuk memahamkan kepada anggota KUBE tentang substansi program
pemberdayaan KUBE dan LKM KUBE serta memantapkan tekad dan komitmen anggota
KUBE. Dengan masa pertemuan kurang lebih 1 jam, anggota KUBE diberikan aturan
dalam pertemuan PWK serta sangsi atas pelanggaran aturan tersebut.
2.
PWK
2
PWK 2 (kedua) membahas
tentang Rencana Usaha Anggota (RUA) dan Rencana Usaha Bersama (RUB).� Harapannya dengan pembahasan ini anggota KUBE
dapat membuat RUA untuk usahanya pribadi maupun kelompok. Pada sesi ini anggota
KUBE diminta untuk praktek langsung membuat RUA dan memaparkan kepada peserta.
3.
PWK
3
Pada PWK 3 (tiga),
pendamping menjelaskan mengenai fungsi KUBE dan organisasinya, job description
pengurus KUBE dan lain sebagainya. Selain itu dijelaskan juga tentang mekanisme
pembiayaan model tanggung renteng dan penentuan plafon pembiayaan serta
kesepakatan untuk bersedia mengikuti pola tanggung renteng.
���������������� Pada
proses selanjutnya adalah rumpun. Rumpun ini adalah bagian dari kegiatan
pertemuan rutin kelompok. Setelah LKM-KUBE terbentuk, rumpun dikoordinir oleh
LKM-KUBE sebagi bentuk pembinaan kepada anggota KUBE.
B.
LKM KUBE Dan Sistem Tanggung Renteng
1.
Pengertian LKM
Definisi LKM yang diajukan oleh
beberapa pakar dan organisasi nampak saling berbeda satu sama lain walau pada
dasarnya definisi-definisi tersebut memiliki inti yang sama, yaitu merujuk
keuangan mikro sebagai upaya penyedia jasa keuangan, terutama simpanan dan
kredit / pembiayaan, dan juga jasa keuangan lain yang diperuntukkan bagi keluarga
miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses terhadap bank
komersial atau tidak bankable.
Adams dan Fitchett� mendefinisikan LKM sebagai berikut:
�Microfinance
institutions also play an important role in serving credit to individuals, farmers
and small-scalle enterprise�.
Pendapat Adams dan Fitchett ini lebih
mencirikan LKM sebagai sebuah lembaga pendidikan yang dinamis, inovatif, dan
lentur yang dirancang sesuai kondisi lingkungan sosial dan ekonomi lokal.
Dalam bukunya� Microfinance Handbook� yang diterbitkan oleh Bank Dunia, Joanna
Ledgerwood (2006) menyatakan bahwa istilah keuangan mikro menunjuk pada
penyediaan jasa-jasa keuangan (biasanya berupa simpanan dan kredit) kepada
nasabah berpenghasilan rendah, yang mencakup pedagang kecil, pedagang kaki
lima, petani kecil, penjual jasa (penata rambut, penarik becak), dan tukang
serta produsen kecil seperti pandai besi dan penjahit.� Dia menunjukkan bahwa di antara para nasabah
tersebut banyak yang memiliki sumber penghasilan yang mapan karena mereka
memiliki sumber penghasilan ganda. Meskipun mereka miskin, pada umumnya mereka
tidak dianggap sebagai �orang-orang yang paling miskin� di antara yang miskin.�
Bank Pembangunan Asia (ADB)
mendefinisikan lembaga keuangan mikro sebagai penyediaan jasa-jasa keuangan dalam� ragam yang luas
seperti tabungan, pinjaman, jasa pembayaran,�
pengiriman uang dan asuransi untuk rumah tangga miskin dan
berpenghasilan rendah dan usaha-usaha mikro mereka.
Definisi ADB� tersebut mencakup rumah tangga
berpenghasilan rendah dan juga rumah tangga yang berada di bawah garis
kemiskinan karena ada cukup banyak� rumah
tangga berpenghasilan rendah yang tidak berada di bawah garis kemiskinan tetapi
memiliki akses yang terbatas terhadap jasa keuangan, terutama di daerah
pedesaan.
Robinson menekankan bahwa istilah
lembaga keuangan mikro merujuk pada �jasa-jasa keuangan berskala kecil,
terutama kredit dan� simpanan, yang
disediakan untuk orang-orang yang bertani, mencari ikan atau beternak; yang
memiliki usaha kecil atau mikro yang memproduksi, mendaur� ulang, memperbaiki atau menjual
barang-barang; yang menjual jasa; yang�
bekerja untuk mendapatkan upah dan komisi; yang memperoleh penghasilan
dari menyewakan tanah, kendaraan, binatang atau mesin dan peralatan dalam
jumlah kecil; dan kelompok-kelompok dan individu lain pada tingkat-tingkat
daerah di negara-negara yang sedang berkembang (NSB), baik daerah pedesaan
maupun perkotaan�.
Sebuah definisi yang sedikit berbeda dirumuskan oleh Meagher (2002). Dia
berpendapat bahwa keuangan mikro� adalah
pemberian pinjaman uang dalam jumlah kecil dan dalam jangka waktu yang singkat
dengan frekuensi pelunasan yang tinggi.
Hal ini berarti bahwa selain memberikan akses kepada orang-orang
berpenghasilan rendah terhadap pengadaan pinjaman, keterampilan dan kepercayaan
diri mereka juga harus ditingkatkan.� Oleh karena itu pendekatan keuangan mikro bukanlah pendekatan minimalis
yang hanya berperan sebagai lembaga perantara keuangan saja akan� tetapi merupakan pendekatan terpadu yang juga
menawarkan jasa-jasa lain yang telah disebutkan di atas. Pendekatan tersebut diharapkan juga dapat mengurangi kemiskinan dan
mengembangkan dan memperkuat kapasitas institusional sistem keuangan lokal
dengan menemukan cara yang terbaik untuk dapat meminjamkan uang kepada keluarga miskin dengan biaya minimum.
Walaupun
terdapat banyak definisi LKM, namun secara umum terdapat tiga elemen penting
dari berbagai defenisi tentang LKM. Pertama,
menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman
masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan
sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan,
pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi.�
Kedua, melayani rakyat miskin.
Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat
yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki
karakteristik konstituen yang khas.� Ketiga, menggunakan prosedur dan
mekanisme yang kontekstual dan fleksibel.�
Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani,
sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.
Dengan
demikian LKM berfungsi sebagai lembaga
yang menyediakan berbagai jasa pinjaman,
baik untuk kegiatan produktif
yang dilakukan Usaha Mikro, maupun untuk
kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin. Sebagai lembaga simpanan,
LKM dapat menghimpun dana (saving) yang dijadikan prasyarat bagi adanya kredit walaupun pada
akhirnya sering kali jumlah kredit yang diberikan lebih besar dari dana yang
berhasil dihimpun.
2.
LKM KUBE; LKM Berbasis Kelompok
LKM
KUBE merupakan lembaga keuangan mikro yang anggotanya adalah kelompok usaha
bersama. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berbasis kelompok/komunitas merupakan
salah satu alternatif untuk mengembangkan Usaha Mikro dan diinginkan para
pengusaha mikro di Indonesia dewasa ini dan di masa yang akan
datang.
Sebetulnya,
layanan terhadap keuangan mikro bukanlah hal yang baru, dan tetap hadir dalam masyarakat
bawah maupun menengah.� Ada berbagai
model lembaga keuangan mikro di antaranya:
a.
Poverty-focused Development Banks yaitu bentuk bank dengan para staf
profesionalnya mempunyai akses dan keputusan terhadap administrasi dana independen yang dimilikinya yang dipinjamkan pada
perorangan atau sekelompok masyarakat berkecukupan terbatas.
b.
Village Banks yaitu dana
pinjaman disediakan oleh lembaga eksternal untuk organisasi berbasis masyarakat
lokal, yang biasa terdaftar secara resmi atau tidak. Fungsi dan transaksi
perbankan secara keseluruhan dikelola oleh organisasi tersebut yang membentuk tim pengawasan dan persetujuan pinjaman.
c.
Thrift and Credit Co-operatives (TCCs
and Credit Unions (CUs)
yaitu suatu organisasi dengan keanggotaan yang terdaftar secara formal di atur
oleh peraturan pemerintah. Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang yang
memiliki ikatan yang sama tersebut (misalnya hidup
dalam komunitas yang sama atau bekerja dalam perusahaan yang sama) sepakat
untuk menyimpan uang secara bersama dan meminjamkannya pada tingkat bunga yang
tendah, atau menggunakannya untuk tujuan atau proyek yang dimiliki bersama.
d.
Intermediary programmes yaitu LSM memfasilitasi hubungan
antara kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam kelompok usaha mikro atau
masyarakat berpendapatan rendah dengan sistem keuangan formal.� Mereka melakukan penyerahan, bantuan untuk
pengajuan, pelatihan, bantuan teknis, dan penjaminan untuk penyedia jasa
keuangan yang mengurangi biaya dan risiko dari sasaran penerima bantuan
masyarakat miskin.
Dari berbagai macam model LKM di atas
mempunyai tugas utama menyalurkan pinjaman ke usaha mikro atau masyarakat
berpendapatan rendah.� Prakteknya, LKM
memberikan layanan jasa keuangan dengan mekanisme kelompok.� LKM berbasis kelompok adalah lembaga pinjaman
yang berformula usaha mikro pada kepercayaan kelompok dengan pola besar cicilan
pengambilan sebagai acuan pinjaman.
Hasil penelitian Ikaputera mengungkap
bahwa LKM berbasis kelompok�
memberikan syarat dikembangkan dengan ketentuan dasar sebagai
berikut:
a.
Kepercayaan
b.
Pinjaman
dengan formula tanggung jawab kelompok
c.
Tanpa
agunan
d.
Pengusaha
Mikro dikenal Lembaga Keungan Mikro
e.
Besar
pengembalian sebagai dasar pinjaman (Rasio aktivitas)
f.
Usaha
Mikro dikenal lingkungan sekitarnya
Adapun
keunggulan model LKM berbasis kelompok adalah:
a.
Tumbuh
dan berkembang melayani usaha mikro;
b.
Mandiri
dan bebas di masyarakat;
c.
Sangat
dekat dengan masyarakat lingkungan sekitarnya;
d.
Memiliki
prosedur peminjaman dana tanpa agunan;
e.
Pendanaan
usaha produktif masyarakat sekitar LKM tersebut;
f.
Lembaga
ini memiliki pasar masyarakat tersendiri;
g.
Besar
tawaran pengembalian dana pinjaman menjadi acuan dasar
Dari penelitian tersebut juga
disimpulkan bahwa LKM berbasis kelompok sangat dibutuhkan dan
dikembangkan.� LKM berbasis kelompok
memiliki ciri tidak membuka kantor cabang di luar wilayah kecamatan, bahkan
kabupaten, sehingga lembaga ini mampu sebagai community bank yang diharapkan �memperdalam� akses pelayanan kepada
masyarakat disekitarnya.
Jadi mungkin saja LKM berbasis kelompok
menjadi model pengembangan LKM yang baik di Indonesia kedepannya.
3.
Sistem Tanggung Renteng
LKM � KUBE dalam penyaluran kredit / pembiayaan
menggunkan sistem tanggung renteng. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, tanggung berarti
memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk membayar utang orang lain bila
orang lain tidak menepati janjinya, sedangkan kata renteng berarti rangkaian, untaian.� Dalam dunia perkreditan tanggung renteng
dapat diartikan sebagai tanggung jawab bersama antara perminjam dan penjaminnya
atas hutang yang dibuatnya.
Kementrian Negara Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengartikan bahwa tanggung renteng adalah
tanggung jawab bersama di antara anggota atau di satu kelompok atas segala
kewajiban mereka terhadap koperasi dengan berdasarkan keterbukaan dan saling
percaya.
Dalam sejarahnya istilah tanggung
renteng (hoofdelijkheid) diangkat
dari tradisi para pedagang yang di adaptasi oleh Belanda dalam Wet Boek van Koophandel atau kodifikasi
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ketika membahas Commanditaire Venootschap
(CV).� Kelahiran CV tak lepas dari
perilaku usaha para pedagang dan pengusaha yang saling menyokong dalam
percaturan bisnis di wilayah Eropa Kontinental pada abad pertengahan.� Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk
peminjaman uang, barang atau pemberian kuasa dengan risiko dibagi secara
tanggung-menanggung.� Dengan demikian,
dalam konteks utang piutang perseroan ini, tanggung renteng berarti tanggung
jawab bersama di antara para penanam modal baik pesero komanditer maupun pesero
pengurus.�� Dalam konteks ini tanggung
renteng berarti tanggung jawab bersama di antara para penanam modal baik pesero
komanditer maupun pesero pengurus.
Menurut Koperasi Setia Bhakti Wanita, tanggung
renteng di maksudkan sebagai memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk
menunaikan kewajiban anggota, baik sementara ataupun permanen, bila anggota
dalam satu kelompok di satu wilayah tertentu bertindak atau berperilaku tidak
sesuai dengan aturan yang disepakati karena berbagai alasan.
Dalam penjelasannya, makna tanggung
renteng dalam pengertian di atas dapat berarti negatif sekaligus positif,
tergantung dari kalimat yang digunakan. Di tanggung renteng tidak sama dengan istilah melaksanakan tanggung renteng.
Melaksanakan tanggung renteng yang berkonotasi positif, berarti kelompok
melaksanakan gotong royong, saling menolong, menekankan kejujuran, menerapkan
transparansi dan kontrol. Sementara di tanggung renteng berarti mendapat
sanksi.
Menurut Syaiful Arifin, tanggung
renteng merupakan jaminan sosial yang didalamnya terdapat nilai kebersamaan,
tolong menolong dan kepercayaan antar anggota serta saling bekerjasama dalam
meringankan beban.
Hal senada juga
disampaikan oleh Sri Edi-Swasono bahwa sistem pinjam-meminjam yang dikembangkan
oleh koperasi simpan pinjam berdasarkan tanggung renteng sebenarnya merupakan
pelaksanaan prinsip dan nilai �menolong diri sendiri secara bersama-sama.�
Dari pernyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa tanggung renteng menjadi wujud konkret dari sistem
ekonomi berdasar kebersamaan dan asas kekeluargaan, yaitu berdasarkan Pasal 33 UUD
1945, kolektivisme Indonesia, sikap mandiri, menolong diri sendiri secara
bersama-sama, solidaritas sosial dan sekaligus berdasarkan dinamisme
masyarakat.
Implementasi pemberian pembiayaan
dengan sistem tanggung renteng di LKM-KUBE melalui beberapa tahapan sebagai
berikut:
a.
Pengisian
form di lakukan saat anggota mengajukan pembiayaan ke LKM. Apabila ada
kekurangan dalam pengisian form maka akan dibantu oleh
pihak LKM.
b.
Setelah
form terisi berikut dengan jumlah pembiayaan yang akan
diajukan, maka langkah selanjutnya adalah meminta persetujuan anggota kelompok
yang lain terkait dengan kemampuan dan jumlah plafon yang disetujui oleh
anggota yang lainnya. Di sini, anggota yang lain berhak menentukan nominal
plafon yang disetujui dengan penilaian masing-masing.
c.
Pada
langkah selanjutnya setelah form persetujuan anggota kelompok yang lain terisi,
maka ketua kelompok mengoreksi atas isin formulir tersebut dan memutuskan
pengajuan anggota tersebut dengan acuan melihat angka persetujuan terendah dari
rekomendasi anggota.
d.
Proses
selanjutnya adalah pengajuan ke LKM dengan mengisi kelengkapan administrasi
lainnya seperti; photo copy KTP/SIM suami istri, Kartu Keluarga.
e.
Tahapan
proses pencairan pembiayaan
4.
Peran Nyata LKM KUBE dalam Pengentasan
Kemiskinan Struktural
Dengan
terbentuknya LKM-KUBE yang memiliki peran strategis dalam menjawab tantangan
pemenuhan layanan keuangan bagi kelompok usaha ekonomi lemah. Selain peran,
keberadaan yang strategis LKM-KUBE juga penting karena memiliki keunggulan yang
relative tidak dimiliki oleh bank umum, seperti keluwesan dalam memberikan
pelayanan, serta kemampuan pengelola dalam memahami kebutuhan dan budaya
masyarakat setempat karena kedekatan secara psikologis dan kekeluargaan antara
pengelola dengan anggotanya. Dan yang perlu digarisbawahi adalah lahirnya LKM
KUBE karena berangkat dari kebutuhan anggota-anggota KUBE itu sendiri.
LKM
� KUBE mampu menempatkan diri sebagai mitra anggota KUBE. Setiap anggota KUBE
berhak atas akses layanan keuangan dari LKM-KUBE. Dimana, dengan mekanisme
tanggung renteng, hak atas jaminan pembiayaan otomatis terpenuhi. Dengan
demikian, anggota KUBE akan dapat memanfaatkan layanan
usaha tersebut untuk mengembangkan usaha-usaha produktif. Peranan yang
dimainkannya dalam memberikan akses dan proteksi masyarakat miskin terhadap
modal, telah menempatkan LKM-KUBE sebagai salah satu agen dalam pemberdayaan
masyarakat.
Tiga
hal mendasar kenapa kemudian LKM-KUBE berperan penting dalam pengentasan
kemiskinan minimal kepada anggotanya. Pertama; setiap anggota KUBE yang telah
mendapatkan PWK maka telah memiliki bekal untuk menjalankan usaha baik dari
aspek manajemen, dan pengelolaan keuangan usaha. Selain itu mereka juga
difahamkan tentang sistem peran dan fungsi LKM-KUBE sehingga secara tidak
langsung rasa kepemilikan kepada LKM-KUBE tumbuh.
Kedua;
mekanisme tanggung renteng dalam aplikasi pemberian pembiayaan kepada anggota
dapat meminimalisir risiko pembiayaan bermasalah. Sehingga, produktivitas
LKM-KUBE akan terus meningkat dan tentunya akan
membawa kesejahteraan bagi anggotanya. Dan ketiga adalah pembinaan (rumpun)
yang dilakukan oleh LKM-KUBE adalah sebagai bentuk edukasi juga sebagai
pemberian motivasi kepada anggota untuk menjalankan usaha dengan baik dan
menjadi anggota LKM-KUBE yang aktif.
Inilah
peran nyata LKM-KUBE dalam pengentasan kemiskinan. Sehinga problem struktural
khususnya masyarakat miskin yang tergolong usaha ekonomi skala mikro seperti
kesulitan mengakses kredit dan ketiadaan perlindungan dan jaminan� atas modal dapat teratasi.
IV.
PENUTUP
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran penting Lembaga Keuangan Mikro
Kelompok Usaha Bersama dalam pengentasan kemiskinan struktural sangat efektif
dan merupakan program yang dipandang tepat. Manfaat dari keberadaan LKM-KUBE
dapat diterima langsung oleh masyarakat kelompok usaha skala mikro, tidak hanya
dari aspek permodalan usaha, akantetapi juga melalui program pendampingan. Dan
hal terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat yang positif dapat
menubuhkembangkan LKM-KUBE yang pada akhirnya juga berdampak kesejahteraan bagi
anggota masyarakat itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Adam.,
Fitchett. 2006. �Microfinance Institutions� And Economic Development:�������� Evidence from Developing Countanggung
rentengies�. Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 21, No. 3, 2006.
Arsyad, Lincolin.
2008. Lembaga Keuangan Mikro: Institusi, Kinerja dan Sustanabilitas.
Yogyakarta: Penerbit ANDI
Arifin, Syaiful. 2008.
�Dinamika Implementasi Konsep Sistem Tanggung Renteng dan Kont
Baswir, Revrisond. 2009. Manifesto Ekonomi Kerakyatan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Departemen Sosial RI. 2004. Pengembangan Usaha Ekonomi
Produktif. Jakarta
Griffin, W. Ricky., Ronald J. Ebert. 2001. Business. Prentice Hall International
Editons.
Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
2006. Pengembangan Usaha Mikro Melalui Pola Tanggung Renteng.
Kusuma. 2002. �Membangun Institusi Warga Untuk Menanggulangi
Kemiskinan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal�. Dalam Jurnal Analisis Sosial VII
(2): 169-186. Jakarta
Ledgerwood, Joanna. 2006. , �Transforming Microfinance Institutions: Providing Full Financial
Services to the Poor�, The International Bank for Reconstruction and
Development�.
Praptomo, Dian.
2000. �Strategi Lembaga Keuangan Mikro Syariah Dalam Mengembangkan Usaha Mikro
(Kasus LKMS BMT KUBE Sejahtera Unit 20 Kabupaten Sleman Propinsi Yogyakarta)�.
Rahayu, Sri Yayuk. 2009. �Penerapan Sistem Tanggung Renteng
Pada Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita Malang. Iqtishoduna. Vol. V, No. 2, 2009. Yogyakarta: Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Indonesia.
Robinson, S. Marguerite. 2004. Revolusi Keuangan Mikro:
Volume 2 Pelajaran dari Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Roesdiono, Eddy. 1998. Tanggung
Renteng: Sebuah Biografi Mursia Zaafril Ilyas. Surabaya: Koperasi Wanita
Setia Bhakti Wanita.
Sotrisno, Noer. �Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat�. Dalam http://lkm.indonesia.blogspot.com/index.php/Artikel/lembaga-keuangan-mikro.html
diakses pada Jum�at 29 Nopember 2013, pukul 18.30 WIB
Soemantri, Andriani S. 2003. Tanggung Renteng: Setia Bhakti Wanita. Surabaya: Limpad
Swasono, Sri Edi. 1998. Tanggung
Renteng Dan Kemandirian Rakyat. Surabaya: Koperasi Setia Bhakti Wanita.
[1] Tahun 2015 merupakan tahun
transisi dari berakhirnya Meillenium Development Goals (MDGs). Tahun 2016 mulai
diimplementasikan agenda pembangunan dunia Post-2015 atau yang dikenal sebagai
Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs muncul pada pertemuan KTT Rio+20
tahun 2012.
[2] Ciri dari golongan miskin yang
masuk dalam kemiskinan struktural ini� adalah timbulnya ketergantungan yang
kuat pihak si miskin terhadap kelas social ekonomi diatasnya.