Main Article Content
Abstract
This study critically examines age gap restrictions in marriage as part of the concept of kafaah, as regulated in Article 11 of Jordan’s Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah No. 36 of 2010. This regulation prohibits marriages with an age difference exceeding 20 years unless a judge ensures the consent and willingness of the prospective bride. Using a descriptive-analytical-comparative method, this research explores whether this regulation serves as a form of protection for women against potential exploitation or acts as a state control mechanism over women’s rights in choosing a spouse. The findings reveal that this regulation is rooted in the principles of istihsan, maslahah, and sad al-dzari’ah, aiming not only to prevent relational imbalance in marriage but also to ensure the protection of women. From the perspective of Islamic law, this regulation reflects the dynamics of modern ijtihad in adapting the principle of kafaah to contemporary social needs. Meanwhile, from a gender justice perspective, this policy highlights the tension between legal protection and state control over women's autonomy in selecting a life partner. In Indonesia, the Kompilasi Hukum Islam (KHI) does not include any provision regarding the maximum age gap in marriage, allowing marriages with significant age differences to occur without explicit legal intervention. This study recommends a critical evaluation of the kafaah concept in Indonesia, balancing women's rights protection with their autonomy in choosing a spouse.
[Penelitian ini mengkaji secara kritis pembatasan perpautan usia dalam perkawinan sebagai bagian dari konsep kafaah yang diatur dalam Pasal 11 Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah Yordania No. 36 Tahun 2010. Ketentuan ini membatasi pernikahan dengan selisih usia lebih dari 20 tahun, kecuali setelah hakim memastikan kerelaan dan kesediaan calon mempelai perempuan. Dengan metode deskriptif-analitis-komparatif, penelitian ini menelaah apakah regulasi tersebut merupakan bentuk perlindungan perempuan dari potensi eksploitasi atau justru menjadi instrumen kontrol negara atas hak perempuan dalam menentukan pasangan hidup. Temuan penelitian menunjukkan bahwa regulasi ini berakar pada metode istihsan, maslahah, dan sad al-dzari’ah, yang bertujuan tidak hanya mencegah ketimpangan relasi dalam pernikahan, tetapi juga memastikan perlindungan bagi perempuan. Dari perspektif hukum Islam, regulasi ini mencerminkan dinamika ijtihad modern dalam mengadaptasi prinsip kafaah yang sesuai dengan kebutuhan sosial kontemporer. Sementara itu, dari perspektif keadilan gender, kebijakan ini menunjukkan ketegangan antara proteksi hukum dan kontrol negara atas otonomi perempuan dalam memilih pasangan hidup. Di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memuat ketentuan tentang batas maksimal perpautan usia dalam pernikahan, sehingga pernikahan dengan selisih usia yang signifikan dapat berlangsung tanpa adanya intervensi hukum yang eksplisit. Penelitian ini merekomendasikan evaluasi kritis terhadap konsep kafaah di Indonesia dengan menyeimbangkan perlindungan hak perempuan dan kebebasan mereka dalam memilih pasangan hidup secara otonom.]