Entah kapan berawalnya sebuah kritik sosial mensyaratkan penyampai kritik memperhatikan cara, memperhatikan status diri, memperhatikan arah dan tujuan kritik. Kosa kata jawa "ngono yo ngono ning aja ngono" adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan bagaimana mestinya kritik sosial itu disampaikan. Cara yang dianggap baik, tepat dan benar bukan saja dinilai dari tutur kata, kosa kata yang digunakan atau dari performance si penyampai kritik, tapi juga dinilai dari instrumen apa yang ia gunakan dalam menyampaikan kritiknya itu. Kalau kritik disampaikan dengan seseorang dengan kualifikasi tertentu, secara reflektif ia sampaikan kritik itu dengan kalimat tak langsung, dengan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan. Dengan cara itu si penyampai dan si penerima kritik seolah-olah sudah saling memahami substansi kritik itu.

Secara perlahan cara-cara demikian itu seolah menjadi etika kritik sosial bangsa kita. Orang tampak begitu mementingkan cara daripada substansi. Orang tampaknya tak perlu khawatir bahwa dengan cara itu substansi kritik tidak dapat ditangkap sebagaimana mestinya. Penyelimutan kritik mengesankan bahwa kritik menggandung virus distruktif yang karena itu harus dilakukan "imunisasi" lengkap jauh sebelum pembuahan berlangsung agar ia tidak menggerogoti kekebalan tubuh.

Di tingkat pemerintah "penghalusan bahasa" telah menjadi fenomena yang khas; kenaikan harga dibahasakan dengan penyesuaian; kemiskinan menjadi tertinggal; korupsi atau manipulasi disebut sebagai penyimpangan prosedur, dan seterusnya. Kecenderungan eufemisme ini menurut Ben Anderson sama ambiguitasnya dengan bahasa yang dipakai para "priyayi" untuk menghindar dari "kekerasan" realitas. Lewat bahasa yang digunakannya para petinggi negara bukan hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas yang sesungguhnya.

Bahasa sebagai sistem simbol agaknya sudah terjerat dalam kerangkeng legitimasi negara; mengalami kolonisasi. Akibat yang ditimbulkan oleh kolonisasi simbolis ini membawa konsekuensi kekacauan dan peluluhan daya hidup yang luar biasa. Secara sederhana Edward Sapir yang dikutif Yudi Latif (1996) menyatakan, "manusia hidup dalam dunia realitas. Dengan bahasa ia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tapi juga"membentuk" realitas. Itu berarti, upaya pengendalian agenda dan defenisi publik tentang realitas dapat dimulai lewat penguasaan dan manipulasi medan simbolis. Dan dominasi dunia simbolis itu berarti penaklukan dunia kita dalam arti sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya".

Dalam konteks itulah Kuntowidjoyo pernah menyatakan bahwa rekayasa simbolis selalu masuk dalam program setiap kekuasaan, karena penguasa tidak akan lestari di tempatnya kalau kehilangan kontrol alas dunia simbolis. 

Published: July 27, 2016