Main Article Content

Abstract

Kiai umumnya diartikan sebagai predikat yang disematkan oleh masyarakat karena kompetensinya di bidang ilmu agama melampaui manusia biasa, memiliki pesantren, dan mengajarkan ilmunya kepada para murid-muridnya. Namun, konvergensi sosial-politik pada masa Orde Baru di Indonesia, untuk beberapa kasus, telah mengeser makna dan peran kiai lebih kepada seorang agen perubahan sosial. Artikel ini dimaksudkan untuk mencoba menginvestigasi otoritas peran yang dimainkan seorang kiai di sebuah perdesaan pegunungan Jawa dalam merubah kampungnya yang miskin dan dikenal kuat religiusitas abangannya kini menjadi kampung santri yang makmur secara ekonomi. Menariknya, ia melakukannya dengan dalih purifikasi Islam mengkombinasikannya dengan peran otonominya dalam konteks politik lokal untuk menampilkan wacana-wacana keislamannya bekerja secara sinergi dengan agenda pembangunan negara. Artikel ini merupakan hasil penelitian etnografi yang dilakukan melalui dua tahap, yakni awal hingga pertengahan bulan pada 2014 dan 2018 di sebuah perdesaan di Dataran Tinggi Dieng. Observasi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengamatan terlibat, wawancara, dan dokumentasi. Hasilnya, keberhasilan transformasi sosial-keagamaan sangat tergantung dari peran agensi dalam memainkan otoritasnya. Otoritas karisma dan rasional yang dimiliki sang kiai sebagai tokoh utama dalam konteks penelitian ini mampu dimanfaatkan dengan melibatkan diri sebagai bagian dari pemerintah Orde Baru untuk turut serta menyukseskan agenda pembangunan negara melalui keberhasilannya menghubungkan idiom-idiom Islam dengan tema yang berlaku di masyarakat seperti kaitannya dengan wacana Islam yang terus menunjukkan tantangannya terhadap kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan krisis moral-keimanan.

Keywords

Kiai Agensi Purifikasi Islam Perubahan Sosial Orde Baru

Article Details

How to Cite
Krismono. (2020). Kiai Kampung, Reformasi Islam, dan Perubahan Sosial di Pegunungan Jawa Masa Orde Baru. ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab, 1(2), 188–212. Retrieved from https://journal.uii.ac.id/Abhats/article/view/29264