Diantara cita-cita terpenting dari setiap revolusi, restorasi ataupun reformasi adalah hancurnya sebuah sistem politik lama, untuk kemudian ditampilkan sebuah sistem yang baru, atau dengan bahasa lain, digusurnya sebuah sistem politik yang tidak melahirkan kecuali opressifitas, totaliterisme dan diktatorisme untuk kemudian dihadirkan sebuah sistem yang fair, transparan dan demokratis. Hal itu berarti, bahwa sistem bernegara yang telah lebih dari tiga dekade yang dipraktekkan oleh regim Orde Baru, adalah sebuah sistem yang sama sekali tidak popular, yang tidak aktual, yang jelas tak akan pernah menghasilkan kecuali sebuah negara yang penuh patologi negara, a-demokratik, unfair, eksploitatif, dan sederetan penyakit negara yang lain. Mutlak, konsep baru dalam bernegara harus dimunculkan untuk menggantikannya.

Maka lebih dari setengah abad, bukanlah sebuah masa yang singkat untuk mengantarkan negara menjadi sebuah negara berkembang dengan arah pembangunan yang jelas, sekalipun memang masa itu terlalu singkat untuk memenuhi ambisi melampaui tiga tahapan pendewasaan negara [konsolidasi suku, Industrialisasi dan tahapan menuju welfare society]. Artinya, bahwa negara ini seharusnya tidak boleh lagi membuang waktu terlalu panjang hanya "untuk menimba pengalaman". Cukup sudah pengalaman yang bisa diambil sebagai pelajaran, berbagai sistem bernegara dicobakan di negara ini untuk akhimya saat ini, bangsa Indonesia masih terpaksa harus menyatakan bahwa "sejarah adalah guru yang terbaik". Tidak lagi zamanya di mana para pemimpin negara ini melalukan trial and error secara spekulatif dalam mengendalikan negeri ini. Konsep bemegara yang dikehendaki haruslah jelas dan pasti.

Masa reformasi yang telah menyajikan terbukanya secara lebar pintu kebebasan berbicara dan beraspirasi [freddom of speech] dalam kehidupan politik, adalah moment yang sangat monumental bagi semua upaya penciptaan sistem bemegara yang lebih baik. Mutlak, untuk itu diperlukan optimalisasi peran politik rakyat dalam setiap kenegaraan. Maka, dalam era reformasi ini, bisalah dikatakan bahwa bangsa Indonesia telah berhasil meraih salah satu dari cita-cita terpentingnya, ialah kebebasan tersebut. Kondisi ini haruslah direspon sebagai suatu moment yang sangat berharga untuk secara intens dan terbuka mendiskusikan berbagai gagasan politik dan bemegara, tanpa harus mengkhawatiri sekat-sekat stabilitas yang memandulkan pemikiran dan memasung gagasan. Maka, dalam konteks semacam ini, perbincangan seputar bagaimana seharusnya negara ini ditata, menjadi suatu yang urgen dan krusial. Wawasan tentang Indonesia masa depan menjadi tuntutan untuk seawal mungkin di lntrodusir. Di sinilah sebenamya kontribusi terpenting yang harus diberikan bagi negara saat ini.

Konsep bernegera yang dikehendaki barangkali tidak semudah yang dibayangkan. Polarisasi kepentingan, hetrogenitas latar belakang budaya, dan kuatnya ikatan-ikatan primor dial dalam masyarakat Indonesia akan semakin mewajarkan adanya keragaman aspirasi bemegara. Diharapkan polarisasi pemikiran yang muncul akan menjadi suatu dialektika yang bisa terimbangi dengan budaya dialogis yang saat ini banyak dicoba-tumbuhkan. Sehingga akhimya, sintesa pemikiran akan terwujud dengan tanpa harus ada yang merasa terkalahkan. Sehingga konsep baru akan diterima dengan tanpa kecemburuan. Dalam konteks semacam inilah tema tentang "Visi Indonesia Baru" mendapatkan urgensinya. Karena pula,tema itu diangkat dalam Unisia edisi kali ini. Tema menarik selanjutnya yang akan diketengahkan oleh Unisia pada edisi mendatang adalah "SARA' 

Published: July 27, 2016