Maraknya lembaga pendidikan di Indonesia disatu sisi mempunyai makna yang positif dan disisi lain mempunyai makna yang negatif. Sisi positifnya dengan maraknya pendidikan memunculkan kompetisi yang antara satu dengan yang lain saling mencari dan mengisi keunggulan masing-masing untuk menarik kepercayaan pengguna jasa pendidikan. Sisi negatifnya dengan maraknya lembaga pendidikan mengakibatkan beberapa lembaga pendidikan sulit untuk berlahan hidup dikarenakan tidak bisa mengikuti arus kompetisi, terutama lembaga-lembaga pendidikan swasta. Kondisi seperti ini diperkuat dengan maraknya lembaga-lembaga pendidikan asing yang masuk ke Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya tarik ulur antara yang pro dan yang kontra tentang liberisasi pendidikan dalam konteks globalisasi yang secara detail, dalam tulisan ini dikritisi oleh Muhammad Idrus. Untuk menghindari kesimpangsiuran tentang makna dan penerapan istilah liberal Siswanto Masruri telah memaparkan dalam tulisan ini tentang paradigma liberal dalam pendidikan global. Salah satu stigma yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah agar tidak tertinggal para pelaku pendidikan sebaiknya menerapkan proses desentralisasi atau otonomi, mengedepankan inovasi dan inisiatif-inisiatif strategis. Globalisasi pendidikan yang sudah menggeliat harus disikapi secara cermat. Persoalan inilah yang menjadi topik penting yang ditulis oleh Jaka Winarno. Diantara tawarannya adalah untuk menyikapi terhadap liberalisasi pendidikan pemerintah harus menyiapkan kebijakan-kebijakan yang cerdas, strategis dan antisipatif menghadapi gelombang globalisasi yang juga akan menyentuh pendidikan tinggi. Dengan demikian nilai-nilai negatif dan arus globalisasi itu dapat ditepis, dan sebaliknya menyerap nilai-nilai positifnya sehingga pertanyaan yang ditawarkan Awan S. Dewanta tentang apakah liberalisasi pendidikan tinggi meminggirkan perguruan tinggi nasional? kiranya dapat terjawab. Dengan kalimat sederhana tetapi mengandung makna yang komprehensip bahwa menghadapi liberalisasi pendidikan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak berakibat buruk bagi lembaga pendidikan nasional. Oleh karena itu M. Suyanto menawarkan strategi bersaing terutama bagi perguruan tinggi dalam menghadapi liberalisasi. Di antara yang ditawarkan adalah blue ocean strategy (strategi samudera biru). Strategi ini memiliki tiga kualitas yang saling melengkapi yaitu fokus, gerak menjauh (difergensi) dan moto utama. Ide dan komentar tentang masalah globalisasi dan liberalisasi dalarn pendidikan yang menjadi kajian utama dalam edisi 60 ini dilengkapi dengan tulisan lain ysng menyoroti tentang pesantren dan perguruan tinggi Agama Islam menghadapi liberalisasi pendidikan oleh Ainurrafiq Dawam dan masalah kearifan lokal perguruan tinggi menghadapi liberalisasi pendidikan yang ditulis oleh Djohar dan Merry Zudianto. Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi menyumbangkan tulisan di jumal UNISIA, pada edisi 61 akan mengulas tentang "Budaya Kekerasan".

Pesantren dan Perguruan Tinggi Agama Islam Menghadapi Liberalisasi Pendidikan

Ainnurrafiq Dawam (1)
(1)
127-142
255

Kearifan Lokal Penguasa Daerah Menghadapi Liberalisasi Pendidikan "Upaya Kota Yogyakarta Meningkatkan Kualitas Pendidikan"

Herry Zudianto (1)
(1)
143-146
200

Paradigma Liberal dalam Pendidikan Global

Siswanto Masruri (1)
(1)
147-158
453

Kearifan Lokal Perguruan Tinggi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan

Djohar MS (1)
(1)
159-163
214

Apakah Liberalisasi Pendidikan Tinggi Meminggirkan Perguruan Tinggi Nasional?

Awan S. Dewanta (1)
(1)
164-175
236

Pro Kontra Liberalisasi Pendidikan

Muhammad Idrus (1)
(1)
176-185
465

Dibalik Rencana Globalisasi

Ibnu Hajar (1)
(1)
240-243
201

Menyikapi Globalisasi Pendidikan Tinggi

Jaka Winarno A. (1)
(1)
186-193
229

Strategi Bersaing Perguruan Tinggi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan

M. Suyanto (1)
(1)
194-213
257

Kearifan Menyikapi Liberalisasi Pendidikan

Pambudi M. Jalal (1)
(1)
214-225
230

Penguatan Peran Negara dalam Implementasi Demokrasi Lokal di Indonesia

Author: Asrinaldi A. (1)
(1)
226-239
353