Article Sidebar
Downloads
PENDAHULUAN
Psikologi sebagai salah satu cabang ilmu yang memfokuskan kajian dalam perilaku manusia selama dekade terakhir mulai beranjak dari topik bahasan gangguan jiwa dan penyakit mental. Kini psikologi mulai berpindah haluan pada variabel-variabel psikologis yang dapat meningkatkan kesejahteraan mental dari dasar ‘kenormalan’. Lahirlah gerakan psikologi positif (positive psychology) yang mengutamakan potensi positif manusia agar dapat beradaptasi dan mengaktualisasikan dirinya di lingkungan dengan optimal sehingga mendapatkan kehidupan yang baik (good life) (Snyder & Lopez, 2002). Bagian penting dalam melahirkan generasi yang kuat dan mampu membentuk keluarga yang utuh adalah unsur kebahagiaan yang dimiliki individu.
Oleh karena itu salah satu tema yang paling awal dibahas oleh psikologi positif adalah mengenai kebahagiaan (happiness). Seligman, melalui bukunya Authentic Happiness (2002), mulai menggali apa itu kebahagiaan manusia serta upaya mengukurnya. Konsep kebahagiaan yang bersifat abstrak semakin berkembang menjadi konsep yang terukur, salah satunya diturunkan menjadi konsep Well Being yang kini banyak berkembang menjadi penelitian di bidang psikologi pada abad 21 (Snyder & Lopez, 2002).
Konsep kebahagiaan sejatinya sudah menjadi bahasan keilmuan yang sering dikaji. Sejak jaman filsafat Yunani, konsep kebahagiaan telah dirumuskan.Salah satunya oleh filsuf Aristoteles yang menyatakan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang senantiasa didambakan umat manusia. Kebahagiaan bagi banyak orang merupakan kesenangan, ketenangan, keberhasilan dalam memperoleh apa-apa yang diinginkan, kegembiraan, atau kepuasan atas suatu kejadian.Kebahagiaan merupakan kondisi berlawanan dari penderitaan dan kesulitan. Menurut Aristoteles, faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan terdiri atas tiga faktor, yaitu (1) Faktor luar, seperti kekayaan, pangkat, keluarga dan suku. (2) Faktor jasmani, seperti kesehatan, kekuatan atau kecantikan, (3) Faktor spiritual, dalam hal ini kebijaksanaan, keadilan dan keberaniaan (Mutahhari, 1987).
Dari tinjauan psikologi positif yang meneliti kebahagiaan dari kacamata sekular menjadi bertolak belakang dengan arus keilmuan lain, yaitu Psikologi Islam. Psikologi Islam lahir dari semangat kebangkitan ilmuwan muslim dalam menggeser paradigma berpikir barat dan melahirkan ilmu pengetahuan yang disandarkan pada ajaran Islam dengan dasar pijakan Al-
Qur’an dan Hadis Nabi (Nashori, 1997, 2008; Marliany & Asiyah, 2015)
Psikologi Islam lahir sebagai alternatif aliran psikologi yang menjadi koreksi ilmu psikologi dalam melihat realitas eksistensi manusia secara lebih utuh (Ancok & Suroso, 1994). Maksud dari koreksi di atas adalah bahwa psikologi Islam membawa paradigma manusia sempurna yang berasal dari landasan wahyu Allah SWT.Psikologi Islam perlu merestrukturisasi bangunan ilmu psikologi sehingga menjadi komprehensif. Psikologi dalam perspektif Islam adalah kajian ilmiah terhadap jiwa atau rohaniah manusia dalam perspektif ajaran Islam. Nilainilai Islam menjadi tolak ukur gambaran kejiwaan manusia yang diamati melalui berbagai tingkah lakunya.(Thoyibi & Ngemron, 1996).
Perbedaan pandangan keilmuan inilah yang menarik minat penulis dalam mengkaji tema happiness dari kacamata kedua aliran psikologi ini.Penulis mengajukan bagaimana psikologi positif dan psikologi Islam dalam memandang konsep kebahagiaan.Kajian dilakukan dengan penelusuran literatur psikologi positif dan literatur Islam dalam memandang kebahagiaan (happiness).
KONSEP KEBAHAGIAAN MENURUT PSIKOLOGI POSITIF
Berdasarkan pandangan psikologi positif, kebahagiaan atau happiness adalah suatu cara hidup yang dapat membuat individu memenuhi segala potensinya dan mampu bergerak kearah kehidupan manusia yang baik. Oleh karena itu kebahagiaan tidak hanya bergantung pada kenikmatan (pleasure), kekayaan (wealth) dan kepercayaan agama (religious beliefs) saja (Franklin, 2010).
Dari kaca mata psikologi positif, kebahagiaan merupakan tema utama meski dipandang sebagai konsep abstrak.Tiga elemen dasar dari kebahagiaan (happiness) adalah emosi positif (positive emotions), keterlibatan (engangement) dan makna hidup (meaning). Dalam pengukuran kebahagiaan maka diturunkan dalam konsep well being yang dalam pengukurannya memiliki lima elemen yang dapat disingkat menjadi PERMA, yaitu (P) Positive Emotion, (E) Engagement, (R) Relationship, (M) Meaning and Purpose, dan (A) Accomplishment (Seligman, 2011)
Konsep kebahagiaan diukur melalui suasana hati (mood) atau emosi (emotion) serta evaluasi kepuasan seseorang mengenai kehidupannya secara umum maupun area spesifik dalam hidupnya.Namun konsep bahagia ini dikatakan sebagai subjective well being (Diener, 1984). Oleh karena itu untuk menentukan apakah seseorang bahagia, terdapat dua komponen subjective well being (SWB), yaitu keseimbangan afek dan kepuasan hidup. Pertama: Keseimbangan afek (affect balance). Apabila seseorang merasakan adanya keseimbangan perasaan positif dengan perasaan negatif. Seseorang dikatakan bahagia bila perasaan positif lebih sering dirasakan dibandingkan perasaan negatif.Komponen ini diukur melalui metode self-report menggunakan PANAS (Positive Affect Negative Affect Schedule). Perasaan positif yang diukur terdiri atas gembira (joy), girang (elation), ketenangan (contentment), kasih sayang (affection), bahagia (happiness), dan luapan kegembiraan luar biasa (ecstasy). Pada perasaan negatif yang diukur adalah rasa bersalah (guilt), malu (shame), sedih (sadness), kecemasan dan khawatir (anxiety & worry), marah (anger), rasa tertekan (stress), rasa depresi (depression), dan iri hati (envy).
Kedua: Kepuasan hidup (life satisfaction). Individu mengevaluasi kehidupannya secara global dan menilai kepuasan hidupnya dalam area yang spesifik. Pada evaluasi global kepuasan hidup diukur lima hal, yaitu keinginan untuk mengubah hidup (desire to change life), kepuasaan akan masa kini (satisfaction with current life), kepuasaan akan masa lalu (satisfaction with past life), kepuasaan akan masa depan (satisfaction with future life), serta kepuasan akan pandangan orang terdekat mengenai hidupnya (significant others views of one’s life). Diukur pula kepuasan tersebut dalam domain spesifik, yaitu pekerjaan (work), keluarga (family), waktu luang (leisure), kesehatan (health), keuangan (finances), keadaan diri (self), dan kelompok sosial yang dimiliki (one’s group).
Indikator kebahagiaan lain yang juga dapat diukur selain SWB adalah konsep psychological well being atau PWB (Ryff, 1989). Secara konsep dasar, PWB berbeda dengan SWB dalam hal komponen penentu kebahagiaan. PWB dirancang oleh Carol Ryff yang menggabungkan indikator kebahagiaan dari filsafat Yunani maupun teori kepribadian modern dari Jung dan Maslow. Menurut Ryff dan Keyes (1995), kebahagiaan seseorang ditentukan dari enam komponen. Pertama: Penerimaan diri (self-acceptance), kebahagiaan ditentukan melalui sikap positif mengenai dirinya, mengetahui kelebihan-kekurangan diri dan mampu menerimanya, serta memiliki pandangan positif mengenai masa lalu yang dialami diri. Kedua: Pertumbuhan diri (personal growth), kebahagiaan ditentukan melalui pandangan mengenai dirinya yang mampu bertumbuh dan senantiasa belajar melalui pengalaman dan tantangan baru dalam hidup. Mampu mengenali potensi diri dan mengembangkannya melalui latihan. Mampu mengubah kebiasaan diri demi diri yang lebih efektif dan berpengetahuan.
Ketiga: Tujuan hidup (purpose in life), kebahagiaan ditentukan melalui adanya pandangan mengenai dirinya yang hidup dengan tujuan yang jelas dan terarah. Merasa bahwa kehidupan senantiasa membawa makna dan hikmah. Keempat: Kemampuan mengendalikan lingkungan (environmental mastery), kebahagiaan ditentukan melalui gambaran diri yang mampu mengatur dan kompeten dalam mengendalikan situasi lingkungan. Mampu mengarahkan kegiatan dan menciptakan peluang keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan dan nilai-nilai diri.
Kelima: Kemandirian (autonomy), kebahagiaan ditentukan melalui sikap mandiri (independent) dan mampu mengarahkan diri (self-determining). Mampu bertahan dengan tekanan lingkungan serta mampu bersikap dan mengatur perilaku berdasarkan prinsip atau standar pribadi. Keenam: Hubungan baik dengan orang lain (positive relations with others), kebahagiaan ditentukan melalui hubungan baik yang bersifat hangat dan saling percaya dengan orang lain. Hubungan yang dijalin memperhatikan satu sama lain, empatik, penuh kasih sayang, intim, dekat dan saling memahami satu sama lain.
Lyubomirsky (2008) menyatakan bahwa determinan kebahagiaan adalah kombinasi antara faktor personal (geneticset point), aktivitas membahagiakan (intentional activities) dan kejadian hidup (life circumstances). Menurut Lyubomirsky, kebahagiaan dapat diperoleh melalui usaha yang disiplin untuk mencapai dan mempertahankan kebahagiaan. Pandangan personal yang wajib dimiliki oleh individu yang ingin bahagia adalah bahwa kebahagiaan secara potensial dapat dicapai setiap orang. Oleh karena itu kebahagiaan dimulai dengan menentukan set point kebahagiaan yang dimiliki dan berusaha meningkatkan kebahagiaan dari set point tersebut.
Individu dapat berbahagia dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menciptakan rasa bahagia yang Lyubomirsky (2008) susun dalam 12 aktivitas membahagiakan yang dapat dipilih individu untuk meningkatkan kebahagiaan, yaitu (1) Bersyukur dan berpikir positif (gratitude and positive thinking), (2) Menanamkan rasa optimis (cultivating optimism), (3) Menghindari berpikir terlalu keras dan membandingkan dengan orang lain (avoiding overthinking and social comparison), (4) Melatih kebajikan (practicing acts of kindness), (5) Merawat hubungan sosial (nurturing social relationships), (6) Membuat strategi penyelesaian masalah (developing strategies of coping), (7) Belajar memaafkan (learning to forgive), (8) Meningkatkan kegiatan menyenangkan yang flow (increasing flow experience), (9) Menikmati kegembiraan dalam hidup (savoring life’s joy), (10) Komitmen pada tujuan yang dibuat (commiting to your goal), (11) Mempraktikkan agama dan spiritualitas (practicing religion and spirituality), (12) Menjaga tubuh melalui meditasi, aktivitas fisik, dan bertindak sebagai orang bahagia (taking care of your body : meditation, physical activities, and acting like a happy person)
Linley dan Joseph (2004) serta Lyubomirsky (2008) juga menambahkan usaha mempertahankan well-being dapat dilakukan dalam lima cara, yaitu (1) memperbanyak emosi positif, (2) mengoptimalkan waktu dan variasi yang terjadi dalam hidup, (3) memiliki jaringan dukungan sosial, (4) senantiasa menjaga motivasi, usaha dan komitmen untuk berbahagia, (5) kebiasaan untuk melakukan aktivitas membahagiakan.
Peran lingkungan dalam membentuk dan menjadi bagian penentu dari kebahagiaan dirasakan sebagai suatu hal yang penting.Dalam perumusan penelitian mengenai kebahagiaan, aspek keluarga dikatakan sebagai bagian utama yang membentuk individu untuk belajar bahagia atau tidak.Oleh karenanya situasi keluarga yang membahagiakan atau tidak, turut berperan dalam membentuk kepribadian individu yang mudah bahagia atau tidak.Pengukuran kebahagiaan dalam keluarga (family well-being) memiliki dua pendekatan. Pada pendekatan pertama, kebahagiaan keluarga tidak lain merupakan kumpulan dari kebahagiaan individu yang ada dalam keluarga, sehingga pengukurannya sama dengan mengukur kebahagiaan individual. Pada pendekatan kedua, kebahagiaan keluarga terkait dengan hubungan antar individu yang menjadi kesatuan dalam keluarga (Behnke & MacDermid, 2004).
Pendekatan keluarga sebagai unit terpisah yang menentukan kebahagiaan individu di dalamnya sesuai dengan pandangan dari McKeown, Pratschke, dan Haase (2003) yang menyatakan bahwa kebahagiaan keluarga ditentukan secara langsung oleh beberapa hal. Pertama: Proses dalam keluarga (family process), kebahagiaan keluarga ditentukan oleh hubungan baik yang dimiliki oleh kedua orang tua, hubungan orang tua dan anak, keterampilan menyelesaikan konflik dalam keluarga, serta kerjasama pihak kakek-nenek yang tidak ikut campur. Kedua: Kepribadian orang tua (personality traits of parents), di mana keluarga bahagia memperhatikan karakteristik kehidupan emosional orang tua yang lebih fokus pada emosi positif serta kemampuan interdependensi secara psikologis. Ketiga: Lingkungan sosio-ekonomis keluarga, kebahagiaan terkait dengan keamanan finansial, kejadian hidup (life events) yang membahagiakan dan penghasilan keluarga yang mencukupi.
Penelitian Fahey, Keilthy dan Polek (2012) juga menyimpulkan bahwa kondisi struktur keluarga dan kualitas hubungan antar anggota keluarga menjadi elemen fundamental dalam menciptakan individu yang berbahagia baik orang tua maupun anak. Penelitian mengenai kebahagiaan anak yang digagas tim Social Indicator Research menunjukkan bahwa setting keluarga merupakan bagian penting dalam menentukan indeks kebahagiaan seorang anak
(Bradshaw, Hoelscher & Richardson, 2006)
Oleh karena kebahagiaan keluarga penting bagi kebahagiaan anak, maka berdasarkan penelitian keluarga yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 (empat) aksi yang dapat dilakukan guna meningkatkan well-being dalam keluarga. Pertama: Menangani permasalahan kemiskinan anak. Kedua: Mengembangkan dan menyediakan jasa berkualitas guna membantu permasalahan keluarga. Ketiga: Menurunkan tingkat konflik dalam keluarga sehingga tingkat stabilitas keluarga dapat terjaga. Keempat: Mendukung gerakan pernikahan (McKeown & Sweeney, 2001)
Penelitian mengenai well-being tidak terbatas pada lingkup keluarga, namun telah banyak survei yang dilakukan di seluruh dunia mengenai keadaan well being penduduknya. Sebagai contoh Gallup World Poll (GWP), World Values Survey (WVS), European Values Survey (EVS) atau European Social Survey (ESS) telah dilakukan di puluhan Negara dan memberikan gambaran mengenai kebahagiaan manusia di dunia. Berbagai indikator mengenai kebahagiaan diturunkan dari berbagai macam konsep kebahagiaan atau well being.Pada umumnya indikator menggali penghayatan individual dalam memandang kehidupannya dan menyatakan tingkatan kebahagiaan yang dirasakannya.Kumpulan survey ini dikumpulkan dan diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-bangsa atau United Nations yang dinamai sebagai World Happiness Report yang menjadi dasar rekomendasi pembuatan kebijakan dunia (Helliwel, Layard & Sach, 2015).
Survei yang terkumpul umumnya dilakukan dengan membandingkan berbagai indikator well-being yang ada dari berbagai kelompok subjek di berbagai negara. Namun demikian, diakui bahwa penelitian well-being ini masih dilakukan pada subjek dari kelompok tertentu, yang World Happiness Report sendiri menyebutnya sebagai subjek WEIRD, yaitu (Western, Educated, Industrialized, Rich and Democracies Country). Artinya gambaran kebahagiaan yang digemakan oleh para peneliti saat ini hanya mewakili sebagian kelompok penduduk dunia saja.Bagian penduduk yang tidak termasuk kelompok WEIRD, kurang terakomodasi (Helliwel, Layard & Sach, 2012).
Aspek yang hingga kini masih menjadi diskusi panas dalam penelitian happiness adalah kaitan kebahagiaan dengan agama. Meskipun penelitian well-being di dunia masih menggunakan paradigma sekular yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama, namun banyak penelitian yang mengkaitkan religiositas (dan spiritualitas) dengan kebahagiaan sebagai bagian dari kesehatan mental. Hubungan religiositas dengan kesehatan mental telah banyak diteliti dan membuahkan hasil bahwa keberagamaan memiliki dampak positif pada tingkat kesejahteraan mental individu. Agama memberi makna dalam kehidupan, “sense of meaning in daily life” dan kegiatan agama memberikan peluang seseorang untuk memperoleh dukungan sosial. Oleh karena itu penelitian umumnya menemukan bahwa orang yang beragama cenderung lebih berbahagia daripada orang yang tidak beragama (Diener, Suh, & Smith,1999; Helliwel, Layard & Sach, 2012)
Berdasarkan penelitian well-being di AS, 68 % subjek penelitian menyatakan bahwa agama menjadi bagian penting dalam hidup. Lebih dari tiga per empat penelitian yang dilakukan juga menemukan bahwa keberagamaan (religion) memberikan dampak peningkatan emosi positif. Agama menjadi hal yang membantu hidup khususnya pada masa sulit, karena membantu memberikan dukungan emosional dan memberikan makna atau tujuan hidup (Helliwel, Layard & Sach, 2012)
Hasil ini juga selaras dengan review sistematis yang dilakukan Moreira-Almeida, Neto dan Koenig (2006) pada 850 penelitian mengenai hubungan religiositas dan kesehatan mental. Review menunjukkan hasil bahwa religiositas terbukti menjadi buffering bagi tekanan hidup dan menjadi prediktor kuat dari psychological well-being. Hal ini dikarenakan agama dapat memberikan rasa optimisme dan harapan pada individu dalam menghadapi masalah hidup sehingga lebih memberi makna dalam hidup yang dijalani. Hal ini sejalan dengan penelitianpenelitian yang membuktikan bahwa orang yang beragama cenderung lebih bahagia dan kurang menunjukkan tanda depresif dalam kehidupannya. Agama menjadi fenomena yang kompleks dan multidimensional antara keyakinan (belief), perilaku (behaviors) dan keikutsertaan lingkungan dalam keberagamaan berdampak pada kebahagiaan.
KONSEP KEBAHAGIAAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Dalam memandang kebahagiaan, maka konsep Islam merujuk kebahagiaan dari kata aflaha dalam Al-Qur’an. Berdasarkan empat surat dalam Al-Qur’an yang mengandung kata tersebut yakni QS Thaha (20) ayat 64, QS Al-Mu’minun (23) ayat1,QS Al-‘Alaa (87) ayat 14 dan QS Asy-Syam (91) ayat 9 yang memiliki kata aflaha di mana kata tersebut selalu didahului oleh kata penegas qad, sehingga berbunyi “Qad Aflaha” yang mengandung arti “sungguh berbahagia”. Kata ini merupakan derivasi dari akar kata falah. Bagi umat muslim, seruan falah ini diperdengarkan lima kali dalam sehari melalui kalimat azan, “Hai ya alal falah! Raihlah kebahagiaan/kemenangan”. Dengan kata lain bahwa Islam menyerukan umatnya untuk menggapai kebahagiaan (Rakhmat, 2006).
Bila konsep kebahagiaan atau happiness dalam psikologi positif diturunkan melalui wellbeing, lalu bagaimana konsep psikologi dalam perspektif Islam memandang kebahagiaan? Sejatinya, kebahagiaan merupakan buah kesuksesan yang dicapai oleh diri sendiri. Ini didasarkan pada QS Ar-Rad (13) ayat 11 yang berbunyi “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” dan QS Al-Anfal (8) ayat 53 yang berbunyi “….Sesungguhnya Allah sekalikali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri”.
Kedua ayat tersebut menekankan keadaan suatu kaum merupakan hasil jerih payah kaumnya sendiri. Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak berupaya untuk mengubah nasibnya. Oleh karena itu kebahagiaan dalam Islam merupakan konsep usaha atau ikhtiar (Ridha, 2006).
Empat kunci kebahagiaan bagi seseorang muslim di dunia yang fana menurut Rasulullah SAW adalah, yaitu mempunyai isteri yang salehah, anak-anak yang baik, lingkungan yang baik dan pekerjaan yang tetap di negerinya sendiri didasarkan dari HR Dailami dari Ibn Asaakir (Saputra, 2015).
Menurut Daradjat (1994), ciri-ciri orang berbahagia adalah orang yang sehat mental. Berdasarkan faktor- faktor yang memengaruhi kesehatan mental, maka faktor-faktor kebahagiaan secara garis besar ada dua. Pertama: Faktor Intern. Faktor ini meliputi faktor fisik dan psikologi pada diri seseorang seperti keimanan dan ketaqwaan, sikap tenang dan bersabar dalam menghadapi problem hidup, dan keseimbangan dalam berzikir. Seseorang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang tinggi akan memperoleh ketenangan dan ketentraman batin dalam hidupnya. Bila menghadapi problematika hidup ia akan menghadapi dengan sikap sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran dalam hidup itu merupakan bagian cobaan dari Allah SWT terhadap hambanya yang beriman. Oleh karena itu penghayatan dan pengamalan agama merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi kebahagiaan seseorang.
Kedua: Faktor Ekstern. Faktor yang berasal dari luar diri seseorang berupa kondisi lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat,vmaupun pendidikan seseorang, sosialekonomi. Meski faktor lingkungan memengaruhi kebahagiaan, namun Daradjat (1994) menyatakan bahwa sesungguhnya faktor intern itu lebih dominan pengaruhnya dari faktor ekstern. Dengan alasan kebahagiaan dan ketenangan jiwa lebih bergantung pada bagaimana cara dan sikap seseorang tersebut dalam menghadapi masalah faktor-faktor lingkungan tersebut. Namun demikian, keselarasan dan keseimbanga antara kedua faktor menjadi hal yang dipandang penting.
Dalam memandang manusia, Islam memberikan pandangan berbeda dari psikologi pada umumnya. Menurut Islam, manusia diciptakan bukan sebagai makhluk evolusi melainkan makhluk yang memang diciptakan sempurna oleh Tuhannya dalam rangka beribadah. Fitrah manusia untuk memegang tali agama dan menyembah Rabb-nya merupakan hal yang menjadi prinsip dalam memandang manusia dan kehidupannya (Nashori, 2005). Hal ini didasarkan pada QS Ar-Ruum (30): 30 yang berbunyi “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Ayat tersebut menyatakan fitrah manusia adalah agama yang lurus atau agama tauhid (Thoyibi & Ngemron, 1996).
Namun demikian, Islam tidak menafikan bahwa manusia juga memiliki fitrah untuk menyukai hal-hal yang bersifat duniawi, seperti lawan jenis, keluarga, ataupun harta. Hal ini didasarkan pada QS Ali Imran (3): 14 yang berbunyi: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Thoyibi & Ngemron, 1996).
Dari paparan di atas dapat dikembangkan bahwa konsep kebahagiaan dalam perspektif Islam mencakup dua area, yaitu kebahagiaan yang bersifat duniawi/jasadiah serta kebahagiaan akhirat. Dalam kebahagiaan dunia, dirasakan melalui emosi kegembiraan karena meraih apa yang diharapkan di dunia, seperti harta, kekuasaan, keberhasilan ilmu pengetahuan maupun iman dan taqwa. Kebahagiaan kedua yakni kebahagiaan akhirat sejatinya tidak dirasakan saat ini, namun diharapkan akan diperoleh kelak saat masa kehidupan dunia telah berakhir dan bersifat kekal abadi. Hal ini sesuai dengan doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW yaitu: “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar” yang artinya “Ya Allah kurniakanlah aku kebahagiaan dunia dan kebahagian di akhirat serta jauhkan kami dari siksa api neraka.” (Najati, 2000; Ghazali, 2008; Hawwa, 2003)
Menurut Ali bin Abi Thalib RA, orang yang paling berbahagia adalah orang yang meninggalkan kelezatan yang sementara untuk kelezatan yang abadi. Maksud perkataan sahabat Rasul di atas dapat dimaknai bahwa indikator utama dari kebahagiaan sejati adalah memprioritaskan kebahagiaan akhirat di atas kebahagiaan duniawi. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa perspektif Islam memahami perilaku manusia yang menunjukkan ketaatan pada agama sebagai ciri individu berbahagia dunia maupun akhirat (Rakhmat, 2006).
Berdasarkan paradigma inilah indikator dari kebahagiaan dunia menurut perspektif Islam berbeda dengan psikologi positif. Indikator kebahagiaan yang penulis ambil didasarkan pada pandangan Ibnu Abbas RA, seorang sahabat Nabi yang sangat taat dalam menjaga Rasulullah SAW Pada usia 9 tahun, Ibnu Abbas telah menghafal Al-Quran dan menjadi imam. Berdasarkan jawaban Ibnu Abbas mengenai kebahagiaan atas pertanyaan dari generasi Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW).
Pertama: Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur. Memiliki hati yang syukur bererti selalu bersifat qanaah- merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia pasti terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Kedua: Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang saleh. Pasangan hidup yang saleh akan mencipta suasana rumah dan keluarga yang saleh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan dimintai pertanggungjawaban dalam mengajak isteri dan anaknya kepada kesalehan. Berbahagialah menjadi seorang isteri bila memiliki suami yang saleh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak isteri dan anaknya menjadi muslim yang saleh. Demikian pula seorang istri yang saleh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Oleh karena itu, berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang isteri yang saleh.
Ketiga: Al auladun abrar, yaitu anak yang saleh.Sewaktu Rasulullah SAW bertaawaf, Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang lecet belakangnya. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu: “Kenapa belakangmu itu?” Jawab anak muda itu: “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah uzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika solat, atau ketika istirahat, selain dari waktu itu saya akan mendukungnya.“ Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridha kepadamu, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang tuamu tidak akan terbalaskan olehmu”.
Keempat: Al biah sholihah, lingkungan yang kondusif untuk iman kita.Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah lingkungan dengan orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang saleh.Orang-orang yang saleh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan bila melakukan perbuatan salah.
Kelima: Al-malul halal, atau harta yang halal. Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah pada banyaknya harta tetapi halalnya harta tersebut.Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk menjadi kaya.Dalam riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Oleh karenanya, berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam: Tafakuh fid dien, yaitu memahami agama.Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai Allah dan risalahNya. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Ketujuh: Barokatun umur, yaitu umur yang barokah.Umur yang barakah itu bermakna umur yang semakin tua semakin saleh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah (Saputra, 2015).
Islam memandang bahwa dunia yang bersifat sementara bukanlah sesuatu yang utama untuk dijadikan tujuan hidup, bahkan Islam memperingatkan mengenai bahaya dunia (Ghazali, 2008). Cinta dunia, perasaan tenteram karenanya sehingga melupakan akhirat dapat mengakibatkan pelakunya berhak dimasukkan pada neraka, sesuai dengan QS Yunus (10): 7-8: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.”
Berdasarkan pandangan Islam, dunia adalah permainan semata dan hanya tempat pengujian keimanan, berdasarkan QS Al-Hadid (57): 20 yang berbunyi: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak…” dan QS Al-Kahfi (18) : 7 “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”
Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rizki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya” berdasarkan HR Muslim (Hawwa, 2003).
Oleh demikian, kebahagiaan dalam Islam tidak ditentukan oleh indikator duniawi dikarenakan kebahagiaan muncul dari rasa qana’ah sehingga rizki sebanyak atau sekecil apapun akan dinikmati dan disyukuri. Hal ini yang sebenarnya menjadi dasar dalam penghayatan individu bertaqwa yang menjadi jalan bagi tercapainya kebahagiaan akhirat.Dalam hal ini perilaku bertaqwa sejalan dengan konsep religiositas. Religiositas merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari (Mayasari, 2014)
Apabila religiositas seseorang tinggi berdasarkan perspektif Islam maka orang tersebut dikatakan sebagai orang yang bertaqwa.Hal ini sejalan dengan pandangan Ibnu Khaldun mengenai kebahagiaan sebagai bentuk tunduk dan patuh mengikuti garis-garis ketentuan agama Allah dan perikemanusiaan (Daradjat, 1988). Kebahagiaan juga ditafsirkan sebagai bentuk kemenangan.Menurut Imam Al-Ghazali (2008), kebahagiaan adalah kemenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan. Kemenangan di dalam memerangi hawa nafsu ini ialah induk dari segala kemenangan. Jalan untuk memerangi hawa nafsu adalah melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut (1) Senantiasa mengoreksi diri, memohon ampun dan taubat akan kesalahan, (2) Bersikap penuh syukur pada segala hal yang dikaruniai Allah SWT, (3) Hanya berharap dan takut kepada Allah SWT, (4) Zuhud, tidak cinta dunia, (5) Hanya menjadikan Allah yang patut disembah (tauhid), (6) Senantiasa ikhlas dan bertawakal atas segala usaha dan upaya, (7) Mengembangkan rasa kasih sayang, (8) Senantiasa rindu pada ridho Allah, (9) Berusaha untuk mengingat kematian.
Kebahagiaan dalam Islam tidak diraih secara personal, karena ketaqwaan dalam Islam tidak bersifat individual melainkan berjamaah.Islam sangat menekankan peran penting keluarga dalam posisi pendidikan ketaqwaan. Keluarga dipandang sebagai titik tolak pembinaan keagamaan dan menjadi lingkungan dasar yang ketaqwaannya akan tetap terhubung hingga hari akhir kelak. Konsep keluarga dalam Islam meletakkan keluarga sebagai unsur terpenting dalam pembentukan kepribadian anak.Keluarga bertanggung jawab mempersiapkan anak menjadi individu yang berguna bagi masyarakat. Oleh karena itu Islam mengajarkan konsep sakinah, mawaddah, dan rohmah dalam membina hubungan di dalam keluarga karena merupakan dasar bagi anggota keluarga, khususnya anak belajar dan menerapkan nilai-nilai dasar hidup yang menjadi pegangan dalam mengarungi hidup (Marzuki, 2015).
Tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak dalam koridor ketaqwaan menjadi prinsip penting dalam pembinaan keluarga. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS At-Tahrim (66): 6 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” Pembinaan nilai keislaman terdiri atas 3 (tiga) unsur keislaman yang lebih dikenal sebagai rukun islam yaitu iman, islam dan ihsan. Hal ini didasarkan pada HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah & Ahmad bin Hambal yang berbunyi :
“Abu Hurairah RAberkata: Pada sesuatu hari ketika Nabi SAW sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya,
“Apakah iman itu?” Jawab Nabi SAW: “Iman adalah percaya Allah Subhanahu wa ta’ala, para malaikat-Nya, & pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya & percaya pada hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi,
“Apakah Islam itu?” Jawab Nabi SAW, “Islam ialah menyembah kepada Allah &tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi:
“Apakah Ihsan itu?”Jawab Nabi SAW, “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu. “
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “Apakah hari kiamat itu?” Nabi SAW menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk 5 perkara yangtidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi SAW membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat…”
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi SAW bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi SAW bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia” (Najati, 2000).
Berdasarkan paparan di atas Islam memandang bahwa kebahagiaan terdiri atas kebahagiaan dunia dan akhirat.Pada dasarnya ajaran agama Islam menyerukan manusia untuk memprioritaskan kebahagiaan akhirat dibandingkan dunia. Oleh karenanya, kebahagiaan menurut Islam adalah upaya pencapaian kesuksesan akhirat yang diperoleh melalui jalan ketaqwaan.Islam menitik beratkan pada ibadah dan pengamalan nilai-nilai Islam dalam akhlak sehari-hari. Meskipun faktor internal individu lebih berperan dalam pencapaian kebahagiaan, namun pembentukan iman dan taqwa dibentuk melalui pendidikan, khususnya berasal dari lingkungan keluarga.
Menjadi catatan dalam tinjauan kebahagiaan ini bahwa dalam psikologi Islam belum ada upaya penurunan konsep kebahagiaan dalam pengukuran yang bersifat empiris. Hal ini menjadi tugas bagi para ilmuwan psikologi muslim untuk membentuk konsep kebahagiaan Islam yang lebih jelas sehingga mampu menjadi dasar keilmuan dan penelitian yang lebih bersifat kuantitatif.
Berdasarkan paparan tinjauan kebahagiaan yang telah dijelaskan, berikut ini perbandingan antara konsep kebahagiaan dari pandangan psikologi positif (positive psychology) dan perspektif Islam dalam upaya membangun konsep kebahagiaan dalam psikologi Islam (islamic psychology). Penulis mencermati perbandingan dari 7 komponen yaitu paradigm dasar mengenai ilmu, batasan atau definisi mengenai kebahagiaan, tujuan kebahagiaan, hubungan kebahagiaan dengan religiositas, sumber atau faktor pembentuk, indikator kebahagiaan, upaya peningkatan dalam sisi personal dan setting keluarga.
Tabel 1 Perbandingan Happiness antara Psikologi Positif dan Perspektif Islam
Komponen Happiness | Psikologi Positif | Perspektif Psikologi Islam |
Paradigma dasar mengenai ilmu | Sekular, memisahkan antara ilmu pengetahuan dan sumber kewahyuan (agama) | Agamis, menyatukan antara ilmu pengetahuan dengan sumber kewahyuan Al-Qur’an & Hadis (agama Islam) |
Definisi atau batasan konsep | Kebahagiaan adalah kebahagiaan dunia yang dilihat melalui penghayatan individu yang diturunkan dalam konsep well-being , seperti pada konsep subjective well-being atau SWB (Diener) dan psychological well-being atau PWB (Ryff) | Kebahagiaan mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan sejatinya adalah usaha ibadah di dunia untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan diturunkan sebagai konsep ketaqwaan (Ibnu Khaldun), kemenangan atas hawa nafsu (Al-Ghazali) dan menunjukkan ciri sehat mental (Daradjat) |
Tujuan atau Goal | Individu bahagia mampu memenuhi segala potensinya, mengaktualisasi dirinya dan mencapai kehidupan yang baik (good life) | Individu bahagia mampu mencapai nikmat syurga yang kekal berdasarkan rahmat dan keridhoan Allah SWT (mardhotillah). |
Hubungan dengan religiositas | Religiositas memiliki hubungan signifikan dengan kebahagiaan, berdampak pada peningkatan emosi positif. | Ketaatan pada agama (religiositas) menjadi dasar dalam mencapai kebahagiaan baik dunia maupun akhirat. |
Sumber atau Faktor pembentuk kebahagiaan | Determinan kebahagiaan adalah kombinasi antara faktor personal (geneticset point), aktivitas membahagiakan (intentional activities) dan kejadian hidup (life circumstances). | Perasaan bahagia hakiki merupakan karunia dari Allah SWT yang dirasakan melalui upaya meraih bahagia dunia melalui jalan halal dan akhirat melalui ketakwaan dalam beribadah. |
Indikator | SWB :Positive affect yang lebih tinggi dibandingkan negative affect disertai kepuasan hidup yang tinggi (life satisfaction). PWB :self-acceptance, personal growth, purpose in life, environmental mastery, autonomy dan positive relations with others. | HR Dailami : Mempunyai pasangan hidup yang saleh, anak-anak yang baik, lingkungan yang baik dan pekerjaan yang tetap di negerinya sendiri. Ibnu Abbas RA :hati yang selalu bersyukur, pasangan hidup dan anak yang saleh, lingkungan yang kondusif untuk iman, harta yang halal, memahami agama, dan umur yang barokah melalui ibadah. Ali bin Abi Thalib RA : orang yang memprioritaskan kebahagiaan akhirat di atas kebahagiaan duniawi. |
Upaya Peningkatan Personal | Lyubomirsky : 12 Aktivitas yaitu Gratitude and positive thinking, cultivating optimism, avoiding overthinking and social comparison, practicing acts of kindness, nurturing social relationships, developing strategies of coping, learning to forgive, increasing flow experience, savoring life’s joy, commiting to your goal, practicing religion and spirituality, taking care of your body : meditation, physical activities, and acting like a happy person. | Al-Ghazali melalui latihan jiwa :Senantiasa mengoreksi diri, memohon ampun dan taubat akan kesalahan, Bersikap penuh syukur pada segala hal yang dikaruniai Allah SWT, Hanya berharap dan takut kepada Allah SWT, zuhud (tidak cinta dunia), hanya menjadikan Allah yang patut disembah (tauhid), Senantiasa ikhlas dan bertawakal atas segala usaha dan upaya, Mengembangkan rasa kasih sayang antar sesama, Senantiasa rindu pada ridho Allah, Berusaha untuk mengingat kematian. |
Peningkatan dalam Setting Keluarga | Kebahagiaan keluarga ditentukan olehfamily process, personality traits of parents, dan socio-economical environmentsehingga peningkatan dilakukan melalui penanganan kemiskinan anak, mengembangkan jasa sosial berkualitas, menurunkan tingkat konflik keluarga, dan mendukung gerakan pernikahan. | Kebahagiaan keluarga ditentukan oleh derajat ketaqwaan anggota keluarga dalam menjalankan perintah agama, peningkatan kebahagiaan keluarga melalui penguatan keluarga sakinah, mawaddah, warohmah dan pendidikan iman-islam-ihsan pada anak oleh orang tua. |
PENUTUP
Perbedaan paradigma mengenai ilmu antara psikologi positif dan psikologi Islam melahirkan perbedaan mendasar dalam memandang kebahagiaan (happiness).Konsep kebahagiaan dari psikologi positif memandang bahwa bahagia sinonim dengan well-being yang terukur melalui kehidupan emosi positif (positive affect) serta kepuasan hidup (life satisfaction) yang dirasakan individu serta indikator-indikator kebahagian individu.Hal ini berbeda dengan konsep kebahagiaan dari psikologi Islam.Al-Qur’an dan Hadis memandang bahwa dunia bersifat sementara sehingga tujuan hidup manusia sesungguhnya mengejar kebahagiaan kekal yaitu kebahagiaan akhirat. Perbedaan antara kebahagiaan yang diusung psikologi positif dengan psikologi Islam yang juga terlihat dari batasan atau definisi mengenai kebahagiaan, tujuan kebahagiaan, hubungan kebahagiaan dengan religiositas, sumber atau faktor pembentuk, indikator kebahagiaan, upaya peningkatan kebahagiaan dalam sisi personal dan setting keluarga. Penulis juga mencatat perlu adanya upaya penyusunan struktur konsep kebahagiaan yang sistematis dalam Psikologi Islam sehingga mampu diturunkan dalam pengukuran kebahagiaan dengan perspektif Islam.
DAFTAR REFERENSI
Ancok, D. & Suroso, F.N. (1994). Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Behnke, A. & MacDermid, S. (2004). Family well-being, a sloan work and family encyclopedia entry. Diunduh pada 30 Maret 2015 dari http://wfnetwork.bc.edu/encyclopedia_entry.php?id=235&area=academics.
Bradshaw, J., Hoelscher, P., & Richardson, D. (2006). An index of child well-being in the european union. Social Indicators Research. Vol 80 No 1. 133-177.
Daradjat, Z. (1988). Kebahagiaan. Jakarta: CV Ruhama.
Daradjat, Z. (1994). Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2005). Al-Qur'an Terjemahan. Jakarta : PT. Syamil Cipta Media.
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin 95 (3): 542–575. doi:10.1037/0033-2909.95.3.542
Diener, E., Fuh, E.M., Lucas, R.E., & Smith, H.L. (1999). Subjective well-being : three decades of progress. Psychological Bulletin. Vol 125 No 2. 276-302
Fahey, T., Keilthy, P., Polek, E. (2012). Family relationships and family well-being : a study of the families of nine year-olds in Ireland. Dublin : University College Dublin and the
Family Support Agency. Diunduh pada 15 Desember 2015 dari https://www.ucd.ie/news/2013/01JAN13/docs/Family_Relationships_and_Family_WellBeing_Dec_2012.pdf
Franklin, Samuel S. (2010). The psychology of happiness : a good human life. New York : Cambridge University Press.
Ghazali, I. (2008). Ringkasan ihya 'ulumuddin (terjemahan Fudhailurrahman). Jakarta : Sahara Publishers
Hawwa, S. (2003). Mensucikan jiwa : intisari ihya 'ulumuddin al-Ghazali (alih bahasa Aunur R.S. Tamhid). Jakarta : Robbani Press
Helliwel, J., Layard, R.,& Sachs, J. (2012). World happiness report 2012. Diunduh pada 6 Desember 2015 dari http://worldhappiness.report.
Helliwel, J., Layard, R., &Sachs, J. (2015). World happiness report 2015. Diunduh pada 6 Desember 2015 dari http://worldhappiness.report.
Linley, P.A., & Joseph, S. (2004). Positive psychology in practice. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Lyubomirsky, S. (2008). The how of happiness : a scientific approach to getting the life you want. New York : The Penguin Press
Marliany, R. & Asiyah. (2015). Psikologi islam. Bandung : Pustaka Setia.
Marzuki. (2015). Pendidikan karakter islam. Jakarta : Amzah
Mayasari, R. (2014). Religiusitas islam dan kebahagiaan (sebuah telaah dengan perspektif psikologi). Jurnal Al-Munzir Vol. 7, No. 2. Diunduh pada 20 Desember 2005 dari http://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/al-munzir/article/view/281/271
McKeown, K., Pratschke, J., & Haase, T. (2003). Family well-being : what makes a different?. Diunduh 20 Desember 2015 dari https://www.welfare.ie/en/downloads/Family-WellBeing.pdf
McKeown, K. & Sweeney, J. (2001). Family well-being and family policy : a review of research on benefits and costs. Dublin : Kieran McKeown Limited. Diunduh pada 20 Desember 2015 dari http://health.gov.ie/wp-content/uploads/2014/03/famrev-report.pdf
Moreira-Almeida, A., Neto, F.L., & Koenig, H.G., (2006). Religiousness and mental health : a review. Revista Brasileira de Psiquiatria online version ISSN 1809-452X. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-44462006005000006
Mutahhari, M. (1987). Islam dan kebahagiaan manusia. Bandung : CV Rosda
Najati, M.U. (2000). Al-Qur'an dan ilmu jiwa. Bandung : Penerbit Pustaka
Nashori, F. (1997). Psikologi islami: agenda menuju aksi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Nashori, H.F. (2008). Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nashori, H.F. (2005). Potensi-Potensi Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rakhmat, J. (2006). Meraih kebahagiaan. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Ridha, A. (2006). Kiat sukses mencapai kebahagiaan hidup. Jakarta : Amzah
Ryff, C. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality & Social Psychology. 57 (6), 1067-1081. doi : 10.1037/0022-3514.57.6.1069.
Ryff, C. & Keyes, C (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality & Social Psychological, 69, 719-727
Saputra, R. (2015). 7 indikator kebahagiaan dunia menurut sahabat ibnu abbas. Diakses pada 12 Desember 2015 dari http://www.eramuslim.com/oase-iman/7-indikator-kebahagiaandunia-menurut-sahabat-ibnu-abbas.htm#.VnfKdfl97nA
Seligman, M.E. (2011). What is well-being?. Diakses pada 23 November 2015 dari http://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/learn/wellbeing
Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2002). Handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.
Thoyibi, M. & Ngemron, M. (1996) Psikologi islam. Surakarta : Muhammadiyah University Press
Main Article Content
Abstract
In recent study, psychology started to focus not only about mental disorders but also focus on
new themes, such as happiness. To make a strong family bond, happiness is an essential.
Reseacher try to analyze the concept of happiness in two new waves of psychology, which is
positive psychology and Islamic psychology. Positive psychology use term of well being to
explain and measured happiness. Islamic psychology has different perspective about happiness,
that makes definition about happiness in Islamic term could not use well-being to measure
happiness. The two waves also different in term of determinant, indicators and how to increase
happiness.Hopefully this article could be a basic foundation to develop new set of concept and
measurement of happiness with eternal happiness paradigm.
Keywords
Article Details
- Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution License that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.
- Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal.
- Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work.