Main Article Content

Abstract

Pressure from the international community after the disintegration and independence of Timor Leste has prompted the issuance of Law Number 26 of 2000 concerning the Court of Human Rights. However, far from being burnt, the a quo law has received a lot of criticism because it is considered incompatible with its original purpose. This article discusses the fate of regulating war crimes that are not included in the jurisdiction of Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court. Through the perspective of legal politics using a conceptual and historical approach, this research answers two problem formulations, first, how is the legal politics of the formation of Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court? Second, why does Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court not accommodate war crimes? First, it can be concluded that, even though it was born during the reformation period, the a quo law is actually very New Order nuanced. There are inconsistencies in the political will for the formation of the a quo law and its substance. Second, there was the involvement of the TNI and Polri factions in the formulation of Law Number 26 of 2000 concerning the Human Rights Court, which at that time was suspected of being an actor in human rights crimes during the disintegration of Timor Leste after the popular consultation.

Keywords: Legal policy; political will; war crimes

Abstrak

Desakan dari dunia internasional pasca disintegrasi dan kemerdekaan Timor Leste telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, jauh api dari panggang, undang-undang a quo banyak mendapat kritik karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Artikel ini membahas mengenai nasib pengaturan tindak pidana kejahatan perang yang tidak dimasukkan dalam yurisdiksi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Melalui kaca mata politik hukum yang menggunakan pendekatan konseptual dan historis, penelitian ini menjawab dua rumusan masalah, pertama, bagaimana politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Kedua, mengapa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak mengakomodir tindak pidana kejahatan perang? Dapat disimpulkan pertama, meskipun lahir di masa reformasi, undang-undang a quo justru sangat bernuansa Orde Baru. Terdapat inkonsistensi pada political will pembentukan undang-undang a quo dengan hasil isi substansinya. Kedua, terdapat keterlibatan fraksi TNI dan Polri dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang saat itu diduga menjadi aktor kejahatan hak asasi manusia selama masa disintegrasi Timor Leste pasca jajak pendapat.

Kata Kunci: Kejahatan perang; politik hukum; political will

Keywords

Legal policy political will war crimes Kejahatan Perang Politik Hukum Political Will.

Article Details

How to Cite
Suwartono, R. D. B. (2022). Pengaturan Tindak Pidana Kejahatan Perang Di Indonesia: Politik Hukum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lex Renaissance, 6(4), 649–663. https://doi.org/10.20885/JLR.vol6.iss4.art1

References

  1. Buku
  2. Akram, Mohd, International Humanitarian Law, Hague and Geneva Convention on War Crimes, War Victims, an Prisoner of War. Kuala Lumpur: International Law Book Services, 2005.
  3. Dewi, Yustina Trihoni Nalesti, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
  4. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada, Media Group, 2006.
  5. Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1985.
  6. Jurnal
  7. A. Yulia Yunara, “Efektivitas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Dalam Penuntasan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia (Studi Pengadilan HAM Makassar).” Jurnal Al-Dustur 2, No. 2 (2019).
  8. Aulia Rosa Nasution, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui Pengadilan Nasional dan Internasional serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.” Jurnal Mercatoria 11, No. 1 (2018).
  9. Bambang Sucondro, “Politik Hukum dan Kelemahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Supremasi Hukum 15, No. 1 (2019).
  10. Danel Aditia Situngkir, “Urgensi Ratifikasi Statuta Roma bagi Indonesia.” UIR Law Review 2, No. 2 (2018).
  11. Depri Liber Sonata, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum.” Fiat Justicia 8, No. 1 (2014).
  12. Diajeng Wulan Christianti, “Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) terhadap Warga Negara Non-Pihak Statuta Roma dan Dampaknya terhadap Indonesia.” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum 2, No. 1 (2015).
  13. Fatma Faisal, “Eksistensi Pengadilan Hak Asasi terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan.” Gorontalo Law Review 2, no. 1 (2019).
  14. Laurensius Arliman S., “Pengadilan Hak Asasi Manusia dari Sudut Pandang Penyelesaian Kasus dan Kelemahannya.” Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai 2, No. 1 (2017).
  15. Lintje Anna Marpaung, “Pengaruh Konfigurasi Politik Hukum terhadap Karakter Produk Hukum (Suatu Telaah dalam Perkembangan Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia).” Pranata Hukum 7, No. 1 (2012).
  16. Rommy Patra, “The Failure of Settlement of Human Rights Violations in Indonesia and Its Solutions.” Journal of Yusticia 7, No. 1 (2018).
  17. Sayidiman Suryohadiprojo, “Reformasi yang Diperlukan Bangsa Indonesia.” Jurnal Ketahanan Nasional 11, No. 1 (2006).
  18. Suparman Marzuki, “Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu: Melanggengkan Impunity.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17, No. 2 (2010).
  19. Wakhid Aprizal Maruf, “Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma 1998.” Journal of International Relations 3, No. 2 (2017).
  20. Zunnuraeni, “Politik Hukum Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat.” Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 1, No. 2 (2013).
  21. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
  22. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
  23. Hukum di Negara Lain
  24. US Code Title 18: Crimes and Criminal Procedure.
  25. Hukum Internasional
  26. Rome Statute of the International Criminal Court, 1998.
  27. Skripsi, Tesis, dan Disertasi
  28. Suwartono, Rahadian Diffaul Barraq. “Pelindungan Tentara Anak yang Direkrut oleh Non State Actor dalam Konflik Bersenjata.” Universitas Islam Indonesia, 2019.
  29. Website
  30. “Amnesty International Desak Penuntasan Kasus HAM Referendum Timor Leste - hukumonline.com.” Hukum Online.com. Last modified Agustus 27, 2009. Diakses Agustus 31, 2020. https://www.hukumonline.com/berita/ baca/hol22977/amnesty-international-desak-penuntasan-kasus-ham-referendum-timor-leste-/.