Wajah Indonesia terutama pasca terjadinya gempa yang terjadi di berbagai wilayah bumi Nusantara ini telah menyisakan ragam persoalan baik dari aspek sosial, budaya, moril maupun materiil. Kalangan yang peduli dengan kondisi bangsa Indonesia memberikan berbagai komentar, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi terutama yang menyangkut upaya pemerintah dalam menangani berbagai problem. Sebagal bahan renungan sekaligus sebagai andil dalam merespon kondisi bangsa Indonesia, UNISIA edisi 63 ini akan menyuguhkan berbagai tulisan yang sebagian besar menyangkut persoalan recovery pasca terjadinya gempa, disamping masalah lain yang perlu diberi catatan.
Koentjoro dan Budi Andayani, pakar psikolog Universitas Gajah Mada mencoba mengulas tentang recovery kawasan bencana melalui kegiatan psikologi dan rohani. Dalam konteks ini kedua pakar psikolog tersebut menekankan bahwa sudah saatnya setelah Indonesia mengalami berbagai bencana, psikologi meningkatkan perannya dalam penanganan korban bencana. Peningkatan peran ini tidak hanya dan sisi tanggap dan metode pemberian bantuan. Ditinjau dari permasalahan yang dihadapi para korban psikologi perlu memantapkan pola baku tentang apa yang harus dilakukan. Pergerakan psikologi tidak dapat dilakukan secara awam sehingga perlu banyak persoalan. Disamping itu pergerakan psikologi tidak selalu efektif jika dilakukan dengan basis individual. Pendekatan kelompok masyarakat menjadi sangat penting mengingat dampak bencana tidak hanya dirasakan oleh beberapa orang saja melainkan oleh banyak anggota masyarakat. Psikologi, dengan pendekatan klinis dan sosial akan lebih efektif menuju recovery korban bencana.
Agam Marsoyo, anggota tim PSPPR-UGM memposisikan rumah inti untuk percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana bagi masyarakat pedesaan. Pembangunan dan pengembangan rumah inti pada dasarnya mudah dari sisi teknis. Namun bila pembangunan dan pengembangan rumah inti ini menyangkut situasi yang tidak normal misalnya pada situasi pasca bencana yang obyeknya massal, tersebar di berbagai lokasi, dengan ekonomi masyarakat yang minim, maka satu-satunya yang masih bisa diandalkan adalah modal sosial (social capital) masyarakatnya apalagi di kawasan pedesaan.
Studi yang dilakukan atas peran media dikawasan bencana menemukan dua persoalan serius. Pertama, potensi konflik institusional yang tajam antara kepentingan untuk melakukan advokasi melalui berita-berita yang kritis dengan kepentingan melakukan promosi peran sosial media sebagai institusi komersial. Dalam terminologi akademik, terjadi konflik antara model Corporate Social Responsibility (GSR) dengan News Social Responsibiliy (NSR). Dominannya berita ceremonial penyerahan bantuan bencana yang melibatkan media sebagai distributor menyebabkan tersingkimya ruang bagi berita yang secara kritis menyingkap buruknya manajemen distribusi bantuan. Pada iklim yang liberalistik, peran-peran tersebut saling tumpang tindih karena kontrol atas pilihan peran media berada penuh pada pundak pemilik. Tumpang tindihnya peran terutama dimotivasi oleh hasrat komersial yang berlebihan untuk mengeksploitasi bencana sebagai kisah satir yang menghibur setiap saat. Aksi sosial yang dilakukan media lokal di Yogya seperti "serangan fajar" efektif menempatkan media sebagai agen penyalur bantuan tetapi menyimpan potensi krisis kredibilitas bagi media yang bersangkutan. Krisis ini dapat berupa kaburnya persepsi masyarakat tentang peran media sebagai sarana kontrol sosial melalaui produk berita atau dapat berupa krisis kepercayaan akibat minimnya transparansi dana penyaluran bantuan yang disalurkan masyarakat melalui media dan oleh adanya sikap diskriminatif media ketika memilih lokasi atau korban yang berhak mendapat penyaluran.
Melengkapi informasi berbagai masalah yang dapat dijadikan acuan dalam upaya merespon kondisi wajah Indonesia berbagai tema panting lain mewarnai edisi 63 ini. Tema yang diusung oleh J.K. Prihatanto tentang agama, modemisasi dan teori kritis (sebuah potret pertautan) yang pada intinya memberikan kejelasan bahwa institusi agama dengan perangkat teologi yang hanya berusaha merumuskan kembali secara metodis dan sistematis rumusan dari tradisi, khususnya kitab suci tidak memenuhi syarat ilmiah zaman sekarang. Teologi memang perlu merumuskan kembali tradisi dalam rumusan yang sesuai dengan bahasa orang sezamannya. Teologi juga perlu melakukan interdisiplineritas dengan ilmu lain. Tema-tema lain yang tidak kalah pentingnya untuk disimak adalah itentang tradisi paradigma ilmu dan hukum dalam konteks perkembangan hukum Indonesia; Penipuan dengan menggunakan telepon seluler ditinjau dari KUHP; Tuntutan akuntabilitas masyarakat terhadap pemerintah atas pajak dan retribusi dan tema tentang merekonstruksi epistemologi Ibrahim. Â Â Â
Published: July 21, 2016