Main Article Content

Abstract

Posisi wali dalam sebuah pernikahan merupakan hal yang penting untuk diketahui karena akan memperngaruhi keabsahan pernikahan. Seorang wali yang seharusnya melafadzkan akad dalam pernikahan kerap kali tugas tersebut dilimpahan kepada pihak lain seperti yang dilakukan oleh kebanyakan warga muslim di Kecamatan Purbolingo Kabupaten Lampung Timur, melimpahkan hak walinya kepada petugas KUA (Penghulu) ataupun kiai dan pemuka agama di lingkungan mereka. Mereka tidak terbiasa menikahkan anak perempuannya sendiri. Perilaku demikian itu dianggap sebagai sesuatu yang sah-sah saja atau hal yang biasa terjadi. Bagi mereka hal tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, namun merupakan solusi atas ketidakmampuan dalam menikahkan anaknya sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui praktik wakalah wali, faktor penyebab wakalah wali, dan untuk menjelaskan perspektifnya dalam sosiologi hukum. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dan bersifat kualitatif.  Pendekatan terpusat pada hal-hal umum yang menjadi dasar munculnya perilaku tertentu dari fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Hasil penelitian menemukan bahwa setidaknya ditemukan tiga penyebab mengapa praktik itu terjadi. Pertama, faktor grogi atau khawatir jika sehingga tidak mampu dan merasa tidak pantas untuk menikahkan sendiri anaknya; Kedua, sikap ta’dzim kepada kiai mengingat jasa besar sang kiai kepada keluarga mereka.; Ketiga, disebabkan si wali itu belum pernah menikah atau kalau pun sudah menikah ia belum memiliki cucu, yang menyebabkan si wali tidak sanggup (tidak patut) mewalikan dan menikahkan si pengantin wanita. Dalam perspektif sosiologi hukum, praktik wakalah wali yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Purbolinggo nyatanya memiliki nilai maslahat terhadap pelaksanaan hak dan juga kewajiban yang melekat pada diri seorang wali nikah.


The position of the guardian in a marriage is important to know because it will affect the validity of the marriage. A guardian who is supposed to recite the marriage contract is often delegated to another party, as is done by most Muslim residents in Purbolingo Subdistrict, East Lampung Regency, delegating their guardianship rights to KUA (Penghulu) officers or kiai and religious leaders in their neighborhood. They are not accustomed to marrying off their own daughters. Such behavior is regarded as something that is valid or common. For them, it is not seen as a deviant act, but a solution to the inability to marry off their own children. The purpose of this study is to find out the practice of wakalah wali, the factors causing wakalah wali, and to explain its perspective in legal sociology. This research is field research and is qualitative in nature.  The approach focuses on the general things that are the basis for the emergence of certain behaviors from phenomena that occur in society.  The research found that there are at least three reasons why this practice occurs. First, the factor of nervousness or worry if so unable and feel inappropriate to marry off their own children; Second, the attitude of ta'dzim to the kiai considering the great service of the kiai to their families; Third, because the guardian has never been married or even if he is married he does not have grandchildren, which causes the guardian to be unable (inappropriate) to marry off the bride. In the perspective of legal sociology, the practice of wakalah wali commonly practiced by the community in Purbolinggo Subdistrict in fact has a maslahat value towards the implementation of the rights and obligations attached to a marriage guardian.

Keywords

Wakalah wali akad nikah sosiologi hukum

Article Details

How to Cite
Waris, M. W. F. F., & M. Fahruddin. (2024). PARADIGMA MASYARAKAT ISLAM KECAMATAN PURBOLINGGO TENTANG WAKALAH PADA PROSESI AKAD NIKAH PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM. Al-Mawarid Jurnal Syariah Dan Hukum (JSYH), 6(1), 1–16. https://doi.org/10.20885/mawarid.vol6.iss1.art1

References

  1. Abdul Basith. (2004). Kamus Al-Munawir, versi WinDjView 0.5. Retrieved from http://djvu.sourceforge.net
  2. Abdurrahman Al-Jazairi. (2003). Kitab Al-Fiqh ’ala Al-Madzahib Al-’Arba’ah, Juz 4,. Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
  3. Abu Dawud Sulayman bin al-Ash‘ath al-Sijistani. (2009). Sunan Abu Dawud, Taḥqīq wa Ta‘līq Muḥammad Shu‘aib al-Arnaud dan Muḥammad Kāmil Qurrah Balbalī,. Saudi Arabia: Dar al-Risalah al- ‘Ilmiyyah.
  4. Ahmad, I. (1986). Fikih al-Syafi‟yah. Jakarta: Karya Indah.
  5. Al Ghazzi, M. bin Q. (1432). Hasyiyah ala Al-Qaul Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar. Maktabah Al-Ma’arif.
  6. Al-Jazairi, A. (1986). Kitab al-fikh ala al Madzhab. Beirut: Dar al Fikr.
  7. Amir Syarifuddin. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,. Jakarta: Kencana.
  8. Ash Shiddieqi, H. (1974). Pengantar Fiqih Muamalat. Jakarta: Bulan Bintang.
  9. Basri, R. (2017). Faktor Sosial Budaya Penetapan Hukum Privat Dalam Islam,. Istiqra: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam, IV, 148–159.
  10. Beni Ahmad. (2004). Metode Penelitian Hukum,. Jakarta: Rineta Cipta.
  11. Dahlan, A. A. (2001). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
  12. Djamaan Nur. (1993). Fikih Munakahat,. Semarang: Toha Putra.
  13. HaditsSoft v.4.0.0.0,. (n.d.).
  14. Hanbal, A. bin. (2012). Musnad Ahmad. Riyadh: Maktaba Dar-us-salam.
  15. Iftidah, I. (2017). Pandangan Masyarakat tentang Taukil Wali: Studi di Desa Dempet Kabupaten Demak. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 9(1), 87. https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09106
  16. Indonesia, R. (n.d.). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. In Lembaran Negara Republik Indonesa Nomor 3019.
  17. Kementerian Agama RI. (2012). Al-Qur an dan Terjemahnya,. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.
  18. Kementerian Agama RI. (2018). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,. Jakarta: Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah.
  19. M. Rasyid Ridla. (2012). Sosiologi Hukum Islam: Analisis terhadap Pemikiran M. Atho’ Mudzhar,. Al-Ihkam, Vol. 2.
  20. Mughniyah, M. J. (2001). Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
  21. Muhammad Syukri Albani Nasution. (1993). Filsafat Hukum Islam. Padang: Angkasa Raya.
  22. Ramulyo, I. (1985). Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No 1 Tahun 1974, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hillco.
  23. Ramulyo, I. (1996). Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
  24. Rusyd, I. (2007). Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid,. Amman, Jordan: Bait Al-Afkar Ad-Dawliyah.
  25. Sabiq, S. (1983). Fiqih Al-Sunnah. Beirut: Dar al Fikr.
  26. Suma, A. (2004). Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
  27. Syarifuddin, A. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
  28. Ubaidillah, M. B. (2018). Konsep Wakalah Wali Nikah dalam Perspektif Hadits & Fiqh Al-Hadits. USRATUNA, 1(1).