Main Article Content

Abstract

Kawasan Negara-negara Asia telah menjadi tertuduh utama bisnis pembajakan produk. Di kawasan ini nampaknya tidak ada produk yang memiliki reputasi bebas dari pem-bajakan, mulai dari produk makanan sampai produk tehnologi canggih (Johnson, 2001/2002). Namun bukan berarti Negara kawasan Asia tidak memiliki niat baik membrantas bisnis ini, misalnya Indonesia telah meluncurkan produk hukum HaKI pada tahun 2000, China mengi-jinkan pelaku bisnis pemegang merek membentuk asosiasi (the Quality Brand protection Committee atau QBPC) dalam upaya memantau produk bajakan. Ketidakefektifan pem-brantasan karena belum adanya sebuah tindakan yang terpadu antar negara akibat perbe-daan cara pandang HaKI. Akibatnya Hukum dan peraturan tidak membuat jera pelaku bahkan menciptakan strategi baru bagi pembajak bagaimana mengindari produk hukum dan aturan tsb. (Johnson, 2001/2002). Hasilnya, bisnis bidang ini tetap subur di Asia.
Dilemma di atas membangkitkan kesadaran peneliti dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang keilmuan. Penelitian pembajakan produk yang dikaitkan dengan disiplin ilmu pemasaran memang sudah dilakukan, baik sisi permintaan maupun sisi pena-waran (Chaudhry and Walsh, 1996; Phau et al. 2000); and Miller, 1999). Akan tetapi, mes-kipun penelitian di bidang pembajakan produk sudah mulai menadapatkan apresiasi dari pa-ra ahli, penelitian yang dikaitkan dengan ilmu pemasaran masih tergolong baru, dan hasilnya masih bersifat sporadis, belum menemukan konsep teori yang kuat, baik penelitian pada sisi permintaan maupun sisi penawaran produk. Dengan demikian, banyak ahli setuju bahwa penelitian di bidang pemasaran dikaitkan dengan produk bajakan belum menemukan bentuk yang kuat untuk memetakan bisnis produk bajakan. Karenanya, penelitian di bidang ini masih ter-buka lebar.
Keywords: Product counterfeiting, Demand side studies, supply side studies, counterfeiting strategies, and anti-counterfeiting strategies.

Article Details