Di antara issu penting gang perlu dicermati di Indonesia saat ini adalah issu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Banyakperistiwa gang berimplikasi politik dan ekonomis dalam skala nasional dan intemasional dinyatakan sebagai kasus-kasus HAM. Sejak dari kasus pra dan pasca kemerdekaan Timor-Timur, pembunuhan dukun santet, kemelut di Aceh kerusuhan rasial di Ambon Maluku, kekerasan dalam masyarakat, serta gang terakhir adalah kasus konflik rasial gang terjadi di Sampit, hampir kesemuanya merefer pada permasalahan di seputar HAM.
Sorotan dunia intemasional terhadap peristiwa-peristiwa tersebut sangat tajam, dan sebagai bentuk sorotan itu adalah bahwa banyak agenda bantuan asing yang hanya diberikan dengan mensyaratkan pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan penghargaan yang lebih baik terhadap HAM. Begitu juga sebaliknya, ancaman-ancaman untuk embargo (misalnya dalam persenjataan) dilakukan dengan alasan tidak dihormatinya HAM di Indonesia.
Bisa dikatakan, bahwa dalam perspektif HAM, Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan besar. Lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas penegakan hukum dan pelindungan HAM masih terlalu lemah bila dibandingkan dengan maraknya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hal itu. Bukan saja itu menunjukkan betapa lemahnya birokrasi, namun juga menunjukkan betapa rendahnya kesadaran hukum dan HAM di negara ini. Masa reformasi sekarang ini seakan-akan memang telah memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menunjukkan, bukan saja kedewasaan mereka dalam bidang politik, namun juga sejauhmana esensi HAM tersebut dapat mereka apresiasi dan hukum itu mereka junjung tinggi. Pertanyaannya kemudian, apakah kesempatan itu akan bisa menjadi moment untuk menunjukkan political maturity bangsa ini dengan antara lain menunjukkan apresiasi tinggi terhadap HAM, ataukah justeru akan menunjukkan hal yang sebaliknya? Pilihan pertamalah yang seharusnya ditunjukkan oleh bangsa ini.
Masa reformasi ini juga harus membuktikan, bahwa kalau pun selama Orde Baru ketertiban hukum bisa dirasakan dan pelanggaran HAM tidak sesemarak dengan realita pada masa reformasi ini, namun hal tersebut bukan merupakan refleksi yang sesungguhnya atas kesadaran hukum dan HAM bangsa Indonesia, namun lebih merupakan ketertiban yang diciptakan dengan opressifitas dari penguasa. Sehingga, reformasi seharusnya melahirkan kesadaran politik dan kultural akan arti penting HAM, dalam artian yang sesungguhnya, yang kelak akan menjadi bagian dari mainset mentalitas bangsa.
Singkatnya, HAM memang masih menjadi permasalahan penting yang harus diselesaikan di negara ini. Dibentuknya KOMNASHAM, kementerian yang secara spesifik membawahi bidang HAM, adalah salah satu jalan menuju ke arah penghormatan dan penghargaaan yang lebih tinggi terhadap HAM. Namun dalam perjalanannya, lembaga-lembaga tersebut tetap belum bisa seoptimal yang dicita-citakan. Bukan saja karena masalah kekurangan dalam segi instrumen institusional - sebagai lembaga baru yang masih mengatur posisi dan jati diri - namun juga karena daya dukung masyarakat terhadap program lembaga tersebut kurang bisa diharapkan.
Di lain sisi, di luar dari realita kendala di atas, HAM memang masih sering dicurigai sebagai, tak lebih dari "senjata" yang selalu digunakan oleh negara-negara Barat untuk berkeberatan atas apa yang sedang terjadi dan diagendakan oleh negara-negara non-Barat Bahkan, ada anggapan bahwa negara Barat menggunakan double standard (standar ganda) dalam penegakan HAM, terutama apabila kepentingan mereka dikhawatirkan akan terganggu namun mereka seolah menutup mata apabila yang pihak yang teraniaya adalah pihak yang menjadi "musuh kepentingan" mereka. Hal ini tidak lain disebabkan oleh definisi yang sangat longgar dan samar terhadap HAM itu sendiri akhimya memang menjadikan HAM itu sebagai konsep yang sangat lentur untuk diarahkan ke berbagai konteks permasalahan.
Itulah sebabnya mengapa masalah konseptialisasi HAM juga merupakan salah satu masalah penting untuk didiskusikan lebih lanjut. Misalnya, apakah HAM itu memang benar-benar universal. Dengan kata lain, sampai dimanakah universalitas HAM itu sendiri. Bagaimanakah dengan pemahaman HAM dalam perspektif crosscultural understanding, bagaimana juga bila dikaitkan dengan partikulasi kelompok, ataujuga dengan wacana selfdetermination (hak menentukan diri sendiri). Takpelak , itu semuamenjadikan permasalahan HAM itu kian rumit, dia mengandung masalah, bukan hanya dalam aplikasinya, namun dalam wacananya sendiri masih memerlukan diskusi lebih lanjut. Karena alasan itulah, maka UNISIA pada edisi No. 44 ini dirasa penting untuk mengangkat isssu seputar penegakan serta pelanggaran HAM di Indonesia. Topik ini akan mencakup permasalahan-permasalahan di seputar, sejauh mana pelanggaran HAM di negara ini, bagaimanakah upaya-upaya penegakan HAM, termasuk didalam hal ini perangkat intemasional dan legal culture yang harus dibangun di kalangan rakyat, juga termasuk bagaimana konsep HAM berkembang (dikembangkan).Â
Published: July 27, 2016