Â
Lanskap kehidupan bermedia di Indonesia dalam kurun waktu terakhir menunjukkan perkembangan dinamis. Salah satunya ditandai munculnya berbagai wacana baru dalam pemberitaan. Diskursus tentang adopsi konsep jurnalisme fakta vis a vis jurnalisme makna dalam pemberitaan melahirkan pendekatan jurnalisme ke dalam dua kutub-dikotomis; konvensional dan kontemporer.
Jurnalisme konvensional dengan jargon profesionalisme menempatkan ideologi “objektivitas†sebagai landasan utama dalam beroperasi. Tolok ukurnya adalah dua dimensi: “faktualitas†(factuality) dan “imparsialitas†(impartiality). Sementara, new journalism sebagai respon global mengusung kritik tajam atas klaim objektivitas-positivisme sehingga memunculkan genre baru dalam jurnalisme. Sebutlah jurnalisme publik, jurnalisme damai, jurnalisme patriotik, jurnalisme warga, jurnalisme sensitif gender, dan sebagainya. Di satu sisi, kehadiran new media (internet dan teknologi mobile dengan segala sisi interaktifnya) juga melahirkan new journalism yang membawa isu konvergensi.
Ini paralel dengan teori konvergensi yang menyatakan bahwa setiap model media terbaru cenderung menjadi perpanjangan atau evolusi dari model-model media pendahulunya. Jurnal Komunikasi Volume 1, Nomor 2, April 2007 ini mengetengahkan diskusi seputar new journalism, baik dari konteks kemunculan, perkembangan isu, karakteristik medium, keterlibatan audiens, sampai pada misi yang diusungya. Didik Supriyanto dan Iwan Awaluddin Yusuf mengawali kajian dengan menelaah perkembangan terbaru konvergensi media yang difasilitasi internet dan teknologi mobile serta pengaruhnya terhadap media-media konvensional. Menurut kedua penulis ini, kehadiran jurnalisme online sedikit banyak mereduksi teknik-teknik jurnalisme konvensional yang selama ini berlaku. Perubahan itu tampak dari peran jurnalis, fungsi gatekeeper, karakteristik medium, manajemen media, hingga perilaku audiensnya.
Masih terkait dengan internet dan teknologi media, Zaki Habibi melanjutkan bahasan tentang redefinisi berita di era infomasi yang tampil dalam banyak sisi. Menurutnya berita tidak hanya satu muka karena siapa saja dapat mengartikan dan menginterpretasikan peristiwa dalam ruang dialog bersama. Tulisan bertema citizen journalism ini diarahkan untuk mencari jawaban atas tiga pertanyaan kunci, yakni tentang perubahan konsep dan makna berita, dampak perubahan tersebut bagi ranah jurnalistik, dan bagaimana memaknai peran masyarakat.
Sementara itu A Darmanto memaparkan bahwa jurnalisme warga tidak hanya dapat diwujudkan dengan teknologi internet yang menghadirkan weblog (blog). Ia beragumen, untuk lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai bentuk ekspresi budaya masyarakat yang demokratis, maka nilai-nilai jurnalisme warga perlu diaplikasikan dalam bentuk lain, khsusunya lewat radio komunitas. Usulan itu disampaikan berdasarkan pertimbangan bahwa sampai saat ini tingkat akses internet di Indonesia masih rendah dan terkonsentrasi di wilayah perkotaan.
Pada bahasan lain, Puji Rianto secara khusus memaparkan perlunya jurnalisme publik untuk menjawab kegagalan jurnalisme profesional yang disinyalir memiliki banyak kelemahan sehingga membuatnya gagal melayani masyarakat, terutama dalam sistem politik demokrasi. Problematika penerapan jurnalisme publik di Indonesia, khususnya pada media penyiaran, diangkat oleh Masduki dan Bambang Muryanto. Kedua penulis ini menyoroti peran legal-formal UU No. 32/2002 tentang Penyiaran yang dinilai berhasil menggeser eksistensi RRI dan TVRI sebagai media propaganda pemerintah yang berkuasa menjadi sebuah media publik (public service broadcasting) yang independen. Namun dalam praktiknya, mewujudkan media penyiaran yang berorientasi publik tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada berbagai polemik menyangkut kepentingan-kepentingan tersembuyi di belakangnya.
Penerapan prinsi-prinsip syariah dalam operasionalisasi media yang memunculkan jenis jurnalisme baru diangkat Abdul Rohman dalam tulisannya. Ia meneliti kebijakan pemberitaan Radio MQ FM Yogyakarta. Berdasarkan pengamatannya, kehadiran radio bernafaskan syariah tersebut merupakan fenomena baru yang unik dalam khazanah jurnalistik radio di Indonesia.
Sementara itu, Muzayin Nazaruddin menelaah posisi jurnalisme dalam pemberitaan bencana. Ia mengkaji secara kritis realitas praktik jurnalistik dalam berbagai bencana dilaksanakan oleh media-media di Indonesia. Berangkat dari kritik yang diajukan, Muzayin mengajukan beberapa landasan normatif etis tentang bagaimana seharusnya praktik-praktik jurnalistik dalam bencana dilakukan oleh media di Indonesia.
Terakhir, sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya berita-berita yang bombastis dan mengumbar sensasi, Ana Nadhya Abrar dalam tulisannya menekankan perlunya kelugasan dalam penyampaian berita buruk (bad news). Dengan gaya jurnalisme lugas semacam ini, keburukan yang dihasilkan dari pemberitaan media tidak menimbulkan efek turunan atau beranak pinak menjadi keburukan-keburukan lain yang pada gilirannya merugikan masyarakat.
Pembaca yang budiman, demikian delapan tulisan yang terpilih menjadi menu Jurnal Komunikasi edisi ini. Selamat membaca dan menikmati sajian kami.
Redaksi
Published: October 27, 2015