Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Berbicara masalah korupsi, maka ini adalah masalha "tangan-tangan kotor'. Robert Fullinwider, misalnya, kerap dikutip mengatakan bahwa kita butuh politikus seperti kita butuh tukang sampah, jadi seharusnya kita sudah menduga kalau bakal bau (Peter Singer, ed.: 1993). Korupsi memang masalah penyalahgunaan wewenang. kalau korupsi dipahami hanya sekedar penyelewengan nilai-nilai moral dan agama, maka tidak akan pernah berjumpa dengan Indonesia nirkorupsi. Bahwasanya kita sudah menghabiskan bertriliun rupiah untuk penataran P4 atau sekarang ada PPKN, dan bahkan satu dari sedikit negara modern yang punya pelajaran agama dari SD sampai universitas, tetapi terus jawara dalam peringkat korupsi antar negara.
Di Indonesia, korupsi apakah sudah bisa disebut membudaya atau baru taraf proses menuju ke sana? tidak begitu jelas. Di zaman Orde Lama dan juga Orde Baru, korupsi memang luar biasa. Menteri-menteri Soekarno dan juga Soeharto melakukan korupsi tanpa malu-malu dan mengakibatkan rakyat menanggung beban dengan merosotnya kondisi ekonomi negara, ditambah lagi meningginya tingkat inflasi sampai 400 persen lebih. Para pejabat negara berhura-hura dengan berbagai kemewahannya sedangkan rakyat dibuat sengsara olehnya.
Kini, korupsi dan kolusi tumbuh sedemikian hebatnya. Hampir di setiap institusi pemerintah dari RT sampai tingkat tinggi terjadi korupsi dan kolusi, apa bukti ini belum cukup? Memang, banyak pakar yang tidak sepakat kalau korupsi disebut sebagai budaya. Akan tetapi, seperti halnya kemiskinan dianggap semacam budaya oleh Oscar Lewis karena mempunyai semacam tatanan nilai yang ikut melakukan determinasi terhadap perilaku para penyandangnya, kiranya demikian pulalah korupsi.
Sebuah tindak korupsi juga menghadirkan budaya korupsi—misal peningkatan pola konsumtif yang mendorong perilaku lanjut korupsi—maupun virus korupsi yang merangsang tindak korupsi lain di sekitar pengidapnya. Kita tentu ingat betapa para tersangka korupsi KPU sedang membangun rumah mewah, dan betapa korupsi di KPU menularkan rangkaian korupsi di BPK, Departemen Keuangan, dan bahkan DPR.
Telah lama pakar menggambarkan bagaimana kapital mempunyai logika preservasi-akumulasi tertutup yang sama untuk lebih terus merawat dan mengakumulasi dirinya sendiri belaka (Karl Max, 1844:1961). Dalam hal ini, kiranya korupsi merupakan penyakit yang lebih buruk karena memiliki logika secorak tapi tak mewarisi budaya enterpreneur serupa. Dalam logika preservasi-akumulasitertutup semacam ini, seorang koruptor sejati kiranya sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri belaka sehingga sukar dibayangkan akan berpikir untuk kemajuan dan kesejahteraan orang banyak.
Pada edisi ini, Jurnal Millah dengan sengaja membongkar akar korupsi dari berbagai perspektif agar pembacaan terhadap korupsi menjadi komprehensif, sehingga ada kontribusi pepemikiran secara akademik dalam mereduksi meluasnya virus yang sudah kadung membudaya di masyarakat.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Published: February 28, 2006