Bencana gempa dan tsunami yang melanda sebagian Wilayah Aceh telah mengakibatkan dampak yang sangat besar yang melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik di wllayah-wilayah yang terkena secara langsung maupun yang menerima dampak tidak langsung dari bencana tersebut. Ratusan ribu jiwa telah menjadi korban dan ratusan ribu lainnya harus berjuang mengatasi rasa kehilangan keluarga dan material, sekaligus mulai berpikir untuk melanjutkan kehidupannya.
Musibah alam mempakan fenomena yang tidak pemah bisa kita duga kapan akan datang, kematianpun bagi manusia adalah sebuah takdir. Namun, tanpa bermaksud melawan takdir, dalam musibah kali ini rasanya kita tidak bisa lagi hanya menyalahkan kepada takdir, musibah yang terjadi di sebagian wilayah di Indonesia itu mumi akibat kesalah kita, keteledoran kita dalam mengelola alam ini. Musibah banjir bandang, tidak akan terjadi kalau tidak ada pembabatan hutan di kawasan hutan gunung Leuser. Ribuan kayu bulat yang ikut hanyut dalam banjir bandang menunjukkan adanya pemotongan pohon yang tidak terkendali di puncak gunung.
Kalau kita mencoba melihat kembali ke belakang, ada sebuah peristiwa ironis pemah diangkat disurat kabar pada bulan mei 2001 berkaitan dengan kawasan ekosistem Leuser (KEL). Ketika itu, Inspektur Wilayah I Tim Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan hendak melakukan pemeriksaan lapangan berkaitan dengan laporan maraknya penebangan liar di kawasan hutan itu. Apa yang kemudian terjadi? Tim tersebut disandera oleh masyarakat. Pemimpinnya, Herman Apipudin, dipaksa membuat pemyataan di atas kertas bermetrai, yang isinya tidak melarang masyarakat menebang kayu selama tapal batas KEL belum jelas di lapangan.
Buah dari tingkah laku kita itulah yang harus dibayar dengan musibah yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia ini, karena daya dukung lingkungan tidak mampu lagi menahan ketika bencana itu datang. Ada pandangan yang melihat musibah hanya sebagai takdir. Sebab, itu hanya akan membuat kita pasrah menerima keadaan, tanpa kita mau berbuat sesuatu untuk menghindarkan terjadinya musibah. Padahal, jelas musibah alam yang terjadi ini bukan semata-mata karena takdir. Ini merupakan akibat dari ulah kita untuk tidak mau lagi bersahabat dengan alam.
Pandangan yang berbeda juga muncul dari tulisan-tulisan dalam UNISIA edisi ini. Tinjauan dari berbagai aspek, seperti Haidar Bagir memandang dari segi teologi bahwa, bencana ini sesungguhnya peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan manusia itu sendiri. Sedangkan Musa Asy’arie memandang dari sudut pemulihan ekomi kerakyatan, yaitu dengan fokus pada peningkatan sumber daya manusianya. Sarwidi memandang dari segi pencegahan bencana dengan menerapkan manajemen bencana yang bersiklus. Sedangkan Rokhedi memandang, jumlah bantuan tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangkan dan pemberdayaan microfinance, M. Idrus dan Fuad Nashori lebih memandang dari segi psikologis, Agus Triyanta dan Rahmani Timorita menyoroti dari pandangan Agama dan Teologi. Sedangkan Khoiruddin Nasution agak berbeda, yaitu tentang hak-hak wanita. Ifdhal kasim membicarakan dari dampak bencana dan persoalan Agraria terhadap pasca bencana.
Dengan memperhatikan pandangan-pandangan penulis di atas, itu menunjukkan keragaman cara menyikapi peristiwa bencana alam yang terjadi, mudah-mudahan dengan keragaman tersebut ada manfaatnya.
Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan Manajemen Negara dan Nasionalisme.* Â
Published: July 21, 2016