ANALISIS KERANGKA REGULASI MODEL SHARIAH GOVERNANCE LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA[1]

Ali Rama*

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H. Juanda No.95 Ciputat 15412, Indonesia

 

 

Abstrak

Shariah governance merupakan konsep tata kelola yang unik dan khusus bagi perusahaan atau lembaga keuangan yang menawarkan produk dan jasa yang sesuai denganprinsip syariah.Shariah governance hakekatnya menjadi komplementer dari sistem tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) yang sudah ada yang fungsi utamanya untuk melakukan review atas kepatuhan syariah atas seluruh aktivitas perusahaan baik sebelum terjadinya transaksi (ex-ante) maupun setelah terjadinya transaksi (ex-post). Untuk menjalankan fungsi tersebut, sistem shariah governance harus memiliki tiga komponen utama, yaitu dewan syariah (DPS), opini kepatuhan syariah dan proses review syariah. Pada prakteknya, model shariah governance lembaga keuangan syariah (LKS) yang diterapkan di berbagai negara bervariasi disebabkan adanya perbedaan kerangka hukum yang mengaturnya. Penelitian ini menganalisis model shariah governanceLKS berdasarkan kerangka hukum yang berlaku di Indonesia melalui analisis konten terhadap undang-undang, peraturan, surat edaran dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan keuangan dan perbankan syariah. Shariah governance pada penelitian ini dilihat dari empat aspek utama, yaitu pernyataan regulasi yang mengaturnya, struktur organisasi, proses dan fungsi shariah governance. Penelitian ini menemukan bahwa konsep shariah governance LKS di Indonesia disinggung secara singkat dalam UU Perbankan Syariah yang selanjutnya dijabarkan secara umum melalui PBI dan SEBI. Adapun struktur organisasi shariah governance mengadopsi model sentralisasi melalui dewan fatwa pada level nasional yang selanjutnya membentuk dewan syariah pada level perusahaan. Sementara dari segi prosesnya, Indonesia menganut pendekatan moderat. Selanjutnya, aspek fungsi shariah governance memiliki fungsi utama sebagai pengawasan dan penasehatan. Dengan demikian, pihak otoritas perlu mengembangkan konsep shariah governance yang komprehensif dalam bentuk guidelines yang jelas dan ketat demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kepatuhan syariah oleh para industri.

Kata kunci: shariah governance, tata kelola perusahaan, lembaga keuangan syariah, dewan pengawas syariah.

 

 

I.  PENDAHULUAN

Industri keuangan syariah seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi secara global mengalami pertumbuhan yang cukup menjanjikan. Pertumbuhantersebut tidak hanya segi jumlah aset dan variasi produk tetapi juga cakupan geografis, termasuk aspek regulasi dan kelembagaannya. Menurut laporan IFSB[2] total aset industri keuangan syariah diperkirakan telah mencapai sekitar USD 1,6 triliun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 20,4% pertahun pada akhir tahun 2012, dan telah beroperasi di lebih 75 negara di seluruh dunia dengan jumlah lebih dari 300 lembaga keuangan syariah. Perbankan syariahmasih menjadi pilar utama pertumbuhan industri keuangan syariah global, tumbuh rata-rata sebesar 38,5% pertahun dari tahun 2004-2011. Sementara pasar modal syariah global yaitu sukuk, reksadana syariah (Islamic funds), dan indeks syariah juga terus mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Penerbitan sukuk misalnya tumbuh rata-rata sebesar 44,0% pertahun dari tahun 2004-2011.

Secara geografis, penyebaran lembaga keuangan syariah tidak hanya terkonsentrasi di negara-negara mayoritas Muslim seperti di Timur Tengah, tetapi mulai berkembang di negara-negara muslim minoritas seperti UK, Jerman, Singapura, dan Thailand. Perluasan geografis industri keuangan syariah tersebut berdampak pada penyesuaian peraturan dan perundang-undangan yang sudah berlaku di masing-masing yurisdiksi. Terdapat dua pendekatan yang secara umum diadopsi yaitu integrated approach (pendekatan terpadu) dimana lembaga keuangan syariah diatur oleh undang-undang yang sudah ada, dan hanya perlu amandemen. Pendekatan ini berlaku di UK, Jerman, dan Singapura. Adapunsegregated approach (pendekatan terpisah) yaitu, lembaga keuangan syariah diatur oleh undang-undang yang berbeda dengan undang-undang konvensional yang sudah ada.Kedua pendekatan tersebut, biasa disebut dual-financial system.Pendekatan ini berlaku di Malaysia, Indonesia, dan Pakistan.

Pertumbuhan kelembagaan kuangan syariah harus direspon dengan penguatan sistem tata kelola perusahaan yang baik atau biasa disebut good corporate governance. Desain tata kelola perusahaan lembaga keuangan syariah (LKS) tentunya memiliki keunikan dengan lembaga keuangan lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan LKS selain harus menerapkan sistem tata kelola perusahaan pada umumnya, LKS juga memiliki kewajiban untuk mengembangkan sistem tata kelola yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip syariah pada seluruh produk, instrumen, operasi, praktek, dan manajemen LKS.

Istilah shariah governance merupakan istilah yang digunakan pada LKS sebagai suatu bentuk struktur yang unik dan khusus di LKS, yang berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh operasi LKS sesuai dengan syariah (shariah compliant)(Rama, 2014, p. 2). Sistem tata kelola ini dibutuhkan oleh LKS demi menumbuhkan kepercayaan dari para stakeholders dan publik secara umum bahwa seluruh praktek dan aktivitas yang dilakukan sudah sesuai dengan syariah. Sistem tata kelola ini juga diperlukan untuk menghindari terjadinya risiko syariah (shariah risk), yaitu suatu bentuk risiko yang muncul karena disebabkan adanya ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.

IFSB[3] memandang konsep shariah governance hanya merupakan komplementer dari sistem tata kelola yang sudah ada pada LKS. Selain memiliki dewan direksi, audit internal, dan eksternal, dan unit kepatuhan sebagai elemen utama dari sistem tata kelola perusahaan, LKS harus memiliki dewan syariah (Dewan Pengawas Syariah atau DPS), audit syariah internal dan eksternal serta unit kepatuhan syariah sebagai elemen utama dari sistem shariah governance. Dalam sistem shariah governance, Dewan Pengawas Syariah berperan penting dalam proses supervisi, monitoring, audit, dan pemberian opini terhadap kepatuhan syariah pada lembaga keuangan atau perusahaan yang menawarkan produk dan layanan syariah. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi perusahaan atau lembaga keuangan syariah menjadi suatu yang unik dalam sistem tata kelola perusahaan. DPS adalah elemen penting dalam sistem tata kelola syariah (shariah governance). DPS merupakan suatu badan yang diberi wewenang untuk melakukan penasehatan dan atau pengawasan serta melihat secara dekat aktivitas lembaga keuangan syariah agar lembaga tersebut konsisten mengikuti dan mentaati aturan dan prinsip-prinsip syariah.(Rama, 2014, p. 18)

Model shariah governance yang diadopsi oleh berbagai negara berbeda-beda. Hal ini terjadi disebabkan adanya perbedaan kerangka regulasi yang mengatur sistem shariah governance di masing-masing yurisdiksi. Studi yang dilakukan oleh Rama (2014), Hassan, dkk (2013), Zulkifli (2010), dan Grais dan Pallegrini (2006) menunjukkan bahwa sebagian negara mengatur secara detail tentang kerangkashariah governance LKS pada UU perbankan dan keuangan syariah mereka, sebaliknya sebagian negara tidak mengatur secara ketat dan membiarkan industri untuk melakukan pengaturan masing-masing.

Penelitian ini bermaksud untuk melakukan analisis investigatif terhadap kerangka regulasi shariah governance LKS di Indonesia berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Penelitian ini mengembangkan klasifikasi shariah governance berdasarkan studi terdahulu yang terdiri dari empat aspek utama, yaitu (1) posisi shariah governance dalam undang-undang/peraturan; (2) struktur organisasi shariah goveranance; (3) proses shariah governance; dan (4) fungsi dewan syariah.

II.   METODE PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap model shariah governance LKS di Indonesia. Aspek shariah governance LKS yang ditelusuri dari dokumen hukum yang ada meliputi aspek regulasi, struktur organisasi, proses, dan fungsi dari shariah goverannce.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer-kualitatif, yang diperoleh melalui berbagai bentuk dokumen hukum seperti undang-undang, peraturan, surat edaran, dan dokumen terkait lainnya. Dokumen hukum yang dimaksud adalah undang-undang perbankan syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI)[4] atau Peraturan OJK, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) atau Surat Edaran OJK yang membahas tentang kerangkashariah goveranance LKS di Indonesia. Data-data tersebut didapatkan melalui penelusuran di website resmi lembaga-lembaga terkait. Data sekunder lainnya sebagai penunjang penelitian ini bersumber dari buku, jurnal, dan hasil penelitian yang terkait dengan tema penelitian ini.

Penelitian ini selanjutnya menggunakan metode analisis konten terhadap berbagai dokumen hukum untuk mendapatkan gambaran tentang model shariah governance LKS di Indonesia. Analisis konten (isi) merupakan jenis analisis yang berusaha membahas secara mendalam terhadap suatu isi teks. Suatu teks dapat diteliti secara mendalam berdasarkan pada kategori-kategori yang dikembangkan. Dokumen hukum berupa undang-undang perbankan syariah, PBI, SEBI dan jenis peraturan lainnya, yang merupakan jenis teks yang dapat dianalisis dan dikategorikan berdasarkan pada tujuan penelitian. Analisis konten dilakukan berdasarkan pada empat kategori shariah governance terhadap isi dokumen hukum yang terkaituntuk mendapatkan gambaran model shariah goveranance yang diadopsi oleh kerangka hukum di Indonesia.

 

 

A.  Kajian Pustaka

Secara historis, konsep shariah governance memiliki kesamaan dengan konsep hisbah[5]dalam sejarah masyarakat Islam klasik, yaitu sebagai lembaga khusus yang mengawasi berjalannya pasar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kedua sistem ini memiliki banyak kemiripan khususnya pada fungsi kelembagaannya, yaitu untuk menegakkan prinsip dan aturan syariah dalam organisasi perusahaan atau pasar.

Institusionalisasi Dewan Pengawas Syariah dapat dianggap sebagai bentuk konsep modern dari muhtasib[6] dalam masyarakat Muslim modern. Berbeda dengan konsep tradisional hisbah yang lebih kepada pengawasan pasar, lembaga Dewan Pengawas Syariah berfungsi dalam tata kelola internal perusahaan/lembaga keuangan syariah yang menjalankan tugas penasehatan (advisory) dan pengawasan (supervisory) terhadap kepatuhan syariah(Isra, 2010, p. 706). Adopsi sistem hisbah dalam format modern sangat penting untuk memastikan semua aktivitas, transaksi, dan operasi lembaga keuangan syariah dalam mematuhi prinsip-prinsip syariah dan moral Islam. Dewan Pengawas Syariah sebagai elemen penting dari shariah governance menjadi lembaga ideal yang dapat menjalankan fungsi muhtasib sebagai institusi internal dari sistem hisbah dalam konteks lembaga keuangan syariah modern(Rama, 2014, p. 21). Di lain pihak, Handoko dan Kayadibi memandang bahwa istilah good governance sama dengan istilah siyasah shari�iyyah yang umumnya digunakan dalam konteks kebijakan publik. (Handoko & Kayadibi, 2013, p. 136)

Konsep corporate governance (CG) sebagai sistem tata kelola yang umumnya dilaksanakan di perusahaan mengalami proses pengembangan makna dari waktu ke waktu � mulai dari konsep yang sempit yang lebih mengedepankan pada orientasi kepentingan stakeholders sampai kepada konsep yang lebih luas yang mencakup semua stakeholders(Iqbal & Mirakhor, 2011). Dalam praktek perbankan, Bank Indonesia (BI)[7] mendefinisikan CG sebagai suatu tata kelola bank yang menerapkan lima prinsip,yaitu (i) transparansi; (ii) akuntabilitas; (iii) pertanggungjawaban;(iv) profesional; dan (v) kewajaran.

Dalam konteks tata kelola lembaga keuangan syariah (LKS), istilah shariah governance dimunculkan sebagai suatu sistem komplementer atas sistem tata kelola yang sudah ada. Adapun definisi shariah governance menurut IFSB adalah �a set of institutional and organisational arrangements through which Islamic financial institutions ensure that there is an efective independent oversight of shariah compliance over the issuence of relevant shariah pronouncements, dissemination of information and an internal shariah compliance review(IFSB, 2009, p. 2). Isra selanjutnya menguraikan definisi tersebut dengan membagi ke dalam tiga komponen utama, yaitu (1) struktur organisasi perusahaan terdapat Dewan Pengawas Syariah dan fungsi yang terkait seperti Divisi Syariah dan Internal Audit; (2) pendapat atau opini yang bersifat independen tentang pemenuhan terhadap syariah; dan (3) proses review terhadap pemenuhan syariah.(Isra, 2010, p. 702)

Dalam kerangka shariah governance, sistem pengawasan syariah dilakukan dalam duaproses, yaitu proses sebelum dan sesudah transaksi. Di dalam proses sebelum transaksi (ex-ante), pengawasan dilakukan dengan adanya pihak independen berupa Shariah Supervisory Board (SSB) atau Sharia Advisory Firm yang memberikan fatwa mengenai operasi dan struktur lembaga keuangan syariah. Selain itu, keberadaan fungsi kepatuhan diperlukan untuk mensosialisasikan prinsip-prinsip syariah serta melakukan pengawasan langsung terhadap kepatuhan prinsip syariah pada setiap tingkatan dan transaksi. Untuk pengawasan sesudah transaksi (ex-post) dilakukan oleh fungsi audit syariah internal yang merupakan bagian dari atau terpisah fungsi audit internal. Selain itu pengawasan ini juga dilakukan oleh fungsi audit eksternal independen yang memastikan bahwa penelaahan kepatuhan internal telah memenuhi standar. Proses pengawasan ini dapat melibatkan Shariah Supervisory Board atau Sharia Advisory Firm(IFSB, 2009, pp. 8-9).

Dalam sistem shariah governance, Dewan Pengawas Syariah (DPS)[8] berperan penting dalam proses supervisi, monitoring, audit dan pemberian opini terhadap kepatuhan syariah pada lembaga keuangan atau perusahaan yang menawarkan produk dan layanan syariah. Keberadaan DPS dalam struktur organisasi perusahaan atau lembaga keuangan syariah menjadi suatu yang unik dalam sistem tata kelola perusahaan. Fungsi DPS di berbagai negara berbeda-beda, namun secara umum meliputi tiga aspek utama yaitu penasehatan, pengawasan, dan penelitian(Hassan, 2013, p. 7). Sementara itu, Wardhani dan Arshadmembagi level fungsi pengawasan syariah berdasarkan sktuktur keorganisasiannya ke dalam level makro dan mikro(Wardhany & Arshad, 2012). Pada level makro terdapat dewan syariah pada level nasional yang fungsi utamanya pada aspek harmonisasi, standarisasi fatwa atau hukum Islam dan bertindak sebagai otoritas tertinggi dalam pengawasan syariah pada lembaga keuangan syariah. Sementara level mikro, terdapat dewan syariah pada level perusahaan sebagai pengawas syariah internal perusahaan.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan dewan syariah pada internal perusahaan secara optimal, sistem shariah governance membentuk departemen atau unit lain dalam struktur perusahaan dengan nama shariah review unit. Unit ini dapat secara independen dari unit lain yang sudah ada atau menjadi bagian yang tak terpisah dari internal audit dan departemen kontrol.(Grais & Pallegrini, 2006, p. 8) Selanjutnya, IFSB memberikan standar kualifikasi khusus bagi shariah review unit ini sebagai pihak yang melakukan monitor prinsip syariah setelah transaksi (ex-post)(IFSB, 2009, p. 9).

B.  Analisis Model Shariah Governance LKS Di Indonesia

Studi kerangka regulasi shariah governance atas sejumlah negara di Timur Tengah, Inggris, dan Malaysia yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan menemukan bahwa model shariah governance yang diadopsi oleh masing-masing yurisdiksi bervariasi(Hasan, 2010, p. 83). Beberapa yurisdiksi lebih menyukai keterlibatan pihak otoritas (pemerintah, bank sentral atau kementerian keuangan) yang lebih banyak melalui bentuk aturan dan guideline dan beberapa negara justru sebaliknya, membiarkan industri untuk mengatur dirinya sendiri (self-regulated). Sementara itu, Hassan, dkk menyimpulkan bahwa perbedaan model shariah governance LKS di sejumlah negara disebabkan adanya perbedaan kerangka regulasi yang mengatur tentang sistem shariah governance di masing-masing yurisdiski tersebut(Hassan, 2013, p. 8).

Beberapa yurisdiksi menerapkan sistem regulasi yang komprehensif yang melibatkan pihak otoritas terkait untuk mengatur industri keuangan secara ketat dan disiplin. Sebaliknya, beberapa yurisdiksi justru membiarkan pelaku industri untuk menentukan kerangka shariah governance yang diadopsi berdasarkan pada kebijakan dan model praktis yang terbaik. Kedua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan masih sulit untuk menentukan mana model ideal diantara keduanya yang layak untuk dijadikan model terbaik.

Bagian ini akan menganalisis model shariah governance bagi lembaga keuangan syariah di Indonesia berdasarkan empat aspek, yaitu regulasi, struktur organisasi, proses dan fungsi shariah governance berdasarkan kerangka hukum keuangan dan perbankan syariah yang ada.

1.    Aspek Regulasi

Aspek ini difokuskan untuk melihat apakah sistem shariah governance diatur dalam bentuk undang-undang tersendiri, yaitu terpisah dari undang-undang konvensional yang sudah ada.Selain itu, juga melihat apakah diatur dalam bentuk undang-undang saja atau diikuti dengan peraturan lembaga otoritas terkait seperti bank central dan guidelines tentang kerangka penerapan shariah governance lembaga keuangan syariah di masing-masing yurisdiksi.

Keberadaan perbankan syariah di Indonesia, diatur melalui undang-undang tersendiri dengan nama UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sebelum lahirnya UU Perbankan Syariah, industri perbankan syariah masih diatur secara bersama melalui UU perbankan konvensional, yaitu UU No. 10 Tahun 1998, hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU tentang Perbankan Syariah selanjutnya dijelaskan lebih detail dan operasional melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)[9] dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). UU, PBI dan SEBI yang berhubungan dengan bank syariah dapat dilihat pada Tabel 2.

Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pihak yang bertugas untuk melakukan pengawasan kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah disebut sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS). Setiap bank syariah atau bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) wajib membentuk DPS yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.[10]. Dengan demikian, DPS adalah elemen penting dari sistem shariah governance pada level perusahaan (mikro). Pada level nasional, ada lembaga bernama Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.[11] Hakekatnya, DPS adalah perpanjangan tangan dari DSN untuk melakukan pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.

Meskipun UU Perbankan Syariah tidak memberikan penjelasan yang rinci tentang DPS, tetapi Bank Indonesia melalui PBI dan SEBI yang dikeluarkan, memberikan perincian dan guidelines terkait dengan dewan pengawas syariah beserta pelaksanaan GCG pada bank syariah. Setidaknya terdapat tiga PBI dan dua SEBI yang menguraikan tentang sistem tata kelola syariah atau shariah governance pada bank syariah. Uraian masing-masing peraturan dan surat edaran tersebut dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1Regulasi Sistem Shariah Governance LKS di Indonesia.

Pelaksanaan GCG pada bank syariah dijelaskan melalui PBI No. 11/33/PBI/2009. PBI ini secara umum menjelaskan tentang konsep GCG bagi bank syariah dan UUS serta bagaimana peran masing-masing dari Dewan Komisaris, Direksi, Komite-Komite, dan Dewan Pengawas Syariah. Dalam PBI ini juga dijelaskan tentang format self assessment pelaksanaan GCG pada bank syariah. Pada bagian pengawasan syariah dijelaskan tentang mekanisme pengangkatan anggota DPS, masa jabatan, tugas dan tanggung jawab, mekanisme pelaporan hasil pengawasan DPS dan sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan kewajibannya. Meskipun guidelines ini cukup menyeluruh tapi belum bisa disebut sebagai model kerangka shariah governance yang menyeluruh bagi bank syariah. Format guidelines GCG ini cenderung hasil penyesuaian dengan guidelines GCG bagi bank konvensional[12] yang sudah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam struktur organisasi perusahaan. Penjelasan lebih detail tentang teknis pelaksanaan GCG bagi bank syariah diuraikan melalui Surat Edaran BI (SEBI) No. 12/13/DPbS/2010.

Selain undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI juga mengeluarkan Surat Keputusan No. 03 Tahun 2000 tentang Penunjukan Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah. Pada surat keputusan tersebut dijelaskan tentang syarat, tugas dan fungsi dan perangkapan keanggotan DPS. Sebagaimana diketahuan DSN-MUI bukanlah organisasi pemerintah, sehingga produk fatwa yang dikeluarkannya tidak bersifat mengikat dan final. Namun berdasarkan pada PBI No. 6/24/PBI/2004 sebenarnya telah menjadikan fatwa-fatwa tentang perbankan syariah dan keuangan syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI wajib menjadi rujukan bagi lembaga keuangan yang menawarkan produk dan jasa layanan keuangan syariah.

Berdasarkan uraian aspek regulasi dari kerangka shariah governance dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga pihak utama yang berperan penting dalam pengawasan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia, yaitu Bank Indonesia yang saat ini beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dewan Syariah Nasional di bawah keorganisasian Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Pengawas Syariah yang dibentuk pada level perusahaan. Undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang DPS diatur secara terpisah dengan undang-undang perbankan konvensional. UU yang diterbitkan diuraikan lebih lanjut melalui PBI dan SEBI termasuk di dalamnya terkait dengan pengawasan aspek syariah. Meskipun regulasi terkait sistem shariah governance cukup banyak namun belum bisa dikatakan Indonesia sudah memiliki sistem regulasi kerangka shariah goverannce yang komprehensif. Hal ini disebabkan karena guidelines dalam bentuk PBI dan SEBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia tidaklah bersifat komprehensif sebagai kerangka sistem shariah goverannce. Sistem shariah goverance dalam peraturan tersebut masih menjadi sub bagian khususnya hanya terletak pada Dewan Pengawas Syariah.

2.    Aspek Struktur Organisasi

Pada aspek ini akan melihat bagaimana bentuk struktur shariah governance pada level perusahaan dan pada level nasional. Apakah sistem shariah governance pada sistem keuangan syariah memiliki lembaga yang tersentralisasi atau independen yang memiliki otoritas berbeda?.

Struktur shariah governance di Indonesia mengakui adanya dua level pengawasan syariah. Level pengawasan pertama adalah dewan syariah pada level nasional yang biasa disebut sebagai Dewan Syariah Nasional (DSN), dan kedua adalah dewan syariah pada level perusahaan yang disebut Dewan Pengawas Syariah (DPS). Kedua lembaga tersebut disebutkan secara jelas dalam UU No. 21 Tahun 2008 dan PBI No.6/24/PBI/2004.

DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas keuangan syariah. MUI adalah organisasi perkumpulan ulama yang berasal dari berbagai organisasi Islam di Indonesia yang berstatus sebagai organisasi non-pemerintahan. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariat) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syariah.[13] Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi pedoman bagi lembaga keuangan yang menawarkan layanan keuangan syariah. Meskipun status keorganisasian DSN adalah organisasi non-pemerintah tetapi fatwa yang dikeluarkan khususnya terkait dengan transaksi keuangan bersifat megikat bagi pelaku industri keuangan syariah sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Sementara hubungan antara DSN dan Bank Sentral Indonesia adalah bersifat koordinasi.

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1: Struktur Organisasi DSN dan DPS

Pengawasan terhadap pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada level perusahaan. DSN sebagaimana dijelaskan oleh PBI No.11/33/PBI/2009 adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan syariah. Proses pengangkatan DPS melalui proses pengajuan oleh bank kepada Bank Indonesia atas calon DPS yang telah mendapatkan rekomendasi DSN-MUI.[14] Bank Indonesia berwewenang untuk menerima dan menolak atas calon aggota DPS yang diajukan.

Dengan demikian, DPS merupakan lembaga unik dalam sistem shariah governance di Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan DSN berdasarkan persetujuan dari Bank Indonesia. DSN berperan dalam menjembatani hubungan antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional. Dalam artian, DSN memperantarai fatwa DSN ke dalam peraturan Bank Indonesia. Pengawasan DSN meliputi dua hal, yaitu (i) pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru bank; dan (ii) pengawasan terhadap kegiatan bank. Hasil pengawasan DPS disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format yang telah ditentukan oleh BI.

Keputusan yang dikeluarkan oleh DPS terkait dengan pelaksanaan prinsip syariah pada bank bersifat mengikat (binding). Hal demikian dikarenakan DPS adalah lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan pada PBI. Hubungan antara DPS dengan direksi dalam struktur organisasi perusahaan adalah hubungan koordinasi, yaitu DPS dapat memberikan nasehat dan saran kepada direksi terkait pelaksanaan prinsip syariah pada bank (lihat Gambar 2). Di sisi lain, fatwa yang dikeluarkan oleh DSN tidak bersifat mengikat kecuali jika diadopsi menjadi peraturan bank Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2: Struktur Organisasi DSN pada Perusahaan

3.    Aspek Proses

Aspek proses dari praktek shariah governance meliputi (i) pengangkatan dan pemberhentian; (ii) komposisi; (iii) persyaratan; dan (iv) batasan rangkap jabatan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan Syariah Nasional (DSN).

Undang-undang perbankan syariah tahun 2008 mewajibkan pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian DPS pada bank syariah diatur melalui PBI No.11/3/PBI/2009 dan SEBI No. 12/13/DPbS/2010 . Langkah pertama adalah bank syariah wajib mengajukan proposal pengajuan calon anggota DPS yang disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Bank Indonesia kemudia melakukan persetujuan atau penolakan atas permohonan yang diterima berdasarkan pada pemeriksaan kelengkapan dokumen dan wawancara yang dilakukan. Dengan demikian, Bank Indonesia dan DSN bertanggungjawab dalam memastikan calon anggota DSN yang ditunjuk sudah memenuhi persyaratan peraturan yang ada. Hal yang menarik dari ketentuan prosedur ini adalah bahwa DPS tidak ditunjuk semata oleh masing-masing bank tetapi berdasarkan pada hasil fit and proper tes yang dilakukan oleh BI dan DSN. Ini mengindikasikan bahwa DSN sebagai lembaga pengawas syariah pada level perusahaan bersifat independen dari proses pengangkatannya. Di sisi lain, pemberhentian anggota DPS dapat terjadi jika yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik seperti tidak melakukan penasehatan, penilaian, pengawsan dan review terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah pada bank.

Jumlah anggota DPS berdasarkan PBI No. 11/3/PBI/2009 dalam struktur organisasi suatu bank tidak kurang dua orang atau paling banyak 50 persen dari jumah anggota direksi. Satu orang dari anggota DPS bertindak sebagai ketua. Ketentuan bagi anggota DPS adalah hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS tidak lebih dari empat (4) lembaga keuangan syariah, yaitu dua (2) bank lain dan dua (2) lembaga keuangan syariah non bank.[15] DPS juga tidak boleh merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh BUS dan atau UUS.[16] Tambahan, sebanyak-banyaknya dua (2) anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DSN.

Perangkapan jabatan sebagai anggota DPS sampai empat lembaga keuangan syariah lainnya dapat memunculkan masalah bias keputusan yang dikeluarkan. Begitupula dengan keanggotaaan ganda sebagai anggota DPS dan di saat bersamaan sebagai anggota DSN. Keanggotaan ganda tersebut dapat berimplikasi pada masalah independensi. Mengingat bahwa DPS harus secara periodik melakukan laporan hasil pengawasan kepada DSN terkait dengan pelaksanaan prinsip syariah pada suatu bank.

Sementara segi persyaratan, anggota DPS adalah harus memiliki (i) integritas berupa akhlak yang baik, komitmen terhadap perundang-undangan dan pengembangan bank syariah; (ii) kompotensi berupa pengetahuan dan pengalaman di bidang muamalah dan pengetahua di bidang perbankan dan keuangan secara umum; dan (iii) reputasi kuangan yang baik. Namun demikian, PBI tersebut tidak mensyaratkan perlunya keanggota DPS berasal dari latar belakang yang berbeda terutama dari segi kualifikasi, pengalaman dan pengetahuan. Keragaman tatar belakang tersebut akan membantu anggota DPS dalam melakukan pengawasan syariah.

Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga otoritas tertinggi yang berwewenang mengeluarkan fatwa terkait dengan transaksi keuangan syariah dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia. Adapun keanggotaan DSN diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan para praktisi perekonomian yang memenuhi kriteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN melalui Rapat Pleno DSN-MUI.

4.    Aspek Peran dan Fungsi

Aspek penting dari sistem shariah governance mencakup tentang peran dan fungsi dewan pengawas syariah pada lembaga keuangan syariah. Bagian ini akan menganalisis peran dan fungsi dewan pengawas syariah di perbankan syariah.

Undang-Undang Perbankan Syariah Tahun 2008 secara umum menyebutkan tugas dari Dewan pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank adalah untuk memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS menurut PBI No. 6/24/PBI/2004 antara lain meliputi: (i) memastikan dan mengawasi mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; (ii) menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank; (iii) memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank; (iv) mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN; dan (v) menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang kurangnya setiap enam (6) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia. Sementara SEBI No.12/13/DPbS/2010 meringkas bagaimana DPS melakukan tugas tanggung jawabnya dengan cara antara lain: (i) melakukan pengawasan terhadap proses pengembangan produk baru; dan (ii) melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank.

Penjelasan yang tidak jauh berbeda tentang peran, fungsi dan tanggung jawab DPS tercantum dalam Surat Keputusan DSN-MUI No. 3 Tahun 2000 tentang petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syariah. Adapun fungsi utama DPS adalah (i) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari'ah dan pimpinan kantor cabang syari'ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari'ah; dan (ii) sebagai mediator antara lembaga keuangan syari'ah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syari'ah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Sementara kewajiban anggota DPS meliputi (i) mengikuti fatwa-fatwa DSN; (ii) mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari'ah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syari'ah yang telah difatwakan oleh DSN; dan (iii) melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun.

Berdasarkan pada BPI dan Surat Keputusan DSN-MUI yang menjelaskan tentang peran, fungsi dan tanggung jawab DSN sebelumnya menunjukkan bahwa seorang anggota DSN harus memiliki kompotensi dalam bidang fiqh muamalah untuk menjalakam tugas dan perannya secara maksimal. Namun penjelasan PBI No. 11/3/2009 tentang kompotensi bagi anggota DPS hanya menekankan perlunya pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah muamalah dan pengetahuan perbankan dan keuangan secara umum. Tidak dipersyaratkan setidaknya harus memiliki latar belakang pendidikan di bidang syariah (hukum Islam) atau batas minimal pengalaman di bidang perbankan dan keuangan.

Keputusan yang dikeluarkan oleh DPS terkait dengan hasil pengawasan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah bersifat mengikat yaitu memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat DPS adalah lembaga resmi yang dibentuk melalui Peraturan Bank Indonesia.

III.            KESIMPULAN

Berdasarkan pada studi dokumen hukum terkait dengan praktek shariah governance diIndonesia berdasarkan pada aspek regulasi, struktur organisasi, proses, dan fungsi shariah governance,ditemukan bahwa secara umum regulasi (UU dan peraturan) tentang perbankan dan keuangan syariah sudah mengatur tentang sistem shariah goveranance bagi lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Sistem shariah governance di Indonesia disinggung melalui UU Perbankan Syariah khususnya pada bagian pembahasan dewan pengawas syariah. Konsep tata kelola LKS diatur dalam bentuk PBI dan SEBI. Sayangnya regulasi ini belum bisa dikatakan sebagai guideline yang komprehensif tetang sistem shariah governance bagi LKS di Indonesia. Sementara pada aspek struktur shariah governance, Indonesia menerapkan model sentralisasi pengawasan syariah dengan mengembangkan dua level pengawasan, yaitu level makro melalui DSN-MUI sebagai otoritas fatwa syariah keuangan tertinggi dan level mikro yang menempatkan dewan pengawas syariah pada level perusahaan. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bersifat binding (mengikat). Hal ini terjadi karena fatwa-fatwa yang dikeluarkan diadopsi dalam bentuk Peraturan BI (sekarang peraturan OJK) yang selanjutnya pengawasannya dilakukan oleh DPS internal perusahaan. Dengan demikian, DPS adalah penghubung hubungan antara DSN-MUI dengan BI/OJK.

Pada aspek proses dari shariah governance ditemukan bahwa Indonesia menggunakan pendekatan moderat dalam proses shariah governance-nya. Pendekatan moderat misalnya terlihat dari dibolehkannya anggota DSN-MUI untuk menjadi anggota DPS pada level perusahaan. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku di Malaysia yang justru melarang anggota Shariah Advisory Council (SAC) untuk merangkap menjadi anggota Shariah Committee pada perusahaan. Model ini tentunya dapat meminimalisir terjadinya konflik kepentingan.

Pada aspek fungsi pengawas syariah ditemukan bahwa DPS hanya berfungsi pada panasehatan dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan aspek syariah oleh dewan syariah pada level perusahaan dapat dibentuk internal shariah unit. Unit ini membantu dewan pengawas syariah dalam melakukan proses audit kepatuhan syariah setiap saat di internal lembaga keuangan syariah. Untuk model struktur internal shariah review pada unit ini, dalam konteks di Indonesia tidak dijelaskan secara khusus. Unit ini, nampaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari unit audit internal perusahaan (LKS).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

AAOIFI,Statement on Governance Principles and Disclosure for Islamic Financial Institutions.

AAOIFI, Governance Standard for islamic Financial Institutions, No. 1-3, 1999, Bahrain.

Grais, W dan Pellegrini, M. (2006), �Corporate Governance and Shariah Compliance in Institutions Offereing Islamic Financial Sevices�, September 2006, World Bank.

Hasan, Zulkifli (2010), �Regulatory Framework of Shariah Governance System in Malaysia, GCG Countries and the UK�, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 3-2, p. 82-115.

Hassan, et.al. (2013), �A Comparative Analysis of Shariah Governance in Islamic Banking Institutions Across Jurisdiction�, Isra Research Paper, No. 50/2013.

IFSB Report 2013.

IFSB (2009), Guiding Principles on Shariah Governance Systems for Institutions Offering Islamic Financial Sevices, December 2009.

Iqbal dan Mirakhor (2011), An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice (Singapore: John Wiley).

Islamic Financial Services Board (2009), Guiding Priciples on Shariah Governance System for Institutions Offering Islamic Financial Services, December 2009.

Isra (2010), Islamic Financial System: Principles and Operations, (Isra Press: Kuala Lumpur).

Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 2000-2007.

Handoko, Luqman Hakim and Saim Kayadibi (2013), �The Implementation of Good Governance in the Era of Caliphate Omar Ibn Abd al-Aziz (61H-101 H/717-720 M)� Global Review of Islamic Economics and Business, Vol. 1, No. 2.

Rama, Ali (2014), �Analisis Komparatif Model Shariah Governance Lembaga Keuangan Syariah: Studi Kasus Negara ASEAN�, Laporan Penelitian Puslitpen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014

Taimiyah, Ibnu (2008), Al-Hisbah, edisi terjemahan (Jakarta: Nusantara Intikarma Pratama).

Wardhany, Nurhastuty dan Arshad, S. (2012), �The Role of Shariah Board in Islamic Banks: A Case Study of Malaysia, Indonesia, and Brunei Darussalam�. 2nd Isra Colloquium.

 

��������������������������������������������������������

 

Dokumen Hukum

Indonesia

1.      PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS

2.      UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

3.      UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

4.      PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah

5.      PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

6.      SEBI No. 12/13/DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

7.      SEBI No. 8/19/DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah

8.      Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syariah

 

 

 

 

Tabel 1:Regulasi Sistem Shariah Governance LKS di Indonesia

Regulasi

Uraian tentang sistem Shariah Governance dan Dewan Pengawas Syariah

1.       UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

-     Dewan pengawas syariah(Bab V Pasal 32),

-     Tata kelola bank syariah (Bab VI pasal 34)

 

a.     Kewajiban bank syariah membentuk DPS melalui RUPS atas persetujuan MUI.

b.    Fungsi DPS untuk memberikan nasehat dan saran bagi direksi dan pengawasan bank terkait kepatuhan terhadap prinsip syariah.

c.     Ketentuan lebih lanjut diatur melalui PBI.

d.    Bank syariah wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran

e.     Bank syariah wajib menyusun prosedur inetrnal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut.

2.        UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

-     Penjelasan Pasal 6

 

 

a.     Hasil amandemen UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU ini secara spesifik menjelaskan adanya jenis bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Dan pada bagian penjelasan pasal disebutkan tentang Dewan Pengawas Syariah meskipun tidak diuraikan lebih lanjut lagi.

3.       PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah

-     Pasal 34, 35, 36, 37, 38, 39

 

a.     Bank berkewajiban membentuk DPS di tingkat pusat.

b.    Syarat-syarat menjadi anggota DPS dilihat dari segi integritas, kompotensi, dan reputasi keuangan.

c.     Tugas dan tanggungjawab DPS.

d.    Komposisi DPS dan batasan rangkap jabatan sebagai DPS pada bank lain

e.     Mekanisme pemilihan dan pengangkatan DPS

4.       PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

-     Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51

a.     Usulan pengangkatan DPS dan masa jabatan.

b.    Tugas dan tanggungjawab DPS.

c.     Pembuatan laporan hasil pengawasn oleh DPS

d.    Ketentuan rapat bagi DPS

e.     Aspek transparansi DPS

5.       PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

-     Pasal 21, 26, 27 ,32, 33

a.     Persyaratan anggota DPS

b.    Komposisi DPS, ketentuan rangkap jabatan di DSN dan di bank syariah

c.     Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS

d.    Mekanisme pengangkatan DPS

6.       SEBI No. 12/13/DPbS/2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

a.     Mekanisme pengangkatan calon anggota DPS

b.    Tugas dan tanggungjawab DPS

c.     Ruang lingkup pengawasan DPS

d.    Laporan hasil pengawasan DPS

e.     Fasilitas yang diterima oleh DPS dalam menjalankan pengawasan di bank

f.     Batasan-batasan bagi DPS

g.    Sanksi bagi DPS yang tidak melaksanakan tugasnya

h.    Kewajiban untuk membuat laporan penilaian (self assessment) pelaksanaan GCG pada bank syariah

7.       SEBI No. 8/19/DPbS/2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah

a.        Ketentuan isi laporan hasil pengawasan DPS pada bank syariah

8.       Surat Keputusan DSN-MUI No. 03/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota DPS pada Lembaga Keuangan Syariah

a.     Ketentuan keanggotan DPS

b.    Syarat-syarat keanggotan DPS

c.     Tugas dan fungsi DPS

d.    Prosedur pengangkatan DPS

e.     Kewajiban anggota DPS terkait hubungannya dengan DSN-MUI

f.     Ketentuan perangkapan keanggotan DPS di lembaga keuangan syariah yang lain

 

 



[1] Penelitian ini merupakan hasil pengembangan dari penelitian tentang Shariah Governance yang dibiayai oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun anggaran 2014. Penelitian ini diajukan untuk diterbitkan di Jurnal Ekonomi Islam La-Riba.

*Korespondensi Penulis melalui Email: [email protected], HP: +6282190191028

[2]Lihat Laporan Tahunan IFSB 2013.

[3]International Islamic Financial Services Board (IFSB). Merupakan lembaga regulasi dan supervisi bertaraf interrnasional yang memiliki tujuan untuk memastikan kesehatan dan stabilitas industri keuangan syariah yang meliputi perbankan, pasar modal dan asuransi. Lembaga ini didirikan pada tahun 2002 yang berbasis di Kuala Lumpur.

[4] Dokumen hukum yang digunakan dalam penelitian ini khususnya terkait dengan peraturan dan surat edaran yang berhubungan dengan perbankan syariah di Indonesia masih menggunakan peraturan dan surat edaran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) sebelum aturan/surat edaran tersebut dikonversi menjadi aturan dan surat edaran Otoritas Jasa Keuangan. Dengan berdirinya OJK maka peraturan terkait dengan perbankan syariah yang sebelumnya berada di bawah BI beralih ke OJK.

[5] Istilah hisbah dapat ditemukan dalam buku �Al Hisbah� karangan Ibnu Taimiyah.

[6]Muhtasib menurut Ibnu Taimiyah (2008) adalah pihak yang diberikan wewenang untuk menegakkan aturan Allah di dalam pasar untuk menindak setiap pelaku, individu ataupun kelompok, yang melakukan perbuatan demikian secara jelas (dzahir), baik berupa perbuatan atau ucapan, dan juga melarang semua kegiatan yang menjurus pada pelanggaran dzahir dari hukuman hudud (bukan menangani hukum hudud, karena hudud urusan lembaga peradilan).

[7] Lihat PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi BUS dan UUS, Pasal 1, Ayat 10.

[8]Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan istilah umum yang digunakan di Indonesia untuk menyebut institusi pengawasan internal syariah di bank syariah. Beberapa negara menyebut DPS sebagai shari'a supersory board (SSB), atau shari'a committee (SB), dan atau shari'a council (SC). DPS menurut PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah, adalah dewan yang bertugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

[9] Penelitian ini masih menggunakan Peraturan dan Surat Edaran yang berhubungan dengan perbankan syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). Peraturan dan Surat Edaran yang digunakan pada penelitian ini saat ini sudah berada di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

[10] Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 33.

[11]Lihat PBI No. 6/24/PBI/2004, bagian Ketentuan Umum.

[12] Lihat PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum.

[13] Lihat Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 2000-2007.

[14] Lihat SEBI No.12/13/DPbs/2010.

[15] Lihat PBI No. 6/24/PBI/2004.

[16]Lihat SEBI No. 12/13/DPbS/2010.