SEBELUM era "reformasi" Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu yang sangat sakral. Karenanya walaupun dalam pasal 37 UUD 1945 tersebut memungkinkan untuk melakukan perubahan atas konstitusi tersebut, namun pasal itu seakan tabu untuk digunakan. Hasrat untuk mengubah UUD 1945 dapat digolongkan sebagai suatu usaha makar, subversif, dan sejenisnya. Oleh karena itu, nyaris tidak muncul gagasan mengubah UUD 1945 sampai gerakan reformasi muncul pada tahun 1998.
Era reformasi, dengan lembaga legislatif hasil pilihan yang demokratis, telah membalikkan semua. UUD 1945 tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tidak bisa diubah. Walaupun tetap diakui sebagian besar materi UUD 1945 tetap relevan, namun sebagian lagi dianggap perlu diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Semangat mengubah ini pula yang mengakibatkan dalam tempo singkat sudah empat kali di amandemen. Dalam proses ini berbagai kontroversi pun terjadi, yang melahirkan pemikiran yang puas maupun tidak puas.
Dalam konteks amandemen pasal-pasal yang terkait dengan lembaga eksekutif dan legislatif, disampaikan Dr.Saldi lsra berkesimpulan amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 belum optimal. Lembaga legislatif pasca amandemen dinilai belum akan mampu mewujudkan mekanisme cheks and balances dalam makna yang hakiki.
Dalam bidang ekonomi. Prof. Mubyarto menganggap amandemen pasal 33 UUD tersebut sebagai sesuatu yang dipaksakan. Secara tegas Mubyarto mengemukakan, perubahan pasal 33 UUD 1945 tidak sejalan dengan GBHN 7999-2004 dan TAP MPR No. XVI (1998). Terlebih lagi, amandemen ini menghilangkan kata "koperasi yang merupakan gerakan ekonomi rakyat dan bangun usaha yang sesuai dengan demokrasi ekonomi, dalam penjelasan UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dawam Rahardjo, perbedaan pandangan tentang pasal ekonomi ini sudah muncul sejak di Panitia Ad Hoc MPR yang sebelumnya juga diketuai oleh Prof. Mubyarto.
Memang, menurut Muntoha, dengan mempelajari secara komperhensif hasil amandemen UUD 1945, tidak berarti semuanya selesai. Temyata masih banyak permasalahan yang mendasar. Karena, suatu amandemen sejauh mungkin terhindar dari kepentingan politik yang sempit dan bemuansa jangka pendek. Padahal faktor seperti ini justru terjadi dalam proses amandemen UUD 1945.
Dalam edisi ini, Susi Dwi Harijanti, secara cukup dalam juga mengupas kelemahan fundamental UUD 1945, baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Menurutnya, walaupun amandemen sudah dilakukan, namun masih ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yakni bagaimana perubahan-perubahan tersebut memberikan pengaruh terhadap restrukturisasi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Melengkapi tulisan-tulisan tersebut, diturunkan pula tulisan dari Agus Triyanta yang melihat amandemen dari sisi agama; tulisan Saifudin mengenai tinjauan historis lahirnya UUD 1945, dan tulisan Jawahir Thontowi tentang urgensi undang-undang pelayanan publik.
Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan rencana pemutusan kontrak dengan IMF dan strategi yang harus ditempuh setelah lepas dari lembaga intemasional tersebut.
Published: July 20, 2016