Akhir tahun ini, kontrak kerja sama Indonesia dengan Dana Moneter Intemasional (IMF) dihentikan. Sebetulnya, kerja sama dengan IMF tersebutmasih bisadiperpanjang, Namun desakan publlk untuk menghentikan kontrak tersebut sangat kuat. Ini terjadi karena kinerja IMF dalam memulihkan perekonomian Indonesia dari krisis tidak seperti yang diharapkan. Bahkan, sebagian pengamat menilai IMF telah melakukan "mal praktek". Saran kebijakan sporadik menutup 16 bank pada tahun 1997, misalnya, ternyata berdampak mempertajam krisis yang terjadi.
Kebijakan penghapusan subsidi, privatisasi, pengendalian defisit yang ingin serba cepat dan momentum waktu yang tidak tepat waktu, telah menimbulkan dampak sosial dan gejolak dalam perekonomian Indo nesia. Ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Stiglitz dalam kapasitasnya sebagai pejabat Bank Dunia pada akhir 1997.
Dengan akan diputusnya kontrak dengan IMF tersebut maka Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Perlu dicermati implikasi dan risiko yang akan dan bisa timbul dari kebijakan tersebut. Untuk itu Jurnal UNISIA edisi kali ini menjadikan topik tersebut sebagai bahan kajian dari para ahli yang relevan. Diharapkan pemikiran-pemikiran tersebut bisa menambah wacana sekaligus masukan bagi pengambil kebijakan di tanah air. Penulis yang menyampaikan pemikiran gagasannya dalam edisi ini anlara lain adalah Sri Adiningsih, Harwanto Dahlan, Endang Sihprapti, Agus Widaijono, Nandang Sutrisno, dan Suharto, Kajian yang disampaikan tidak saja dari sisi ekonomi, melainkan juga dari aspek politik dan hukum.
Dr. Sri Adiningsih menilai opsi yangdiambil pemerintah untuk keluar dari IMF, dengan tetap membayar kewajiban sesuai dengan waktu jatuh temponya, merupakan pilihan paling konservatif. Namun opsi ini masih mengandung konsekuensi adanya pemantauan pasca program (postprogram monitoring). Dengan pilihan ini, Adiningsih menilai tidak akan banyak menggoncang perekonomian kita. Bahkan, jika masalah ekonomi mikro dapat diperbaiki, maka akan dapat memperkuat fundamental ekonomi makro nasional.
Harwanto Dahlan juga cukup optimis dengan situasi Indonesia pasca IMF. Namun ada prasyarat yang harus dipenuhi, yakni: harus menciptakan adanya good governance dan clean government. Dengan proses pemerintahan yang baik, akan terwujud pemerintahan yang bersih. Jika pemerintahan yang bersih terwujud, maka korupsi yang merupakan penyakit nomor satu di pemerintahan bisa diminimalkan. Ini merupakan modal besar untuk memperkuat ekonomi pasca IMF.
Pandangan agak berbeda muncul dari Nandang Sutrisno,yang melihat hubungan dengan IMF dari sisi hukum. la menilai bahwa IMF harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan programnya. Alasannya, odious debt (utang yang "menjijikkan") sangat prospektif untuk dijadikan dasar hukum menggugat IMF. Untuk itu ia juga menyarankan agar dibentuk lembaga intemasional baru yang khusus menyelesaikan odious debt. Berbagai pemikiran lain juga muncul dari penulis dalam edisiini. Memang pemikiran terhadap aksi yang harus dilakukan pasca pemutusan kontrak itu sangat beragam. Ini semua akan menjadi masukan dan pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam mencari berbagai solusisetelah hubungan dengan IMF semakin diminimalkan.
Demikianlah dari tulisan-tulisan tersebut diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran komperhensif tentang perkembangan dan hasil kontrak kerjasama antara Indonesia dengan IMF selama ini, disamping juga memberikan kajian empirik-analitik kerja sama Indonesia - IMF dan prospek jangka panjangnya. Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi sebagai penulis pada edisi yang akan datang, kami informasikan topiknya adalah "Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung". Kami menunggu tulisan-tulisan tersebut paling lambat akhir November 2003 ini.Â
Published: July 27, 2016