Krisis dan Kekerasan

DALAM sejarah peradabannya, manusia tak pemah membuktikan dan membanggakan kemampuannya di segala bidang scperti abad ini. Salah satu diantaranya adalah bidang teknologi. Tidak pernah dalam sejarahnya teknologi mencapai ketinggian puncak prestasi seperti zaman ini pula. Dengan teknologi manusia pada hampir semua negara di zaman ini bisa berbuat apa saja terhadap alam dan lingkungan. Akan tetapi berbarengan dengan itu tidak pernah ada kata yang begitu menguasai perbendaharaan bahasa dalam kcbudayaan zaman ini dari pada kata krisis dan kekerasan.

Kata yang begitu mencemaskan dan menakutkan itu tidak menunjukkan lain daripada konstruksi manusia atas implikasi dari pemujaan teknologi, pengurasan energi, pengejaran pertumbuhan optimal dan konsumsi maksimal, sekaligus tumbuhnya suatu kesadaran bahwa manusia berada di simpang jalan menuju dua kemungkinan akan pilihan-pilihan yang menentukan hidup atau mati. Yang menjadi kecemasan tahap pertama dan menentukan kelanjutan hidup manusia sekarang ini adalah nafsu eksploitasi atas alam yang kian tak terkekang dan menimbulkan krisis-krisis besar pada berbagai aspek sumber daya, yang mulai menjadi bibit konflik-konflik kekerasan pada berbagai dimensi di berbagai kawasan.

Eksploitasi atas alam juga membuat keseimbangan alam dan lingkungan terganggu. Ia tak lagi dapat berfungsi normal sebagai penyejuk, penyeimbang dan tempat manusia merebahkan diri dengan aman dan nyaman. Ia justru telah menjadi faktor penting meningkatnya emosionalitas segenap penghuni jagad ini sehingga rosionalitas itu pula yang acap kali digunakan untuk merasionalisir keputusan-keputusan nafsu dan emosioruilitas lebih lanjut. Semua itu menunjukkan, bahwa pada saat manusia menepuk dari di puncak tcrtinggi keberhasilannya, di puncak yang sama juga manusia mengalami kegagalannya. Dan kegagalan tersebut adalah akibat langsung dari suatu kcberhasilan yang juga mcnjadi langkah pertama menuju bencana. itulah paradok, bahwa bencana yang muncul dan yang akan muncul bukan karena kelemahan akan tetapi karena kekuatan. Bencana yang timbul bukan karena kegagalan tetapi karena keberhasilan.

Sayang sekali, kata krisis dan kekerasan yang mencemaskan dan menakutkan itu menjadi terkesan tak mencemaskan dan tak menakutkan karena rasionalitas manusia modern amat canggih mereduksi problematika yang mengancam hidupnya sendiri, atau meminjam istilah Myrdal sangat tmggi kemampuan diplomasi terminologinya. Masalah lingkungan hidup seolah soal sampah, soal buangan industri, pencemaran alam yang karena itu adalah soal bagaimana memelihara dan melestarikan alam, seal penghijauan dan penghutanan kembali. Mereka lalu berbicara dan menganjurkan meta industrial village, mencari desa, kembali ke suasana desa di luar masyarakat industri, diseberang masyarakat industri dimana cinta dan kebersamaan masih berarti.

Itulah romantisme manusia zaman ini; tak beda jauh dengan romantisme Hitler ketika ia bicara cinta dan keindahan di saat ia menghancurkan kota-kota dan menghabiskan nyawa manusia. Galtung heran "mengapa orong-orong yang bertanggung jawab terhadap sistem sekarang lebih suka bicara tentang kekurangan sumber alam ketimbang struktur dari sistem itu. Lingkungan hidup kata Galtung bukan semata-mata sarana, tempat bagi kelangsungan hidup manusia, tetapi juga merupakan Lebenswelt, yaitu medan yang memungkinkan manusia berkarya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun kebudayaan.

Pembaca budiman! Mulai edisi ini dan seterusnya Unisia sedikit mengalami perubahan manajemen dan redaksional sebagai upaya kamu menjadikannya salah satu referensi penting para pembaca. Mudah-mudahan persiapan yang cukup lama menunda salah satu terbit ini dapat memenuhi harapan. Topik untuk edisi depan tentang Masa Depan Ekonomi Indonesia.

Terimakasih

Published: July 27, 2016