LEMBAGA KEUANGAN MIKRO BERBASIS KELOMPOK USAHA BERSAMA; SEBUAH STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN STRUKTURAL

Yuli Afriyandi

STEIBI Al Muhsin dan Konsultan Koperasi dan UKM di Pusat Layanan Usaha Terpadu DI. Yogyakarta, Indonesia

[email protected]

Intisari:

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis peran lembaga keuangan mikro berbasis kelompok usaha bersama sebagai strategi pengentasan kemiskinan struktural di Indonesia. Dalam rangka membantu percepatan pengentasan kemiskinan terutama kemiskinan struktural, pemerintah melalui Kementrian Sosial Republik Indonesia meluncurkan program pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang kemudian membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM-KUBE memiliki karakteristik khusus yang diharapkan mampu menjadi salah satu mekanisme pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Karakteristik tersebut adalah pertama; program LKM-KUBE mewajibkan angotanya untuk mengikuti Pelatihan Wajib Kelompok yang membekali anggotanya dalam aspek manajemen, dan pengelolaan keuangan usaha, serta sistem peran dan fungsi LKMKUBE. Kedua; mekanisme tanggung renteng dalam aplikasi pemberian pembiayaan kepada anggota dapat meminimalisir risiko pembiayaan bermasalah. Dan ketiga adalah pembinaan (rumpun) yang dilakukan oleh LKM-KUBE sebagai bentuk edukasi dan pemberian motivasi kepada anggota untuk menjalankan usaha dengan baik dan menjadi anggota LKM-KUBE yang aktif. Peran penting Lembaga Keuangan Mikro Kelompok Usaha Bersama dalam pengentasan kemiskinan struktural sangat efektif dan merupakan program yang dipandang tepat. Manfaat dari keberadaan LKM-KUBE dapat diterima langsung oleh masyarakat kelompok usaha skala mikro, tidak hanya dari aspek permodalan usaha, akan tetapi juga melalui program pendampingan.

I.       PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat serius dihadapi oleh Indonesia. Kebanyakan penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Data terakhir menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27, 73 juta orang (10, 96 % dari populasi).�(BPS, 2014)

Berbagai program pengentasan kemiskinan telah diupayakan dan digagas, baik oleh pemerintah maupun organisasi di luar pemerintah. Bahkan organisasi seperti PBB telah mendorong Negara-negara di dunia untuk memerangi musuh kemiskinan melalui berbagai forum. Diantaranya hasilnya ialah telah dikeluarkannya Millenium Development Goals (MDGs) sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan dalam memerangi kemiskinan.[1] Meskipun demikian, kemiskinan di Indonesia masih dipandang sebagai tugas pemerintah dan kelompok tertentu yang masih memperjuangkan bahkan si miskin sendiri dan bukan kewajiban bersama untuk mengatasinya. Karena keterbatasan peran di dalam pelibatan pengentasan kemiskinan, program-program yang dilakukan seringkali tidak berkesinambungan dan sporadis bahkan cenderung tidak tepat. Olehkarenanya, kondisi kemiskinan di Indonesia nampaknya mengalami kemajuan yang lambat dibanding perkembangan lainnya.

Menjawab permasalahan di atas, proses perubahan kebijakan pengentasan kemiskinan terus dilakukan pembaharuan. Karena semua pihak menyadari bahwa kemiskinan lebih disebabkan pada problem struktural sehingga kemudian muncullah istilah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial masyarakat yang tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Pada tataran masyarakat miskin yang tergolong usaha ekonomi skala mikro misalnya, problem struktural yang biasa mereka hadapi meliputi dua hal, pertama; kesulitan mereka mengakses kredit, kedua; ketiadaan perlindungan dan jaminan atas modal bagi usaha mereka.

Karena itu, dalam rangka membantu percepatan pengentasan kemiskinan terutama mengatasi persoalan kemiskinan struktural, muncul program yang dipandang bagus dan efektif oleh pemerintah melalui Kementrian Sosial Republik Indonesia yang meluncurkan program pemberdayaan fakir miskin melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang kemudian membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Program yang dimulai pada tahun 2005 ini dirancang sesuai dengan potensi masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejahteraan warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang terkait.�(Rarasati, 2007)

LKM � KUBE yang operasionalisasinya mirip dengan bank dan lembaga keuangan koperasi yang pada umumnya menghimpun dana masyarakat (anggota) dan menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan skala mikro. Namun perbedaan mendasar dari lembaga ini adalah pembianaan terhadap kelompok usaha (KUBE). Pola � pola pembinaan inilah yang kemudian diyakinkan mampu menjadi senjata untuk mengatasi persoalan kemiskinan, minimal dari anggota kelompok. Olehkarena itu artikel ini mengkaji secara mendalam mengenai pola pengentasan kemiskinan melalui lembaga keuangan mikro kelompok usaha bersama.

II.   KEMISKINAN STRUKTURAL

Kemiskinan struktural merupakan masalah sosial yang lebih disebabkan disfungsionalitas negara dalam merespon globalisasi ekonomi. Dalam hal ini Revrisond Baswier menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. Menurutnya, �Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebabkan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan structural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktor buatan manusia seperti kebijakan perekonomian yang tidak adil, penguasaan factor-faktor buatan manusia seperti kebijakkan perekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian internasional yang lebih menguntungkan Negara tertentu.��(Baswir, 2003, p. 18)

Kemiskinan struktural merupakan bentuk disfungsionalitas lembaga Negara yang memunculkan kebijakan yang tidak tepat sasaran sehingga cenderung memiskinkan. Bentuk kegagalan kebijakan seperti membuat regulasi yang tidak tepat, atau regulasi yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Kemiskinan struktural yang biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya.� Benar saja, tingkat rasio gini Indonesia meningkat khususnya dalam 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rasio gini adalah ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Pada 2005, rasio gini Indonesia sebesar 36,3 persen, meningkat menjadi 41,3 persen pada 2013.�(BPS, 2014)

Perbedaan tingkat pendapatan ini biasanya dialami golongan misalnya para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau kaum migran di kota yang bekerja di sektor informal dengan hasil tidak menentu sehingga pendapatannya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarga. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh, pedagang kaki lima, penghuni pemukiman kumuh, pedagang asongan, dan lain-lain yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau dengan kata lain disebut unskilled labour.[2]

III.    PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI �LKM-KUBE

Program pengentasan kemiskinan melalui LKM-KUBE merupakan program yang tepat dalam mengatasi persoalan kemiskinan structural. Karena walaupun kebijakan program ini bersifat top down, tapi partisipasi aktif masyarakat dalam menerima program ini mejadi kunci keberhasilan. Hal ini bisa dibuktikan dengan tahapan-tahapan pelaksanaan program yang tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat di setiap tahapannya. Untuk lebih jelasnya beberapa tahapan dalam pelaksanaan program adalah sebagai berikut;

A.     Penumbuhan dan Penguatan KUBE

Penumbuhan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai cikal bakal lahirnya LKM � KUBE dibentuk dengan beberapa tahapan kegiatan seperti mulai dari persiapan/identifikasi, sosialisasi ke masyarakat, dan Pelatihan Wajib Kelompok (PWK), dan Rumpun.�(DIY, 2010)

Pada tahapan persiapan dilakukan dengan identifikasi wilayah secara keseluruhan baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. Identifikasi data sekunder dengan menganalisa data dasar potensi kelompok usaha yang ada diwilayah, data monografi desa dan kecamatan. Serta melakukan identifikasi partisipatif dengan melibatkan perwakilan masyarakat dan unsur pemerintah desa untuk melihat secara lebih luas kondisi dan potensi wilayah.

Tahapan selanjutnya adalah proses sosialisasi ke masyarakat. Pada tahapan ini diperkenalkan tentang alur program serta manfaat yang akan diterima oleh masyarakat. Tujuan dari sosialisasi ini adalah agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mensukseskan program serta terbangun komitmen bersama.

Proses pemahaman program telah tersampaikan kemasyarakat selanjutnya adalah pembentukan KUBE. Pada tahapan ini dibutuhkan pendamping yang akan mensuvervisi agar fungsi KUBE sesuai dengan tujuan program. Dalam KUBE dibutuhkan struktur organisasi minimal Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota. faktor yang menentukan keberhasilan KUBE adalah motivasi masyarakat yang tinggi untuk meningkatkan taraf hidup mereka dan semangat kebersamaan di antara mereka, serta peran pendamping dan fasilitator dalam proses berlangsungnya program.

Setelah KUBE terbentuk dibuktikan dengan terbentuknya kepengurusan, maka selanjutnya mereka akan mendapatkan penguatan melalui Pelatihan Wajib KUBE (PWK). Pelatihan wajib kelompok atau di singkat PWK merupakan� satu rangkaian kegiatan dalam upaya memahamkan konsep LKM kepada anggota kelompok KUBE. Pelatihan ini bersifat wajib sebelum LKM didirikan.

Ada tiga tahapan PWK yang harus dilewati oleh anggota kelompok KUBE sebelum LKM didirikan. Adapun pelatihan tersebut terdiri dari:

1.         PWK 1

PWK 1 (pertama) bertujuan untuk memahamkan kepada anggota KUBE tentang substansi program pemberdayaan KUBE dan LKM KUBE serta memantapkan tekad dan komitmen anggota KUBE. Dengan masa pertemuan kurang lebih 1 jam, anggota KUBE diberikan aturan dalam pertemuan PWK serta sangsi atas pelanggaran aturan tersebut.

2.         PWK 2

PWK 2 (kedua) membahas tentang Rencana Usaha Anggota (RUA) dan Rencana Usaha Bersama (RUB).� Harapannya dengan pembahasan ini anggota KUBE dapat membuat RUA untuk usahanya pribadi maupun kelompok. Pada sesi ini anggota KUBE diminta untuk praktek langsung membuat RUA dan memaparkan kepada peserta.

3.         PWK 3

Pada PWK 3 (tiga), pendamping menjelaskan mengenai fungsi KUBE dan organisasinya, job description pengurus KUBE dan lain sebagainya. Selain itu dijelaskan juga tentang mekanisme pembiayaan model tanggung renteng dan penentuan plafon pembiayaan serta kesepakatan untuk bersedia mengikuti pola tanggung renteng.

���������������� Pada proses selanjutnya adalah rumpun. Rumpun ini adalah bagian dari kegiatan pertemuan rutin kelompok. Setelah LKM-KUBE terbentuk, rumpun dikoordinir oleh LKM-KUBE sebagi bentuk pembinaan kepada anggota KUBE.

B.    LKM KUBE Dan Sistem Tanggung Renteng

1.       Pengertian LKM

Definisi LKM yang diajukan oleh beberapa pakar dan organisasi nampak saling berbeda satu sama lain walau pada dasarnya definisi-definisi tersebut memiliki inti yang sama, yaitu merujuk keuangan mikro sebagai upaya penyedia jasa keuangan, terutama simpanan dan kredit / pembiayaan, dan juga jasa keuangan lain yang diperuntukkan bagi keluarga miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses terhadap bank komersial atau tidak bankable.

Adams dan Fitchett� mendefinisikan LKM sebagai berikut:

�Microfinance institutions also play an important role in serving credit to individuals, farmers and small-scalle enterprise�.

Pendapat Adams dan Fitchett ini lebih mencirikan LKM sebagai sebuah lembaga pendidikan yang dinamis, inovatif, dan lentur yang dirancang sesuai kondisi lingkungan sosial dan ekonomi lokal.

Dalam bukunya� Microfinance Handbook� yang diterbitkan oleh Bank Dunia, Joanna Ledgerwood (2006) menyatakan bahwa istilah keuangan mikro menunjuk pada penyediaan jasa-jasa keuangan (biasanya berupa simpanan dan kredit) kepada nasabah berpenghasilan rendah, yang mencakup pedagang kecil, pedagang kaki lima, petani kecil, penjual jasa (penata rambut, penarik becak), dan tukang serta produsen kecil seperti pandai besi dan penjahit.� Dia menunjukkan bahwa di antara para nasabah tersebut banyak yang memiliki sumber penghasilan yang mapan karena mereka memiliki sumber penghasilan ganda. Meskipun mereka miskin, pada umumnya mereka tidak dianggap sebagai �orang-orang yang paling miskin� di antara yang miskin.��(Arsyad, 2006)

Bank Pembangunan Asia (ADB) mendefinisikan lembaga keuangan mikro sebagai penyediaan jasa-jasa keuangan dalam� ragam yang luas seperti tabungan, pinjaman, jasa pembayaran,� pengiriman uang dan asuransi untuk rumah tangga miskin dan berpenghasilan rendah dan usaha-usaha mikro mereka.�(ADB, 2010)

Definisi ADB� tersebut mencakup rumah tangga berpenghasilan rendah dan juga rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan karena ada cukup banyak� rumah tangga berpenghasilan rendah yang tidak berada di bawah garis kemiskinan tetapi memiliki akses yang terbatas terhadap jasa keuangan, terutama di daerah pedesaan.

Robinson menekankan bahwa istilah lembaga keuangan mikro merujuk pada �jasa-jasa keuangan berskala kecil, terutama kredit dan� simpanan, yang disediakan untuk orang-orang yang bertani, mencari ikan atau beternak; yang memiliki usaha kecil atau mikro yang memproduksi, mendaur� ulang, memperbaiki atau menjual barang-barang; yang menjual jasa; yang� bekerja untuk mendapatkan upah dan komisi; yang memperoleh penghasilan dari menyewakan tanah, kendaraan, binatang atau mesin dan peralatan dalam jumlah kecil; dan kelompok-kelompok dan individu lain pada tingkat-tingkat daerah di negara-negara yang sedang berkembang (NSB), baik daerah pedesaan maupun perkotaan�.�(Robinson, 2004, p. 9)

Sebuah definisi yang sedikit berbeda dirumuskan oleh Meagher (2002). Dia berpendapat bahwa keuangan mikro� adalah pemberian pinjaman uang dalam jumlah kecil dan dalam jangka waktu yang singkat dengan frekuensi pelunasan yang tinggi.�(Robinson, 2004, p. 9) Dalam kaitannya dengan definisi LKM, dia berpendapat bahwa prinsip utamanya adalah untuk memberikan definisi yang akan dapat menjadikan anggota-anggota pasar memiliki tanggung jawab, penuh semangat, dan inovatif.�� Secara� hukum definisinya harus cukup luas sehingga dapat difokuskan pada kelompok sasaran tertentu dan dapat menyediakan jasa keuangan dengan ragam yang luas sesuai dengan kelompok tersebut.� Dalam pelaksanaannya, selain perantara keuangan, beberapa LKM juga menyediakan jasa perantara sosial seperti pembentukan kelompok, pengembangan kepercayaan diri, dan� pelatihan pengetahuan keuangan dan kemampuan manajemen untuk anggota� sebuah kelompok yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi perempuan dan laki-laki berpenghasilan rendah.� Salah satu alasannya adalah karena orang-orang berpenghasilan rendah harus berjuang menghadapi hambatan yang berat (seperti buta huruf, diskriminasi gender dan keterpencilan) dalam usahanya untuk memperoleh akses terhadap lembaga jasa keuangan kovensional.�(Ledgerwood, 2006, p. 362)

Hal ini berarti bahwa selain memberikan akses kepada orang-orang berpenghasilan rendah terhadap pengadaan pinjaman, keterampilan dan kepercayaan diri mereka juga harus ditingkatkan.� Oleh karena itu pendekatan keuangan mikro bukanlah pendekatan minimalis yang hanya berperan sebagai lembaga perantara keuangan saja akan� tetapi merupakan pendekatan terpadu yang juga menawarkan jasa-jasa lain yang telah disebutkan di atas. Pendekatan tersebut diharapkan juga dapat mengurangi kemiskinan dan mengembangkan dan memperkuat kapasitas institusional sistem keuangan lokal dengan menemukan cara yang terbaik untuk dapat meminjamkan uang kepada keluarga miskin dengan biaya minimum.

Walaupun terdapat banyak definisi LKM, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai defenisi tentang LKM. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi.� Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas.� Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel.� Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.�(Susila, 2008, p. 228)

Dengan demikian LKM berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan Usaha Mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin. Sebagai lembaga simpanan, LKM dapat menghimpun dana (saving) yang dijadikan prasyarat bagi adanya kredit walaupun pada akhirnya sering kali jumlah kredit yang diberikan lebih besar dari dana yang berhasil dihimpun.

2.      LKM KUBE; LKM Berbasis Kelompok

LKM KUBE merupakan lembaga keuangan mikro yang anggotanya adalah kelompok usaha bersama. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berbasis kelompok/komunitas merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan Usaha Mikro dan diinginkan para pengusaha mikro di Indonesia dewasa ini dan di masa yang akan datang.

Sebetulnya, layanan terhadap keuangan mikro bukanlah hal yang baru, dan tetap hadir dalam masyarakat bawah maupun menengah.� Ada berbagai model lembaga keuangan mikro di antaranya:�(Waspada)

a.       Poverty-focused Development Banks yaitu bentuk bank dengan para staf profesionalnya mempunyai akses dan keputusan terhadap administrasi dana independen yang dimilikinya yang dipinjamkan pada perorangan atau sekelompok masyarakat berkecukupan terbatas.

b.      Village Banks yaitu dana pinjaman disediakan oleh lembaga eksternal untuk organisasi berbasis masyarakat lokal, yang biasa terdaftar secara resmi atau tidak. Fungsi dan transaksi perbankan secara keseluruhan dikelola oleh organisasi tersebut yang membentuk tim pengawasan dan persetujuan pinjaman.

c.       Thrift and Credit Co-operatives (TCCs and Credit Unions (CUs) yaitu suatu organisasi dengan keanggotaan yang terdaftar secara formal di atur oleh peraturan pemerintah. Organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang yang memiliki ikatan yang sama tersebut (misalnya hidup dalam komunitas yang sama atau bekerja dalam perusahaan yang sama) sepakat untuk menyimpan uang secara bersama dan meminjamkannya pada tingkat bunga yang tendah, atau menggunakannya untuk tujuan atau proyek yang dimiliki bersama.

d.      Intermediary programmes yaitu LSM memfasilitasi hubungan antara kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam kelompok usaha mikro atau masyarakat berpendapatan rendah dengan sistem keuangan formal.� Mereka melakukan penyerahan, bantuan untuk pengajuan, pelatihan, bantuan teknis, dan penjaminan untuk penyedia jasa keuangan yang mengurangi biaya dan risiko dari sasaran penerima bantuan masyarakat miskin.

Dari berbagai macam model LKM di atas mempunyai tugas utama menyalurkan pinjaman ke usaha mikro atau masyarakat berpendapatan rendah.� Prakteknya, LKM memberikan layanan jasa keuangan dengan mekanisme kelompok.� LKM berbasis kelompok adalah lembaga pinjaman yang berformula usaha mikro pada kepercayaan kelompok dengan pola besar cicilan pengambilan sebagai acuan pinjaman.

Hasil penelitian Ikaputera mengungkap bahwa LKM berbasis kelompok� memberikan syarat dikembangkan dengan ketentuan dasar sebagai berikut:�(Waspada)

a.       Kepercayaan

b.      Pinjaman dengan formula tanggung jawab kelompok

c.       Tanpa agunan

d.      Pengusaha Mikro dikenal Lembaga Keungan Mikro

e.       Besar pengembalian sebagai dasar pinjaman (Rasio aktivitas)

f.       Usaha Mikro dikenal lingkungan sekitarnya

Adapun keunggulan model LKM berbasis kelompok adalah:

a.       Tumbuh dan berkembang melayani usaha mikro;

b.      Mandiri dan bebas di masyarakat;

c.       Sangat dekat dengan masyarakat lingkungan sekitarnya;

d.      Memiliki prosedur peminjaman dana tanpa agunan;

e.       Pendanaan usaha produktif masyarakat sekitar LKM tersebut;

f.       Lembaga ini memiliki pasar masyarakat tersendiri;

g.      Besar tawaran pengembalian dana pinjaman menjadi acuan dasar

Dari penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa LKM berbasis kelompok sangat dibutuhkan dan dikembangkan.� LKM berbasis kelompok memiliki ciri tidak membuka kantor cabang di luar wilayah kecamatan, bahkan kabupaten, sehingga lembaga ini mampu sebagai community bank yang diharapkan �memperdalam� akses pelayanan kepada masyarakat disekitarnya.

Jadi mungkin saja LKM berbasis kelompok menjadi model pengembangan LKM yang baik di Indonesia kedepannya.

3.      Sistem Tanggung Renteng

LKM � KUBE dalam penyaluran kredit / pembiayaan menggunkan sistem tanggung renteng. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung berarti memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk membayar utang orang lain bila orang lain tidak menepati janjinya, sedangkan kata renteng berarti rangkaian, untaian.� Dalam dunia perkreditan tanggung renteng dapat diartikan sebagai tanggung jawab bersama antara perminjam dan penjaminnya atas hutang yang dibuatnya.

Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengartikan bahwa tanggung renteng adalah tanggung jawab bersama di antara anggota atau di satu kelompok atas segala kewajiban mereka terhadap koperasi dengan berdasarkan keterbukaan dan saling percaya.�(KNKUKM, 2007, p. 11)

Dalam sejarahnya istilah tanggung renteng (hoofdelijkheid) diangkat dari tradisi para pedagang yang di adaptasi oleh Belanda dalam Wet Boek van Koophandel atau kodifikasi Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ketika membahas Commanditaire Venootschap (CV).� Kelahiran CV tak lepas dari perilaku usaha para pedagang dan pengusaha yang saling menyokong dalam percaturan bisnis di wilayah Eropa Kontinental pada abad pertengahan.� Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk peminjaman uang, barang atau pemberian kuasa dengan risiko dibagi secara tanggung-menanggung.� Dengan demikian, dalam konteks utang piutang perseroan ini, tanggung renteng berarti tanggung jawab bersama di antara para penanam modal baik pesero komanditer maupun pesero pengurus.�� Dalam konteks ini tanggung renteng berarti tanggung jawab bersama di antara para penanam modal baik pesero komanditer maupun pesero pengurus.�(Soemantri, 2003, p. 46)

Menurut Koperasi Setia Bhakti Wanita, tanggung renteng di maksudkan sebagai memikul, menjamin, menyatakan kesediaan untuk menunaikan kewajiban anggota, baik sementara ataupun permanen, bila anggota dalam satu kelompok di satu wilayah tertentu bertindak atau berperilaku tidak sesuai dengan aturan yang disepakati karena berbagai alasan.�(Soemantri, 2003, p. 46)

Dalam penjelasannya, makna tanggung renteng dalam pengertian di atas dapat berarti negatif sekaligus positif, tergantung dari kalimat yang digunakan. Di tanggung renteng tidak sama dengan istilah melaksanakan tanggung renteng. Melaksanakan tanggung renteng yang berkonotasi positif, berarti kelompok melaksanakan gotong royong, saling menolong, menekankan kejujuran, menerapkan transparansi dan kontrol. Sementara di tanggung renteng berarti mendapat sanksi.

Menurut Syaiful Arifin, tanggung renteng merupakan jaminan sosial yang didalamnya terdapat nilai kebersamaan, tolong menolong dan kepercayaan antar anggota serta saling bekerjasama dalam meringankan beban.�(Syaiful, 2008, p. 520) Sedangkan menurut Riana Panggabean inti dari sistem tanggung renteng adalah kebersamaan, kesepakatan, saling percaya, dan saling mengenal anggota dalam kelompok.�(Panggabean, 2007)

Hal senada juga disampaikan oleh Sri Edi-Swasono bahwa sistem pinjam-meminjam yang dikembangkan oleh koperasi simpan pinjam berdasarkan tanggung renteng sebenarnya merupakan pelaksanaan prinsip dan nilai �menolong diri sendiri secara bersama-sama.� (Roesdiono, 1998, p. 124) Dijelaskan lagi bahwa tanggung renteng bukan sekedar mekanisme pengamanan (terutama dari kacamata pihak yang memberi bantuan), tetapi juga mendorong penerima pinjaman untuk lebih berhati-hati mendayagunakan pinjaman yang Ia terima. Penerima pinjaman mendapat bimbingan dan pengawasan �otomatis� dari serenteng orang lain.� Lebih dari itu, tanggung renteng merupakan keluhuran budi dalam pelaksanaan kesepakatan nasional untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.� Dari tanggung renteng inilah dapat dijastifikasikan bahwa paham kebersamaan dan kekeluargaan bukanlah suatu apatisme ataupun pasivisme, bahkan sebaliknya, merupakan suatu dinamisme. Dari sini pulalah kemandirian dinamis akan terwujud.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung renteng menjadi wujud konkret dari sistem ekonomi berdasar kebersamaan dan asas kekeluargaan, yaitu berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, kolektivisme Indonesia, sikap mandiri, menolong diri sendiri secara bersama-sama, solidaritas sosial dan sekaligus berdasarkan dinamisme masyarakat.

Implementasi pemberian pembiayaan dengan sistem tanggung renteng di LKM-KUBE melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

a.       Pengisian form di lakukan saat anggota mengajukan pembiayaan ke LKM. Apabila ada kekurangan dalam pengisian form maka akan dibantu oleh pihak LKM.

b.      Setelah form terisi berikut dengan jumlah pembiayaan yang akan diajukan, maka langkah selanjutnya adalah meminta persetujuan anggota kelompok yang lain terkait dengan kemampuan dan jumlah plafon yang disetujui oleh anggota yang lainnya. Di sini, anggota yang lain berhak menentukan nominal plafon yang disetujui dengan penilaian masing-masing.

c.       Pada langkah selanjutnya setelah form persetujuan anggota kelompok yang lain terisi, maka ketua kelompok mengoreksi atas isin formulir tersebut dan memutuskan pengajuan anggota tersebut dengan acuan melihat angka persetujuan terendah dari rekomendasi anggota.

d.      Proses selanjutnya adalah pengajuan ke LKM dengan mengisi kelengkapan administrasi lainnya seperti; photo copy KTP/SIM suami istri, Kartu Keluarga.

e.       Tahapan proses pencairan pembiayaan

4.      Peran Nyata LKM KUBE dalam Pengentasan Kemiskinan Struktural

Dengan terbentuknya LKM-KUBE yang memiliki peran strategis dalam menjawab tantangan pemenuhan layanan keuangan bagi kelompok usaha ekonomi lemah. Selain peran, keberadaan yang strategis LKM-KUBE juga penting karena memiliki keunggulan yang relative tidak dimiliki oleh bank umum, seperti keluwesan dalam memberikan pelayanan, serta kemampuan pengelola dalam memahami kebutuhan dan budaya masyarakat setempat karena kedekatan secara psikologis dan kekeluargaan antara pengelola dengan anggotanya. Dan yang perlu digarisbawahi adalah lahirnya LKM KUBE karena berangkat dari kebutuhan anggota-anggota KUBE itu sendiri.

LKM � KUBE mampu menempatkan diri sebagai mitra anggota KUBE. Setiap anggota KUBE berhak atas akses layanan keuangan dari LKM-KUBE. Dimana, dengan mekanisme tanggung renteng, hak atas jaminan pembiayaan otomatis terpenuhi. Dengan demikian, anggota KUBE akan dapat memanfaatkan layanan usaha tersebut untuk mengembangkan usaha-usaha produktif. Peranan yang dimainkannya dalam memberikan akses dan proteksi masyarakat miskin terhadap modal, telah menempatkan LKM-KUBE sebagai salah satu agen dalam pemberdayaan masyarakat.

Tiga hal mendasar kenapa kemudian LKM-KUBE berperan penting dalam pengentasan kemiskinan minimal kepada anggotanya. Pertama; setiap anggota KUBE yang telah mendapatkan PWK maka telah memiliki bekal untuk menjalankan usaha baik dari aspek manajemen, dan pengelolaan keuangan usaha. Selain itu mereka juga difahamkan tentang sistem peran dan fungsi LKM-KUBE sehingga secara tidak langsung rasa kepemilikan kepada LKM-KUBE tumbuh.

Kedua; mekanisme tanggung renteng dalam aplikasi pemberian pembiayaan kepada anggota dapat meminimalisir risiko pembiayaan bermasalah. Sehingga, produktivitas LKM-KUBE akan terus meningkat dan tentunya akan membawa kesejahteraan bagi anggotanya. Dan ketiga adalah pembinaan (rumpun) yang dilakukan oleh LKM-KUBE adalah sebagai bentuk edukasi juga sebagai pemberian motivasi kepada anggota untuk menjalankan usaha dengan baik dan menjadi anggota LKM-KUBE yang aktif.

Inilah peran nyata LKM-KUBE dalam pengentasan kemiskinan. Sehinga problem struktural khususnya masyarakat miskin yang tergolong usaha ekonomi skala mikro seperti kesulitan mengakses kredit dan ketiadaan perlindungan dan jaminan� atas modal dapat teratasi.

IV. PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peran penting Lembaga Keuangan Mikro Kelompok Usaha Bersama dalam pengentasan kemiskinan struktural sangat efektif dan merupakan program yang dipandang tepat. Manfaat dari keberadaan LKM-KUBE dapat diterima langsung oleh masyarakat kelompok usaha skala mikro, tidak hanya dari aspek permodalan usaha, akantetapi juga melalui program pendampingan. Dan hal terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat yang positif dapat menubuhkembangkan LKM-KUBE yang pada akhirnya juga berdampak kesejahteraan bagi anggota masyarakat itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Adam., Fitchett. 2006. �Microfinance Institutions� And Economic Development:�������� Evidence from Developing Countanggung rentengies�. Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 21, No. 3, 2006.

 

Arsyad, Lincolin. 2008. Lembaga Keuangan Mikro: Institusi, Kinerja dan Sustanabilitas. Yogyakarta: Penerbit ANDI

 

Arifin, Syaiful. 2008. �Dinamika Implementasi Konsep Sistem Tanggung Renteng dan Kont�(Adam, 2006)businya pada Tercapainya Zero Bad Debt�. Keuangan dan Perbankan. Vol. XII, No. 3, September 2008.

 

 

Baswir, Revrisond. 2009. Manifesto Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 

Departemen Sosial RI. 2004. Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif. Jakarta

 

Griffin, W. Ricky., Ronald J. Ebert. 2001. Business. Prentice Hall International Editons.

 

Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2006. Pengembangan Usaha Mikro Melalui Pola Tanggung Renteng.

 

Kusuma. 2002. �Membangun Institusi Warga Untuk Menanggulangi Kemiskinan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal�. Dalam Jurnal Analisis Sosial VII (2): 169-186. Jakarta

 

Ledgerwood, Joanna. 2006. , �Transforming Microfinance Institutions: Providing Full Financial Services to the Poor�, The International Bank for Reconstruction and Development�.�(Baswir, Manifesto Ekonomi Kerakyatan, 2009)

 

Praptomo, Dian. 2000. �Strategi Lembaga Keuangan Mikro Syariah Dalam Mengembangkan Usaha Mikro (Kasus LKMS BMT KUBE Sejahtera Unit 20 Kabupaten Sleman Propinsi Yogyakarta)�.

 

Rahayu, Sri Yayuk. 2009. �Penerapan Sistem Tanggung Renteng Pada Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita Malang. Iqtishoduna. Vol. V, No. 2, 2009. Yogyakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia.

 

Robinson, S. Marguerite. 2004. Revolusi Keuangan Mikro: Volume 2 Pelajaran dari Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

 

Roesdiono, Eddy. 1998. Tanggung Renteng: Sebuah Biografi Mursia Zaafril Ilyas. Surabaya: Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita.

 

Sotrisno, Noer. �Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat�. Dalam http://lkm.indonesia.blogspot.com/index.php/Artikel/lembaga-keuangan-mikro.html diakses pada Jum�at 29 Nopember 2013, pukul 18.30 WIB

 

Soemantri, Andriani S. 2003. Tanggung Renteng: Setia Bhakti Wanita. Surabaya: Limpad

 

Swasono, Sri Edi. 1998. Tanggung Renteng Dan Kemandirian Rakyat. Surabaya: Koperasi Setia Bhakti Wanita.

 

 

 



[1] Tahun 2015 merupakan tahun transisi dari berakhirnya Meillenium Development Goals (MDGs). Tahun 2016 mulai diimplementasikan agenda pembangunan dunia Post-2015 atau yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs muncul pada pertemuan KTT Rio+20 tahun 2012.

[2] Ciri dari golongan miskin yang masuk dalam kemiskinan struktural ini� adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas social ekonomi diatasnya.