Volume XXX Nomor 64 Juni 2007

Upaya untuk mempertemukan konsep pemikiran dan aplikasi di lapangan selalu menjadi wacana yang digulirkan dalam setiap aktivitas dan program terutamanya dalam bidang sosial. Persoalan yang mendasar adalah, apakah sebuah gagasan produk pemikiran seseorang dapat direspon secara positif dan dapat menyelesaikan masalah, atau sebatiknya masalah-masalah yang muncul dapat terselesaikan dengan teori-teori yang digagas oleh pemikiran seseorang. Dua pertanyaan tersebut akan dijawab melalaui beberapa tulisan para pakar dibidangnya dijurnal UNISIA edisi 64 ini. 

Beberapa persoalan hukum yang mewarnai edisi ini di antaranya masalah refleksi putusan bebas kasus korupsi dan illegal logging dalam perspektif hak-hak asasi manusia yang ditulis oleh Rusli Muhammad menggambarkan dampak kasus konjpsi dam illegal logging dalam kehidupan masyarakat yang tidak ditopang peran penegak hukum dalam menegakan keadilan yang berdampak pada rapuhnya perlindungan hak asasi manusia, yang menumt M. Syamsudin bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma kejujuran, sosiai, agama dan hukum. Khusus kasus korupsi kelihatannya menjadi mata rantai yang sangat panjang karena berdampak pada citra bangsa Indonesia yang sangat paradok dengan mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam. Persoalan ini semakin menarik dikaji karena pada tulisan Muh. Nursalim mencoba mengkritisi tentang politik hukum dalam amandemen pasal 29UUD1945 telaah terhadap upaya penerapan Syari'ah Islam di Indonesia. Catalan Nursalim dalam konteks ini bahwa penerapan syari'ah Islam di Indonesia tetap bisa dilakukan dengan cara memperhatikan historitas pasal29 UUD 1945 ketika disusun. Melengkapi tema tersebut Ni'matul Huda mengealaborasi persoalan pelembagaan hukum Islam untuk masa depan bangsa Indonesia yang pluralistik. Di antara inti masalah ini adalah bahwa pelembagaan hukum Islam tidak sekedar mencari legitimasi legal formal, namun harus diarahkan pada seberapa banyak hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan. ketenteraman dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Masalah penting lainnya yang diusun dalam edisi ini adalah tentang agama, modernisasi dan teori kritis sebuah potret pertautan yang ditulis oleh Prihatanto. Di antara isi tema ini adalah bahwa melalui bantuan teori kritis, institusi agama beserta perangkat teologinya diharapkan tidak terasing dari pengalaman manusia modern. Teologi haruslah sesuatu komunikasi yang sedemikian rupa hingga masuk akal bagi para pendenganmya. Pandangan Prihatanto ini banyak dilhami dari pemikiran Jurgen Habermas yang banyak mengulas tentang wacana ilmu-ilmu sosiai dan kemanusiaan kontemporer. Sisi lain yang menarik dari tulisan Prihatanto adalah menyoroti tentang peranan teori kritis untuk ajaran moral dalam agama. Ajaran moral dalam setiap agama secara sederhana dapat dipahami sebagai dialog agama dengan modernitas. Ajaran moral dalam setiap agama kerap mempunyai pengaruh cukup besar, tetapi kerap juga mempunyai beberapa kelemahan.  

Tema tentang pengaruh pengeluaran pembangunan terhadap perekonomian kabupaten Majalengka yang diulas oleh Jaka Sriyana dan Fitri Rosyidah di antaranya menginformasikan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian daerah, diantaranya adalah pengeluaran pembangunan pemerintah dalam hal pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan ketersediaan sarana prasarana. Untuk ini maka hal yang perlu direkomendasikan adalah bahwa pemerintah daerah kabupaten Majalengka harus lebih meningkatkan lagi alokasi pengeluaran terhadap 3 (tiga) sektor Ini sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakatnya.

Persoalan kinerja suatu organisasi mengetengahkan sosok perguruan tinggi Universitas Islam Indonesia dari aspek kinerja layanan yang diukur dengan pendekatan Balanced Scorecard. Masalah yang diulas oleh Joko Susilo ini diantaranya telah memperoleh simpulan bahwa Universitas Islam Indonesia, dilihat dengan pendekatan tersebut secara umum sudah relative baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji statistik dan telaah literatur berupa laporan keuangan untuk perspektif keuangan yang menggambarkan bahwa dalam semua aspek Ull dapat dikatakan relatif baik. ditengah-tengah krisis pendidikan yang melanda DIY.

Melengkapi wawasan informasi global dalam tulisan ini juga mengetengahkan tentang persoalan deklarasi Doha (The Doha Declaration) dalam perspektifakses terhadap obat yang murah dan teijangkau: Sebuah pelengkap perjanjian Trips, yang ditulis oleh Tomi Suryo Utomo. Etika berbangsa dan bernegara melalui peran bahasa dalam kajian analisis ilmu Antropologi yang ditulis oleh Nugroho Trisnu Bratajuga menjadi rubrik panting untuk disimak. Bagipara pembaca yang berminat andil dalam mewarnai isi jurnal UNISIA dari redaksi membuka peluang untuk dapat mengisinya pada edisi ke 65, sudah barang tentu menyangkut tema-tema yang aktual.

 

Redaksi.

Published: July 27, 2016

No. 63
Tahun XXX Triwulan I 2007

Wajah Indonesia terutama pasca terjadinya gempa yang terjadi di berbagai wilayah bumi Nusantara ini telah menyisakan ragam persoalan baik dari aspek sosial, budaya, moril maupun materiil. Kalangan yang peduli dengan kondisi bangsa Indonesia memberikan berbagai komentar, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi terutama yang menyangkut upaya pemerintah dalam menangani berbagai problem. Sebagal bahan renungan sekaligus sebagai andil dalam merespon kondisi bangsa Indonesia, UNISIA edisi 63 ini akan menyuguhkan berbagai tulisan yang sebagian besar menyangkut persoalan recovery pasca terjadinya gempa, disamping masalah lain yang perlu diberi catatan.

Koentjoro dan Budi Andayani, pakar psikolog Universitas Gajah Mada mencoba mengulas tentang recovery kawasan bencana melalui kegiatan psikologi dan rohani. Dalam konteks ini kedua pakar psikolog tersebut menekankan bahwa sudah saatnya setelah Indonesia mengalami berbagai bencana, psikologi meningkatkan perannya dalam penanganan korban bencana. Peningkatan peran ini tidak hanya dan sisi tanggap dan metode pemberian bantuan. Ditinjau dari permasalahan yang dihadapi para korban psikologi perlu memantapkan pola baku tentang apa yang harus dilakukan. Pergerakan psikologi tidak dapat dilakukan secara awam sehingga perlu banyak persoalan. Disamping itu pergerakan psikologi tidak selalu efektif jika dilakukan dengan basis individual. Pendekatan kelompok masyarakat menjadi sangat penting mengingat dampak bencana tidak hanya dirasakan oleh beberapa orang saja melainkan oleh banyak anggota masyarakat. Psikologi, dengan pendekatan klinis dan sosial akan lebih efektif menuju recovery korban bencana.

Agam Marsoyo, anggota tim PSPPR-UGM memposisikan rumah inti untuk percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana bagi masyarakat pedesaan. Pembangunan dan pengembangan rumah inti pada dasarnya mudah dari sisi teknis. Namun bila pembangunan dan pengembangan rumah inti ini menyangkut situasi yang tidak normal misalnya pada situasi pasca bencana yang obyeknya massal, tersebar di berbagai lokasi, dengan ekonomi masyarakat yang minim, maka satu-satunya yang masih bisa diandalkan adalah modal sosial (social capital) masyarakatnya apalagi di kawasan pedesaan.

Studi yang dilakukan atas peran media dikawasan bencana menemukan dua persoalan serius. Pertama, potensi konflik institusional yang tajam antara kepentingan untuk melakukan advokasi melalui berita-berita yang kritis dengan kepentingan melakukan promosi peran sosial media sebagai institusi komersial. Dalam terminologi akademik, terjadi konflik antara model Corporate Social Responsibility (GSR) dengan News Social Responsibiliy (NSR). Dominannya berita ceremonial penyerahan bantuan bencana yang melibatkan media sebagai distributor menyebabkan tersingkimya ruang bagi berita yang secara kritis menyingkap buruknya manajemen distribusi bantuan. Pada iklim yang liberalistik, peran-peran tersebut saling tumpang tindih karena kontrol atas pilihan peran media berada penuh pada pundak pemilik. Tumpang tindihnya peran terutama dimotivasi oleh hasrat komersial yang berlebihan untuk mengeksploitasi bencana sebagai kisah satir yang menghibur setiap saat. Aksi sosial yang dilakukan media lokal di Yogya seperti "serangan fajar" efektif menempatkan media sebagai agen penyalur bantuan tetapi menyimpan potensi krisis kredibilitas bagi media yang bersangkutan. Krisis ini dapat berupa kaburnya persepsi masyarakat tentang peran media sebagai sarana kontrol sosial melalaui produk berita atau dapat berupa krisis kepercayaan akibat minimnya transparansi dana penyaluran bantuan yang disalurkan masyarakat melalui media dan oleh adanya sikap diskriminatif media ketika memilih lokasi atau korban yang berhak mendapat penyaluran.

Melengkapi informasi berbagai masalah yang dapat dijadikan acuan dalam upaya merespon kondisi wajah Indonesia berbagai tema panting lain mewarnai edisi 63 ini. Tema yang diusung oleh J.K. Prihatanto tentang agama, modemisasi dan teori kritis (sebuah potret pertautan) yang pada intinya memberikan kejelasan bahwa institusi agama dengan perangkat teologi yang hanya berusaha merumuskan kembali secara metodis dan sistematis rumusan dari tradisi, khususnya kitab suci tidak memenuhi syarat ilmiah zaman sekarang. Teologi memang perlu merumuskan kembali tradisi dalam rumusan yang sesuai dengan bahasa orang sezamannya. Teologi juga perlu melakukan interdisiplineritas dengan ilmu lain. Tema-tema lain yang tidak kalah pentingnya untuk disimak adalah itentang tradisi paradigma ilmu dan hukum dalam konteks perkembangan hukum Indonesia; Penipuan dengan menggunakan telepon seluler ditinjau dari KUHP; Tuntutan akuntabilitas masyarakat terhadap pemerintah atas pajak dan retribusi dan tema tentang merekonstruksi epistemologi Ibrahim.    

Published: July 21, 2016

No. 61
Tahun XXIX Triwulan III 2006

Istilah kekerasan yang menjadi simbol ketegangan perilaku manusia dilatarbelakangi berbagai motif seperti, motif agama, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Hanya saja motif agama tampaknya menjadi variabel yang cukup dominan yang mendorong terjadinya tindak kekerasan, bahkan secara fulgar islam selalu menjadi tumpuan untuk menuding penyebab timbulnya aksi kekerasan, atau bahkan terkadang islam selalu disamakan dengan kekerasan. Hal ini seperti yang dikritisi oleh Sembodo Ardi Widodo dalam tulisannya tentang "Menelusuri JeJak-jeJak kekerasan dalam islam". Alasan utama mengapa islam dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan adalah karena islam berorientasi pada aksi, yang mendesak penganutnya untuk bertindak melawan ketidakadilan. Untuk menetralisir penerapan istilah kekerasan yang banyak dihubungkan dengan aksi penganut agama islam harus dikembalikan kepada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, di samping prinsip keadilan juga ada prinsip-prinsip lain seperti, prinsip persamaan, kemajemukan, kemerdekaan, dan prinsip musyawarah yang secara akumulatif menjadi pertimbangan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Secara detail masalah ini telah dijabarkan oleh Amir Mu'allim dalam mempersoalkan "Relasi Agama dan Kekerasan". Suparman Marzuki dengan mengutip pendapat Smelser mengatakan bahwa pada umumnya, kekerasan terjadi karena diawali oleh rasa kebencian terhadap struktur atau sistem yang seharusnya bertanggung jawab atas suatu keadaan yang tidak diinginkan. Di balik kekerasan itu, sebenarnya secara implisit termuat tuntutan agar nilai-nilai-atau norma-norma itu sangat berkait erat dengan norma-norma politik, ekonomi dan hukum yang dituntut lebih terbuka, demokratis, adil dan mengandung kepastian. Kompleksnya persoalan kekerasan baik dari segi pemaknaan dan penerapannya beberapa hal terkait dengan tema inti edisi 61 UNISIA tentang "Budaya kekerasan" perlu disimak juga pemikiran Rusli Muhammad yang mencoba mengkritisi aparat hukum dan pembenaran kekerasan. Dalam konteks ini ada dua bentuk kekerasan yang dilakukan lieh aparat yaitu kekerasan yang bersifat kolektif yang dilakukan oleh aparat hukum secara bersama-sama dalam menghadapi suatu peristiwa demonstrasi yang terorganisir dan menjurus perbuatan anarkis, dan kekerasan Individual yang dilakukan oleh aparat terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan. Pemikiran Bukhory Muh Sukemi yang membedah persoalan partisipasi politik dan perilaku kekerasan di Indonesia tinjauan psikologi politik perlu disimak secara kritis. Untuk mendukung akurasi telah terjadinya kekerasan dalam prakteknya dilapangan, Soemadi M. Wonohito memaparkan tentang kekerasan dalam media massa dan makna pers Pancasila, demikian halnya persoalan birokrasi pemicu tindakan kekerasan petugas di pelabuhan Indonesia yang ditulis oleh Eifrida Gultom. Setelah membaca berbagai persoalan yang dituangkan dalam edisi 61 ini dan pembaca ingin menyumbangkan pemikirannya dalam jumal UNiSIA, pada edisi 62 akan mengulas tentang (Evaluasi terhadap Sewindu Reformasi) yang terkaitan dengan bidang ekonomi, hukum, social politik, social keagamaan, sosial budaya,Hankam dan bidang pendidikan.

Published: July 19, 2016

No. 60
Tahun XXIX Triwulan II 2006

Maraknya lembaga pendidikan di Indonesia disatu sisi mempunyai makna yang positif dan disisi lain mempunyai makna yang negatif. Sisi positifnya dengan maraknya pendidikan memunculkan kompetisi yang antara satu dengan yang lain saling mencari dan mengisi keunggulan masing-masing untuk menarik kepercayaan pengguna jasa pendidikan. Sisi negatifnya dengan maraknya lembaga pendidikan mengakibatkan beberapa lembaga pendidikan sulit untuk berlahan hidup dikarenakan tidak bisa mengikuti arus kompetisi, terutama lembaga-lembaga pendidikan swasta. Kondisi seperti ini diperkuat dengan maraknya lembaga-lembaga pendidikan asing yang masuk ke Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya tarik ulur antara yang pro dan yang kontra tentang liberisasi pendidikan dalam konteks globalisasi yang secara detail, dalam tulisan ini dikritisi oleh Muhammad Idrus. Untuk menghindari kesimpangsiuran tentang makna dan penerapan istilah liberal Siswanto Masruri telah memaparkan dalam tulisan ini tentang paradigma liberal dalam pendidikan global. Salah satu stigma yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah agar tidak tertinggal para pelaku pendidikan sebaiknya menerapkan proses desentralisasi atau otonomi, mengedepankan inovasi dan inisiatif-inisiatif strategis. Globalisasi pendidikan yang sudah menggeliat harus disikapi secara cermat. Persoalan inilah yang menjadi topik penting yang ditulis oleh Jaka Winarno. Diantara tawarannya adalah untuk menyikapi terhadap liberalisasi pendidikan pemerintah harus menyiapkan kebijakan-kebijakan yang cerdas, strategis dan antisipatif menghadapi gelombang globalisasi yang juga akan menyentuh pendidikan tinggi. Dengan demikian nilai-nilai negatif dan arus globalisasi itu dapat ditepis, dan sebaliknya menyerap nilai-nilai positifnya sehingga pertanyaan yang ditawarkan Awan S. Dewanta tentang apakah liberalisasi pendidikan tinggi meminggirkan perguruan tinggi nasional? kiranya dapat terjawab. Dengan kalimat sederhana tetapi mengandung makna yang komprehensip bahwa menghadapi liberalisasi pendidikan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak berakibat buruk bagi lembaga pendidikan nasional. Oleh karena itu M. Suyanto menawarkan strategi bersaing terutama bagi perguruan tinggi dalam menghadapi liberalisasi. Di antara yang ditawarkan adalah blue ocean strategy (strategi samudera biru). Strategi ini memiliki tiga kualitas yang saling melengkapi yaitu fokus, gerak menjauh (difergensi) dan moto utama. Ide dan komentar tentang masalah globalisasi dan liberalisasi dalarn pendidikan yang menjadi kajian utama dalam edisi 60 ini dilengkapi dengan tulisan lain ysng menyoroti tentang pesantren dan perguruan tinggi Agama Islam menghadapi liberalisasi pendidikan oleh Ainurrafiq Dawam dan masalah kearifan lokal perguruan tinggi menghadapi liberalisasi pendidikan yang ditulis oleh Djohar dan Merry Zudianto. Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi menyumbangkan tulisan di jumal UNISIA, pada edisi 61 akan mengulas tentang "Budaya Kekerasan".

No. 59
Tahun XXIX Triwulan I 2006

Masalah keterpaduan sektor formal dan Informal merupakan salah satu masalah yang banyak dihadapi negara-negara di dunia ketiga. Kedua sector yang sebetulnya bisa berjalan saling seiring dan saling menguatkan ini,ternyata lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Dengan berbagai ketebihan dan fasititas yang dimilikinya, sector format berkembang sangat cepat, khususnya dari sisi output. Di sisi lain, sektor informal dan sisi kuantitas pelakunya berkembang cepat, namun dari sisi output sangat lambat. Sektor informal ini antara lain dicirikan dengan unit usaha kecil, modal terbatas, kurang tersentuh kebijakan pemerintah yang mendukungnya, dan sebagainya. Perkembangan demikian telah memunculkan banyak masalah, termasuk kesenjangan antara kedua sektor tersebut. Sektor informal juga sering dianggap sebagai sector bermasalah karena sector ini tidak terdaftar, dianggap usaha ilegal yang tidak membayar pajak sehingga sector ini dianggap tidak dalam berkompetisi dengan usaha lain yang membayar pajak dengan patuh (Liosa, 1989).Namun pandangan seperti ini banyak ditolak, seperti yang ditulis oleh De Solo (1989). Bahkan dalam kasus Indonesia, sektor ini dianggap sebagai katup pengaman dalam menyerap tenaga kerja. Sulitnya masuk ke sector formal memang merupakan salah satu pendorong berkembangnya sektor informal ini. Masalah ini sangat terasa didaerah-daerah perkotaan. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan aktivitas perekonomian secara langsung. Melainkan juga dengan masalah-masalah yang terkait lainnya, seperti persoalan transportasi, tatakota, kebersihan lingkungan, dan sebagainya. Jadi,dibalik masalah-masalah yang muncul dari sektor informal tersebut, sektor ini juga membantu memecahkan masalah riil yang dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, sector ini perlu mendapat perhatian yang serius. Dengan pemikiran demikianlah, UNISIA edisi ini mengangkat topik yang berkaitan dengan "Keterpaduan Sektor Formal dan Informal Perkotaan". Dalam edisi ini berbagai aspek disorot yang terkait dengan masalah sector formal, sector informal, dan persoalan-persoalan perkotaan lainnya.

Published: February 19, 2010

No. 58
Tahun XXVIII Triwulan IV 2005

Posisi agama dalam konteks keindonesiaan menjadi sangat penting dalam rangka membangun keutuhan bangsa. Filosofi munculnya Pancasila yang merupakan dasar negara Republik Indonesia memiliki akar kuat keterlibatan agama dalam membangun ideologi bangsa yang sarat dengan norma dan etika. Oleh karena itu, dalam tataran praktis orientasi program dan seluruh jaringan pemikiran bangsa Indonesia harus bertumpu pada penegakan nilai-nilai agama dan moral agar cita-dta luhur bangsa Indonesia dapat terwujud.

Mencermati perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang sudah mencapai lebih dari setengah abad kelihatannya belum menunjukkan titik terang arah dan sasaran yang dicapai. Ini terbukti banyaknya berbagai ketimpangan baik dalam bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, keamanan, dan Iain-Iain yang bermuara pada ketidakmampuan menerjemahkan pesan-pesan agama secara aplikatif.

Dalam kaitan inilah UNISIA terbitan nomor 58 memaparkan berbagai hal sebagai tawaran altematif solusi dengan tema-tema seperti pendidikan multikulturalisme dan budaya bangsa sebagai upaya menguhah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman, perbedaan, toleran dan sikap keterbukaan. Stigma ini diperkuat dengan pemaparan tema tentang membangun konsep pendidikan dalam era multikultural. Masalah penerimaan pluralitas agama sebagai syarat kemungkinan etika politik sangat penting untuk disimak karena nilai-nilai dan norma-norma seharusnya menjadi disposisi yang tertanam dalam kepribadian seseorang sebagai ketrampilan dalam tindakan praktis. Tema menuju etika ekonomi dalam perspektif Islam penting untuk dipahami karena etika bukan monopoli sebuah agama atau keyakinan tertentu, tetapi yang pasti, bahwa Islam sangat dekat dan berintegrasi dengan etika. Agama dan teologi perlawanan terhadap korupsi tidak kalah pentingnya untuk dicermati, karena korupsi berkaitan erat dengan pemahaman dan pengamalan agama sekaligus sebagai kunci tegaknya moralitas bangsa. Demikian pula tema Islam, etika hukum dan legal culture menjadi sangat urgen untuk dibahas karena persoalan ini merupakan perangkat kuat dalam memberantas praktik-praktik korupsi sekaligus untuk memberikan kontribusi moral dan etiknya dalam sistem pendidikan bangsa secara umum dan khususnya dalam pembinaan integritas kepribadian aparat penegak hukum di Indonesia.

Untuk memperkaya wawasan tema-tema penting lainnya juga dibahas dalam edisi ini seperti agama dan resolusi konflik daiam Pilkada. Persoalan ini penting dibahas karena Pilkada menjadi tolok ukur penerapan politik praktis dalam menyoroti proses pemilihan yang damai dan demokratis dengan visi kemanusiaan yang dibangun oleh para politisi. Dalam kaitan ini juga, para juru dakwah dari semua agama perlu merevitalisasi dan mensosialisasikan teks-teks keagamaan yang manganjurkan pentingnya etika berpolitik dan pendekatan nir kekerasan dalam aktivitas politik praktis. Posisi netral dari agama sangat dimungkinkan untuk bisa diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk ikut membantu melakukan resolusi konflik. Tema-tema lain seperti wasiat sebagai instrumenperubahan hukum keluarga di Indonesia, Lingkungan hidup dalam perspektif fikih dan tema ilmu lingkungan sebagai jembatan penerapan tuntunan Qur'an dan Sunnah menjadi penguat dalam pembahasan agama dan teologi populis transformatif.  

Published: November 19, 2010

No. 57
Tahun XXVIII Triwulan III 2005

Hampir lima tahun Mahkamah Intemasional menjatuhkan putusannya terhadap sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai pulau Ligitan dan Simpadan. Dalam putusan tersebut Mahkamah Intemasional memenangkan pihak Negara Malaysia.

Berawal dari masalah tersebut, seakan-akan Negara Indonesia tidak mampu berdiplomasi dengan dunia Intemasional, bahkan Indonesia dianggap tidak mampu mengelola pulau yang telah dimilikinya. terbukti dua pulau yang jatuh ke tangan Negara lain. Di lain pihak ada yang mengatakan bahwa jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia sangat merosot, disebabkan manajemen Negara sangat jelek, untuk itu dengan peristiwa tersebut diatas agar tidak terulang lagi maka Indonesia harus secepatnya merubah sistem dalam mengelola Negara.

Jiwa Nasionalisme bagi rakyat Indonesia sekarang ini harus dibangkitkan, karena hanya semangat nasionalisme itu yang bisa untuk menyatukan rakyat dalam suatu golongan dan bangsa untuk lepas dari ikatan segala bentuk intervensi dari luar. Contohnya Indonesia yang berjuang dengan menggunakan tali pengikat paham nasionalisme untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun dan penjajahan Jepang selama tiga tahun lebih berhasil dengan gemilang.

Walaupun kata-kata atau tulisan nasional atau bangsa telah dipakai oleh partai-partai yang ada, namun kenyataannya itu hanya slogan untuk menarik simpati hati rakyat, tetapi hakekatnya yang mempunyai jiwa nasionalisme sangat kecil jumlahnya. Nasionalisme yang mumi adalah, jiwa yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang unggul dibanding dengan Negara lain, seperti dalam bidang teknologi kita harus unggul, nyatanya belum, di bidang kesejahteraan rakyat kita masih miskin, untuk tingkat korups ikita menempati peringkat atas, itu berarti jiwa nasionalismenya bangsa Indonesia sangat merosot dibandingkan dengan zaman dulu.

Dalam edisi kali ini UNISIA mengangkat topik: Manajemen Negara dan Nasionalisme, dengan tujuan menghimpun pemikiran-pemikiran dari para pakar atau ilmuwan, dengan harapan nantinya bisa disumbangkan kepada pengelola Negara dalam rangka memperbaiki manajemen negara dan meningkatkan kwalitas bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya terhadap negara-negara lain. Untuk lebih jelasnya, pembaca bisa membaca pikiran-pikiran yang beragam dalam edisi ini, seperti Prof. Azyumardi Azra memandang dari segi pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk masyarakat Indonesia mempunyai jiwa komitmen terhadap jiwa nasionalisme yang akan memainkan peran penting dalam pembentukan demokrasi yang genuine dan otentik. Dr.M.Suparmoko memandang dari pertumbuhan ekonomi, yaitu apabila pendapatannya rendah dikatakan bahwa Negara tersebut masih terbelakang atau sedang berkembang. Dr.Abd.A'la memandang dari carut-marutnya politik tentang pengembangan teologi politik substantivistik, yaitu politik yang melaju sampai batas tertentu telah terperangkap dalam sejumlah persoalan yang cukup serius, menguatnya politik kekuasaan yang berjalan searah dengan memudamya etika-moral dalam berpolitik merupakan salah satu persoalan yang sedang menghadang dunia politik Indonesia dalam kekinian.

Sedangkan Dr. Jawahir Thontowi memandang dari segi hukum,yaitu bagaimana peran Negara melalui unifikasi hukum diharapkan adanya suatu model penerapan hukum yang efisien dan efektif sehingga kesadaran hukum masyarakat dapat terbentuk secara seragam, Dr. Suparwoko menyoroti dari segi ekonomi dan pariwisata,yaitu dengan adanya bencana secara ekonomi dan wisata memberi gambaran yang negatif, Dr.Rahmat memandang dari segi nasionalisme sumber daya manusia wirausaha dalam pembangunan bangsa, ada beberapa tulisan yang tidak bisa kami paparkan disini, seperti Pudak Nayati, Gunawan Widi Santosa dan Iain-Iain. Mudah-mudahan tulisan-tulisan tersebut bisa memancing para pembaca untuk ikut memikirkan kondisi bangsa Indonesia dalam rangka menuju kesejahteraan dan keadilan.

Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan Agama dan Teologi Populis Transformatif.  

Published: July 21, 2016

No. 56
XXVIII Triwulan II 2005

Bencana gempa dan tsunami yang melanda sebagian Wilayah Aceh telah mengakibatkan dampak yang sangat besar yang melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik di wllayah-wilayah yang terkena secara langsung maupun yang menerima dampak tidak langsung dari bencana tersebut. Ratusan ribu jiwa telah menjadi korban dan ratusan ribu lainnya harus berjuang mengatasi rasa kehilangan keluarga dan material, sekaligus mulai berpikir untuk melanjutkan kehidupannya.

Musibah alam mempakan fenomena yang tidak pemah bisa kita duga kapan akan datang, kematianpun bagi manusia adalah sebuah takdir. Namun, tanpa bermaksud melawan takdir, dalam musibah kali ini rasanya kita tidak bisa lagi hanya menyalahkan kepada takdir, musibah yang terjadi di sebagian wilayah di Indonesia itu mumi akibat kesalah kita, keteledoran kita dalam mengelola alam ini. Musibah banjir bandang, tidak akan terjadi kalau tidak ada pembabatan hutan di kawasan hutan gunung Leuser. Ribuan kayu bulat yang ikut hanyut dalam banjir bandang menunjukkan adanya pemotongan pohon yang tidak terkendali di puncak gunung.

Kalau kita mencoba melihat kembali ke belakang, ada sebuah peristiwa ironis pemah diangkat disurat kabar pada bulan mei 2001 berkaitan dengan kawasan ekosistem Leuser (KEL). Ketika itu, Inspektur Wilayah I Tim Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan hendak melakukan pemeriksaan lapangan berkaitan dengan laporan maraknya penebangan liar di kawasan hutan itu. Apa yang kemudian terjadi? Tim tersebut disandera oleh masyarakat. Pemimpinnya, Herman Apipudin, dipaksa membuat pemyataan di atas kertas bermetrai, yang isinya tidak melarang masyarakat menebang kayu selama tapal batas KEL belum jelas di lapangan.

Buah dari tingkah laku kita itulah yang harus dibayar dengan musibah yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia ini, karena daya dukung lingkungan tidak mampu lagi menahan ketika bencana itu datang. Ada pandangan yang melihat musibah hanya sebagai takdir. Sebab, itu hanya akan membuat kita pasrah menerima keadaan, tanpa kita mau berbuat sesuatu untuk menghindarkan terjadinya musibah. Padahal, jelas musibah alam yang terjadi ini bukan semata-mata karena takdir. Ini merupakan akibat dari ulah kita untuk tidak mau lagi bersahabat dengan alam.

Pandangan yang berbeda juga muncul dari tulisan-tulisan dalam UNISIA edisi ini. Tinjauan dari berbagai aspek, seperti Haidar Bagir memandang dari segi teologi bahwa, bencana ini sesungguhnya peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan manusia itu sendiri. Sedangkan Musa Asy’arie memandang dari sudut pemulihan ekomi kerakyatan, yaitu dengan fokus pada peningkatan sumber daya manusianya. Sarwidi memandang dari segi pencegahan bencana dengan menerapkan manajemen bencana yang bersiklus. Sedangkan Rokhedi memandang, jumlah bantuan tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangkan dan pemberdayaan microfinance, M. Idrus dan Fuad Nashori lebih memandang dari segi psikologis, Agus Triyanta dan Rahmani Timorita menyoroti dari pandangan Agama dan Teologi. Sedangkan Khoiruddin Nasution agak berbeda, yaitu tentang hak-hak wanita. Ifdhal kasim membicarakan dari dampak bencana dan persoalan Agraria terhadap pasca bencana.

Dengan memperhatikan pandangan-pandangan penulis di atas, itu menunjukkan keragaman cara menyikapi peristiwa bencana alam yang terjadi, mudah-mudahan dengan keragaman tersebut ada manfaatnya.

Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan Manajemen Negara dan Nasionalisme.*  

Published: July 21, 2016

No 55/XXVIII/I/2005

Harapan besar muncul di benak rakyat ketika pemerintahan baru, yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla, mulai bekerja tanggal pertengahan Oktober 2004. Ini merupakan suatu babak baru dalam sejarah Indonesia, karena kedua pemimpin tersebut dipilih langsung oleh rakyat. Berbagai janji dan komitmen pun dibuat oleh kedua pemimpin tersebut, yang menumbuhkan harapan besar akan perubahan dan perbaikan daiam kehidupan masyarakat. Janji akan pembentukan pemerintahan yang bersih. Komitmen untuk penegakan hukum. Tekad untuk memperbaiki perekonomian masyarakat. Janji mengurangi kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja dan sebagainya. 

Masyarakat menanti dengan sangat upaya-upaya yang akan dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK tersebut. Namun demikian setelah beberapa buian berjalan, sebagian masyarakat dan pengamat ternyata mengalami kekecewaan. Berbagai evaluasi menunjukkan bahwa belum banyak yang diperbuat oleh pemerintahan baru ini dalam upaya mewujudkan berbagai janjinya tersebut. Waktu 100 hari yang dijadikan titik toiak awal evaluasi menuai banyak kekecewaan. Menanggapi kekecewaan tersebut Presiden SBY menyatakan tidak terlalu gusar dan peduli. Sebab, pemerintahnya baru berjalan sangat pendek.

Memang adalah tidak mungkin bagi pemerintah untuk mewujudkan berbagai janji poliriknya tersebut. Namun masyarakat pun tentu cerdas untuk melihat tanda-tanda atau gejala yang ada. Jika dalam bulan-buian awal tidak banyak yang diperbuat, koordinasi masih lemah, penegakan hukum tidak banyak berubah, dan pejabat pun sering berebut pengaruh, maka wajar jika sebagian masyarakat khawatir. Dan seharusnya mi menjadi perhatian serius bagi pemerintahan yang mendapat mandat langsung dari rakyat ini.

Pandangan yang skeptis juga muncul dari tulisan-tulisan dalam UNISIA edisi ini. Tinjauan dari berbagai aspek, seperti Mudradjad Kuncoro, Bambang Cipto, Suparman Marzuki, Masduki, dan lain-iainnya banyak menyoroti kinerja awal pemerintahan baru ini. Tentu saja ini tidak dimaksud untuk menggagalkan apa yang sudah diprogramkan dan dicanangkan pemerintahan tersebut, melainkan untuk menggugah agar bisa mengoreksi kebijakan yang menyimpang sehingga kembali ke right track.

Apa yang dijanjikan oleh SBY-JK memang bukan pekerjaan yang mudah. Misalnya dalam bidang ekonomi, sebagaimana dapat dibaca dalam dokumen politiknya berjudul "Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera", yang berisi visl misi, dan programnya. Dalam dokumen yang selalu disampaikan pada saat kampanye tersebut, secara eksplisit memuat berbagai target-target pembangunan bidang ekonomi, dan semuanya adalah sersaran untuk lima tahun ke depan. Misalnya: target pertumbuhan ekonomi tahun 2009 adalah 7,6%: angka pengangguran terbuka menurun dari 10,1% pada tahun 2003 menjadi 5,1% tahun 2009; pendapatan per kapita naik dari 968 dollar pada tahun 2003 menjadi 1731 dollar tahun 2009. Tingkat kemiskinan pun ditargetkan hanya tinggal 8,2% tahun 2009, dibanding 17,4% tahun 2003. Dan sebagainya.

Dengan menyimak contoh-contoh ini, maka dapat dipahami kalau pemerintahan sekarang harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkan rencana pembangunannya. Evaluasi yang diberikan dalam tulisan-tulisan pada edisi ini diharapkan menjadi sumbang saran bagi pewujudan rencana tersebut.

Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan bencana alam dan kemanusiaan. 

Published: July 27, 2016

No 54/XXVII/IV/2004

"Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Demikian kata pepatah yang melukiskan bahwa makhluk itu akan dikenang dengan peninggalannya yang spesifik dan bermakna. Demikian pula manusia yang meninggal dunia, mewariskan sesuatu yang bermanfaat bagi umatnya, yang diantaranya berupa ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga ditinggalkan oleh almarhum Prof. Dr. Ace Partadiredja, MA, yang meninggai tanggal 6 Desember 2002.

Salah satu pemikiran cemerlang yang terus menjadi kajian yang ditinggalkan oleh mantan Rektor UII adalah ajakannya untuk mengembangkan pemikiran mengenai ekonomika etik: Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar di UGM tahun 1981 yang berjudul "Ekonomika Etik" ia mendambakan lahirnya ilmu ekonomi (ekonomika) yang tidak serakah dengan terlalu mementingkan alam benda. Dari sini tercermin mengenai perlunya "koreksi" manusia yang "homo ekonomikus".

Prof. Ace juga sangat perhatian dengan pengembangan Pemikiran dan implementasi etika dalam sistem perekonomian. Bagi bangsa Indonesia, Prof. Dr. Ace merupakan salah seorang dari ahli ekonomi yang sangat memperhatikan pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan bidang pertanian. Di samping itu, dalam setiap pemikirannya selalu menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya lokal. Dalam kapasitasnya tersebut, Prof Dr. Ace telah mengaktualisasikan pemikirannya dalam bentuk buku dan sekarang masih dijadikan referensi oleh kalangan akademisi.

Selama hidupnya, Prof Dr. Ace Partadiredja dikenal sebagai sosok tokoh yang akademis sekaligus religius. Sisiakademisi Prof Dr. Ace tercermin dalam berbagai bentuk pemikirannya yang mampu mewarnai perkembangan pemikiran ekonomi di Indonesia. Sebagai sosok yang religius, Prof Ace memiliki komitmen perjuangan melalui dedikasinya pada lembaga-lembaga yang mengembangkan dan mengimplementasikan konsep-konsep Islami.

Berdasarkan berbagai pemikiran itulah UNISIA, dengan didukung Rektorat Ull dan Program Magsiter Manajemen UII mengadakan seminar dengan tema In Memoriam Prof. Ace Partadiredja: Membangun Ekonomi Pertanian dan Ekonomi Kelembagaan Indonesia. Makalah dari seminar tersebut,  ditambah beberapa penulis lainnya, dipublikasikan dalam UNISIA No. 54 ini.

Tulisan berasal dari kolega almarhum di UGM, Perhepi, Departemen Pertanian, di samping juga asisten dan muridnya yang kini bekerja di berbagai instansi. Nama-nama seperti Prof Mubyarto, Prof Sayogyo, Dr. Hidayat Nataatmadja, ataupun muridnya yang menjadi "birokrat" Dr. Noer Soetrisno, termasuk yang memberi kontribusi pada terbitan kali ini.

Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang ada dapat lebih memperkaya wacana diskusi dan juga implementasi mengenai ekonomika etik. Dan bagi pembaca yang ingin berkontribusi dalam terbitan mendatang, redaksi menerima tulisan dengan tema "Agenda Aksi Pemerintahan Baru: Evaluasi Awal dan Harapan Rakyat" Selamat membaca.

Published: July 27, 2016

No 53/XXVII/III/2004

Gerakan Boedi Oetomo tahun 1908 menandai kebangkitan nasional Indonesia. Gerakan itu muncul pada saat Indonesia masih sebagai bangsa terjajah. Gerakan ini tentu saja memberikan kontribusi besar terwujudnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemudian disusul dengan kemerdekaan Indonesia 11 tahun kemudian. Semua itu menandai terjadinya kebangkitan bangsa Indonesia untuk mewujudkan hari depan yang lebih baik.

Sekarang sudah hampir l00 tahun sejak Boedi Oetomo muncul dari tangan figur-figur intelektual yang jumlahnya sangat langka waktu itu. Apakah sekarang cita-cita itu sudah mewujud? Apakah Indonesia sudah mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju di dunia? Apakah Indonesia sudah betul-betul menjadi bangsa mandiri? Apakah kita sudah puas dengan posisi Indonesia seperti sekarang?

Secara jujur harus dijawab bahwa sudah banyak kemajuan negeri ini dibanding seratus tahun. lima puluh tahun, atau dua puluh lima tahun yang lalu. Namun demikian harus jujur pula bahwa cita-cita tokoh pergerakan ataupun pendiri negeri ini belum semuanya mewujud. Kita masih tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga yang gerakan kebangsaanya muncul belakangan. Indonesia mengalami jatuh bangun, dan sekarang ini mengalami keterpurukan di banyak sisi.

Banyak persoalan mendasar dihadapi Bangsa Indonesia kini dan mendatang. Persoalan disekitar hukum masih banyak yang menggantung; pelanggaran HAM, ekonomi, pendidikan, peluang kerja, KKN, konflik horizontal dan vertikal, kejahatan dan kekerasan yang terus menggejala, kondisi psikologis bangsa yang kian rapuh, serta menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat masih menuntut perhatian ekstra dan para pemimpin.

Dalam kondisi seperti ini pula kita memulai era baru pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Namun demikian sayangnya baik pada pemilihan presiden tahap I maupun tahap II para kandidat presiden dan wakil presiden belum secara operasional menawarkan format baru pemerintahan dan rancangan program yang akan mereka buat, yang dapat memberi solusi terbaik bagi "penyembuhan" Indonesia yang lama sakit. Tentunya penyembuhan tersebut bukan hanya pada sisi fisik semata, tetapi juga secara psikologis yang dapat menentramkan masyarakat.

Keterpurukan Indonesia dalam banyak sisi menjadikan negara ini selalu tergantung pada kuasa negara lain. Pada ujung-ujungnya, masyarakat bangsa Indonesia akan kehilangan harga diri di mata dunia. Rekonstruksi bahkan format ulang pada banyak sisi tampaknya menjadi agenda yang harus dikedepankan para pemimpin terpilih nanti.

Dalam kaitan inilah UNISIA kali ini mengangkat tema tentang Merekonstruksi Kebangkitan Indonesia. Untuk itu pembaca bisa mengikuti pikiran-pikiran yang terkait dengan tema tersebut, antara lain dari Prof. Satjipto Rahardjo, Prof. Dawam Rahardjo, Prof. Mas'ud Machfudz, Prof. Machasin, Prof Mastuhu, Prof. Asip Hadi Pranata, Dr. Rusli Muhammad, dan lain-lain. Mudah-mudahan tulisan-tulisan tersebut bisa memancing diskusi lebih lanjut sehingga nantinya dapat menghasilkan format pikiran kongkret untuk membangun Indonesia ke depan.

Published: July 27, 2016

No. 52
Tahun XXVII Triwulan II 2004

Pemilihan Umum anggota legislatif sudah berlalu. Ketika tulisan ini dibuat, masyarakat Indonesia sedang sibuk mempersiapkan dan membicarakan tentang pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Para kandidat Presiden/Wakil Presiden pun sibuk mempersiapkan langkah-langkah dan menggalang kekuatannya untuk memenangi pemilihan tersebut.

Para kandidat Presiden/Wakil Presiden tentulah paling tidak harapan publik adalah orang pilihan, dan merupakan orang terbaik di negeri ini. Mengapa harus orang pilihan dan terbaik? Hal ini tidak lain karena mereka akan memimpin suatu negeri yang besar, baik dari sisi luas wilayah maupun jumlah penduduknya. Lebih dari itu, negeri yang akan dipimpin tersebut saat ini menghadapi banyak masalah yang sangat kompleks.

Siapapun yang akan terpilih akan menghadapi persoalan berkaitan dengan integrasi nasional, keterpurukan ekonomi, potensikonftik antar-etnis dan agama, rentannya keamanan, kepercayaan yang tipis terhadap birokrasi, dan sebagainya. Berkaitan dengan itu pula UNISIA No. 52 ini mencoba mendiskusikan dan mengelaborasi tema berkaitan dengan kepemimpinan nasional pasca Pemilu 2004.

Dari tulisan yang tersaji, muncul kriteria pemimpin yang diharapkan. Di samping itu juga ditunjukkan persoalan ini yang dihadapi. Pemikiran yang berkaitan dengan program aksi pemimpin baru nanti juga disinggung oleh penulis yang berasal dari berbagai disiplin, dan juga lintas agama.

Satu hal yang diharapkan dari pemimpin baru kelak adalah keteladanan. Jika Faisal Ismail menyoroti aspek ini tidak lain karena 'keteladanan" tersebut merupakan barang yang sangat mahal di Indonesia. Pemimpin selalu menyampaikan keinginan-keinginan baik, seruan moral yang harus diikuti rakyat, namun tidak memberikan contoh rill dalam praktek kesehariannya. Sangat mudah ditemui pemimpin yang mengajak menghapuskan KKN, namun prilaku kesehariannya dekat dengan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Masih dari perspektif agama, Paul Supamo mengingatkan bahwa setiap agama mengajarkan umatnya melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai nilai moral yang dianut. Demikian pula jika ia diangkat menjadi pemimpin, seharusnya tetap berpegang pada nilai moral tersebut. Masalah adalah hal tersebut sering tidak muncul dalam praktek. Pemimpin melanggar sumpahnya, otoriter, tidak jujur, atau melecehkan orang lain. Oleh karena ia mengharapkan pemimpin pasca Pemilu 2004 ini adalah orang yang berani melawan korupsi, membangun kesatuan bangsa, menghargai HAM, dan sebagainya.

Di samping melihat dan perspektif agama, kepemimpinan juga dilihat dari aspek ekonomi, politik, dan budaya. Dari perspektif Ekonomi Edy Suandi Hamid menyatakan siapapun pemimpin terpiiih harus menjawab persoalan utama ekonomi bangsa, seperti kemiskinan. pengangguran, lambannya pertumbuhan ekonomi. dan perbaikan kualitas sumber daya manusia. Dengan persoalan yang begitu berat, tidak mungkin pemimpin baru nanti dapat menyelesaikan semua masalah utama ekonomi tersebut. Namun pemimpin baru tersebut harus mempunyai agenda ekonomi yang jelas, terencana, terjadwal, dan dengan target-tagret yang terukur.

Demikianlah sepintas cuplikan dari beberapa kontributor dalam edisi ini. Tulisan-tulisan lain, seperti Chairul Saleh yang mengupas tentang orientasi kebijakan reformasi, atau Suparyadi yang mengkaji tentang otonomi daerah, serta tulisan Rahmani TR, Mohammad Idrus, walaupun tidak semuanya secara langsung berbicara tentang kepemimpinan, namun mengingatkan banyak masalah yang dihadapi pemimpin bangsa ini pada masa sekarang dan mendatang. •  

Published: July 21, 2016

No 51/XXVII/I/2004

Pesta demokrasi tahun 2004 kali ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan politik di tanah air. Berbeda dengan pemlilhan umum sebelumnya, dalam tahun 2004 di samping memilih anggota DPR (D), juga dipilih secara langsung anggota Dewan Perwakilan Daerah, serta Presiden dan Wakil Presiden. Untuk pemiilhan anggota DPR (D) juga ada sedikit kemajuan, yakni adanya pemilihan nama calon legislatif, di samping gambar Parpol-nya.

Berbagai pembaruan tersebut tentunya dimaksudkan agar tingkat demokrasi di tanah air makin maju. Tujuan lebih lanjut adalah agar jalannya pemerintahan yang terbentuk betul-betul merepresentasikan suara masyarakat banyak, sehingga keinginan silent majority tersebut selalu diakomodasi oleh pemegang amanah rakyat.

Harapan yang demikian besar melekat pada Pemilu 2004. Reformasi yang berjalan tersendat-sendat saat ini diharapkan bisa menjadi lancar dengan hasil Pemilu 2004 mendatang. Ini terkait dengan perubahan sistem pemilu tersebut, yang diharapkan juga menghasilkan pilihan pada individu yang berkualitas, akuntabel, aspiratif terhadap tuntutan publik.

Sebagai sesuatu yang baru tentu perlu banyak hal yang perlu dikaji agar perubahan sistem pemilihan umum itu betul-betul memberi hasil optimal. Oleh karena itu, UNISIA edisi ini mencoba mengundang para pakar yang sebagian besar sudah dikenal di tanah air, untuk meneropong topik tersebut. Tulisan-tulisan muncul dari Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Harun Alrasid, Warsito Utomo, Sunyoto Usman, Bambang CIpto, dan lain-lain.

Sebagaimana tersaji dalam tulisan mereka, tampak benang merah yang muncul tentang sulitnnya penegakan demokrasi di tanah air, dan harapan bangkitnya bangsa Indonesia untuk keluar dari lilitan problematik yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, kenegaraan, ekonomi, dan sebagainya.

Dalam kajiannya mengenai tinjauan yuridis perangkat Undang-undang Pemilu, Harun Alrasid memprediksikan DPR hasil Pemilu 2004 akan membentuk perangkat UU Pemiu yang baru. Belajar dari UU yang ada saat ini. Guru Besar FH Ul ini mengingatkan agar dalam UU yang baru nantinya tidak terjadi inkonsistensi atau kontradiksl substansi. Di sisi lain. Prof. Jimly Asshiddiqie yang menganalisis mengenai pemilihan Pesiden dan Wapres secara langsung menyatakan, proses ini merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai pengejawantahan demokrasi. Sebab, melalui pemilihan langsung ini dapat dibangun kepercayaan rakyat kepada negara dan sekaligus mentransformasikan faktor integrasi bangsa dari yang bersifat personal menjadi proses membangun kesepakatan bersama. Pandangan serupa juga disampaikan Prof. Mahfud MD. Menurutnya, pemilihan langsung dapat membuka pintu tampilnya Presiden dan Wapres yang sesuai kehendak mayoritas rakyat.

Cuplikan di atas hanya sebagian saja dari berbagai kajian yang ditampilkan pada edisi ini. Topik-topik ini tentu saja bisa dikembangkan lebih lanjut, dan dapat menjadi bahan kajian pada UNISIA edisi mendatang. Pemikiran-pemikiran tersebut dapat disampaikan pada dewan redaksi untuk mempertimbangkannya. Topik yang akan datang masih terkait dengan edisi ini, yakni "Kepemimpinan Nasional Pasca Pemilu 2004". Tulisan para pembaca semua sangat ditunggu oleh Redaksi.

Published: July 27, 2016

No 50/XXVI/IV/2003

Akhir tahun ini, kontrak kerja sama Indonesia dengan Dana Moneter Intemasional (IMF) dihentikan. Sebetulnya, kerja sama dengan IMF tersebutmasih bisadiperpanjang, Namun desakan publlk untuk menghentikan kontrak tersebut sangat kuat. Ini terjadi karena kinerja IMF dalam memulihkan perekonomian Indonesia dari krisis tidak seperti yang diharapkan. Bahkan, sebagian pengamat menilai IMF telah melakukan "mal praktek". Saran kebijakan sporadik menutup 16 bank pada tahun 1997, misalnya, ternyata berdampak mempertajam krisis yang terjadi.

Kebijakan penghapusan subsidi, privatisasi, pengendalian defisit yang ingin serba cepat dan momentum waktu yang tidak tepat waktu, telah menimbulkan dampak sosial dan gejolak dalam perekonomian Indo nesia. Ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Stiglitz dalam kapasitasnya sebagai pejabat Bank Dunia pada akhir 1997.

Dengan akan diputusnya kontrak dengan IMF tersebut maka Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Perlu dicermati implikasi dan risiko yang akan dan bisa timbul dari kebijakan tersebut. Untuk itu Jurnal UNISIA edisi kali ini menjadikan topik tersebut sebagai bahan kajian dari para ahli yang relevan. Diharapkan pemikiran-pemikiran tersebut bisa menambah wacana sekaligus masukan bagi pengambil kebijakan di tanah air. Penulis yang menyampaikan pemikiran gagasannya dalam edisi ini anlara lain adalah Sri Adiningsih, Harwanto Dahlan, Endang Sihprapti, Agus Widaijono, Nandang Sutrisno, dan Suharto, Kajian yang disampaikan tidak saja dari sisi ekonomi, melainkan juga dari aspek politik dan hukum.

Dr. Sri Adiningsih menilai opsi yangdiambil pemerintah untuk keluar dari IMF, dengan tetap membayar kewajiban sesuai dengan waktu jatuh temponya, merupakan pilihan paling konservatif. Namun opsi ini masih mengandung konsekuensi adanya pemantauan pasca program (postprogram monitoring). Dengan pilihan ini, Adiningsih menilai tidak akan banyak menggoncang perekonomian kita. Bahkan, jika masalah ekonomi mikro dapat diperbaiki, maka akan dapat memperkuat fundamental ekonomi makro nasional.

Harwanto Dahlan juga cukup optimis dengan situasi Indonesia pasca IMF. Namun ada prasyarat yang harus dipenuhi, yakni: harus menciptakan adanya good governance dan clean government. Dengan proses pemerintahan yang baik, akan terwujud pemerintahan yang bersih. Jika pemerintahan yang bersih terwujud, maka korupsi yang merupakan penyakit nomor satu di pemerintahan bisa diminimalkan. Ini merupakan modal besar untuk memperkuat ekonomi pasca IMF.

Pandangan agak berbeda muncul dari Nandang Sutrisno,yang melihat hubungan dengan IMF dari sisi hukum. la menilai bahwa IMF harus ikut bertanggungjawab atas kegagalan programnya. Alasannya, odious debt (utang yang "menjijikkan") sangat prospektif untuk dijadikan dasar hukum menggugat IMF. Untuk itu ia juga menyarankan agar dibentuk lembaga intemasional baru yang khusus menyelesaikan odious debt. Berbagai pemikiran lain juga muncul dari penulis dalam edisiini. Memang pemikiran terhadap aksi yang harus dilakukan pasca pemutusan kontrak itu sangat beragam. Ini semua akan menjadi masukan dan pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam mencari berbagai solusisetelah hubungan dengan IMF semakin diminimalkan.

Demikianlah dari tulisan-tulisan tersebut diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran komperhensif tentang perkembangan dan hasil kontrak kerjasama antara Indonesia dengan IMF selama ini, disamping juga memberikan kajian empirik-analitik kerja sama Indonesia - IMF dan prospek jangka panjangnya. Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi sebagai penulis pada edisi yang akan datang, kami informasikan topiknya adalah "Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung". Kami menunggu tulisan-tulisan tersebut paling lambat akhir November 2003 ini. 

Published: July 27, 2016

No. 49
Tahun XXVI Triwulan III 2003

SEBELUM era "reformasi" Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu yang sangat sakral. Karenanya walaupun dalam pasal 37 UUD 1945 tersebut memungkinkan untuk melakukan perubahan atas konstitusi tersebut, namun pasal itu seakan tabu untuk digunakan. Hasrat untuk mengubah UUD 1945 dapat digolongkan sebagai suatu usaha makar, subversif, dan sejenisnya. Oleh karena itu, nyaris tidak muncul gagasan mengubah UUD 1945 sampai gerakan reformasi muncul pada tahun 1998.

Era reformasi, dengan lembaga legislatif hasil pilihan yang demokratis, telah membalikkan semua. UUD 1945 tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tidak bisa diubah. Walaupun tetap diakui sebagian besar materi UUD 1945 tetap relevan, namun sebagian lagi dianggap perlu diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Semangat mengubah ini pula yang mengakibatkan dalam tempo singkat sudah empat kali di amandemen. Dalam proses ini berbagai kontroversi pun terjadi, yang melahirkan pemikiran yang puas maupun tidak puas.

Dalam konteks amandemen pasal-pasal yang terkait dengan lembaga eksekutif dan legislatif, disampaikan Dr.Saldi lsra berkesimpulan amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 belum optimal. Lembaga legislatif pasca amandemen dinilai belum akan mampu mewujudkan mekanisme cheks and balances dalam makna yang hakiki.

Dalam bidang ekonomi. Prof. Mubyarto menganggap amandemen pasal 33 UUD tersebut sebagai sesuatu yang dipaksakan. Secara tegas Mubyarto mengemukakan, perubahan pasal 33 UUD 1945 tidak sejalan dengan GBHN 7999-2004 dan TAP MPR No. XVI (1998). Terlebih lagi, amandemen ini menghilangkan kata "koperasi yang merupakan gerakan ekonomi rakyat dan bangun usaha yang sesuai dengan demokrasi ekonomi, dalam penjelasan UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dawam Rahardjo, perbedaan pandangan tentang pasal ekonomi ini sudah muncul sejak di Panitia Ad Hoc MPR yang sebelumnya juga diketuai oleh Prof. Mubyarto.

Memang, menurut Muntoha, dengan mempelajari secara komperhensif hasil amandemen UUD 1945, tidak berarti semuanya selesai. Temyata masih banyak permasalahan yang mendasar. Karena, suatu amandemen sejauh mungkin terhindar dari kepentingan politik yang sempit dan bemuansa jangka pendek. Padahal faktor seperti ini justru terjadi dalam proses amandemen UUD 1945.

Dalam edisi ini, Susi Dwi Harijanti, secara cukup dalam juga mengupas kelemahan fundamental UUD 1945, baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Menurutnya, walaupun amandemen sudah dilakukan, namun masih ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yakni bagaimana perubahan-perubahan tersebut memberikan pengaruh terhadap restrukturisasi sistem ketatanegaraan Indonesia.

Melengkapi tulisan-tulisan tersebut, diturunkan pula tulisan dari Agus Triyanta yang melihat amandemen dari sisi agama; tulisan Saifudin mengenai tinjauan historis lahirnya UUD 1945, dan tulisan Jawahir Thontowi tentang urgensi undang-undang pelayanan publik.

Bagi pembaca yang ingin berpartisipasi dalam UNISIA edisi yang akan datang, topik utamanya adalah berkaitan dengan rencana pemutusan kontrak dengan IMF dan strategi yang harus ditempuh setelah lepas dari lembaga intemasional tersebut.

Published: July 20, 2016

No. 48
Tahun XXVI Triwulan II 2003

Reformasi Peran Hukum Islam di Indonesia

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia adalah hasil interaksi dan persentuhan antara normativitas dan sosio-kultural bangsa Indonesia. Oleh karena itu upaya ke arah pengembangan dan penerapan hukum Islam di Indonesia selalu berkaitan dan tidak lepas dari kedua aspek tersebut. Persoalan ini dapat ditelusuri sejak munculnya Piagam Jakarta yang secara eksplisit mencantumkan istilah "Syari'at Islam..."dan kemudian terjadi perdebatan sehinggaparapenggagas ide tersebut bersikap kompromi dengan dalih mempertimbangkan sosio - kultural bangsa Indonesia yang belum pas dengan istilah tersebut.

Undang-Undang No. I tahun 1974 sebagai bagian dari proses perkembangan hukum Islam (walaupun tidak secara eksplisit) juga mengalami berbagai tantangan, hingga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang sampai sekarang baju hukumnya berbentuk Inpres (Inpres No. I/I99I), serta kisi-kisi materinya yang masih perlu dikritisi. Secara tegas dapat dikatakan bahwa keberadaan Hukum Islam di Indonesia belum mampu berkompetisi, sehingga perlu upaya-upaya untuk memposisikan hukum Islam dalam tingkat yang lebih strategis.

Kendala yang sangat kentara tentang sulitnya menerobos peluang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia adalah persoalan politik yang berkaitan dengan tatanan hukum dan pandangan masyarakat yang masih diwamai pemikiran hukum Barat dan hukum Adat. Oleh karena itu tulisan-tulisan yang menawarkan sejumlah perubahan terutama yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud kepedulian mereka untuk menerapkan Hukum Islam di Indonesia secara konsisten perlu direspon dan ditindak lanjuti. Hal ini tidak lain untuk mendewasakan umat Islam ke arah pemikiran yang lebih aplikatif dan tidak sekedar wacana. Dengan kata lain kemampuan mentransfigurasikan hukum Islam dengan menggabungkan pendekatan normatif dan kultural sebagai upaya membumikan hukum Islam di Indonesia kiranya patut menjadi bahan acuan. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan adanya perangkat sumber daya manusia terutama para penentu kebijakan yang memiliki komitmen tinggi tentang Islam agar terimbangi antara produk-produk hukum umum dan produk-produk hukum Islam.

Dari sejumlah persoalan tersebut akhirya mengilhami tema tulisan pada edisi 48 ini dengan judul "Reformasi Peran Hukum Islam di Indonesia†dan persoalan-pesoalan tersebut itulah yang banyak direkam oleh penulis seperti pengkritisan terhadap materi dan dasar hukum KHI dan Rancangan UU RI tentang Hukum Terapan Peradilan Agama, sorotan tentang dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia yang ditopang dengan konsep ulama klasik tentang ijtihad dan transfigurasi HukumIslam dalam Sistem hukum Nasional.

Sidang pembaca yang budiman pada edisi yang akan datang Jurnal UNISIA mengangkat tema tentang "Kontroversi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945." Kami mengundang pembaca untuk berpartisipasi mengupas kritis kontroversi-kontroversi di seputar amandemen konstitusi 1945.

Published: July 20, 2016

No. 47
Tahun XXVI Triwulan I 2003

Isu separatis atau separatisme di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto menjadi salah satu isu paling mencemaskan di tengah badai krisis multidimensional yang belum tampak akan berakhir. Meski formulasi dari tuntutan pemisahan diri dan Negaru Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu lebih banyak dalam bentuk ide atau gagasan ketimbang kekerasan sebagaimana terjadi di beberapa wilayah. tetapi justru disitulah masalahnya, karena ide atau gagasan tidak pernah bisa dimatikan dengan senjata apapun, kecuali causa munculnya ide itu diselesaikan dengan cara bermartabat. Dalam sejarah, kekerasan tidak pernah bisamengakhiri masalah kecuali hanya akan memupuk kejengkelan dan dendam yang sewaktu-waktu dapat memicu kekerasan balik.

Model penanganan masalah pada kasus Timor-timur, Aceh dan Irian Jaya (Papua) adalah contoh nyata tentang bagaimana penanganan masalah dengan kekerasan tak pemah mampu menyelesaikan masalah, kecuali pada akhimya Timor Timur lepas. sementara Aceh dan Irian Jaya tak kunjung reda.

Eksploitasi habis sumber daya alam daerah; sentralisasi kekuasaan politik pada wilayah yang didominasi oleh golongan tertentu; dominasi dan hegemoni kultural dengan pengabaian telanjang atas kekayaan kultural daerah serta model pendekatan refresif kekuasaan dalam menangani aspirasi berbeda selama paling tidak 30 tahun terakhir adalah causa yang membingkai ide pemisahan diri. Bahwa ide itu tak sempat mewujud menjadi tuntutan riil selama Orde Baru, tidak lain karena tekanan dan kontrol kekuasaan demikan keras dan menekan, meski represifitas kekuasaan justru semakin mengentalkan ide separatisme.

Itu sebabnya ketika Soeharto jatuh Mei 1998 lain, yang berarti berakhirnya kekuasaan represif, ide pemisahan diri berusaha untuk diwujudkan, bahkan oleh daerah-daerah yang selama ini tidak pernah terdengar ingin memisahkan diri, sebagaimana sempat dilontarkan oleh masyarakat Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, meski kekuasaan baru yang menggantikan telah menunjukkan dan membuktikan kemauan politik dan hukum menuju negara demokratis.

Apa yang patut dilakukan oleh kekuasaan masa kini bagi upaya mengeliminir dan sejauh mungkin mengakhiri ide dan atau gerakan separatisme. Pertama, mengakhiri dan mengubur dalam-dalam perangai buruk Orde Lama dan Orde Baru dalam mengelola NKRI. Kedua, membangun pendekatan baru di dalam mengelola konflik. Ketiga, menerapkan kebijakan desentralisasi secara sungguh-sungguh. Dan Keempat, melakukan upaya serius dalam menyelesaikan secara hukum dan politik pelanggaran HAM masa lalu.

Sejumlah tulisan yang dimuat dalam jurnal kali ini, mencoba menelusuri dimensi politik, hukum, sosiologis dan kultural dari gejala separatisme dari pelbagai sudut pandang sehingga diharapkan dapat membantu menjernihkan pandangan kita tentang separatisme. Sidang pembaca yang budiman, pada edisi depan, Unisia akan mengangkat topik amandemen, UUD 1945. Kami mengundang pembaca untuk berpartisipasi, mengupas secara akademis kontroversi-kontroversi di dalam dan di balik amandemen konstitusi 1945.

Published: July 20, 2016

No 46/XXV/III/2002

Published: July 27, 2016

No 45/XXV/II/2002

Pemakrnaan terhadap suatu istilah kadangkala dilatar belakangi oleh berbagai factor yang sering kali membuat kabur akan filosofi makna itu sendiri. Fundamentalisme sebagai kosa kata yang konon dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat pada mulanya diartikan sebagai reaksi terhadap modernism dan dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara kaku dan literalis. Akan tetapi dalam pengembangannya makna fundamentalisme menjadi merambah ke berbagai aliran dan golongan. Dan ironisnya makna fundamentalisme menjadi semacam gerakan yang memojokkan penganut agama tertentu seperti Islam dan diposisikan sebagai pihak yang berseberangan dengan pihak lain.

Yang patut dipertanyakan adalah sejauh mana makna fundamentalisme menjadi istilah yang bergeser dari makna asalnya, dan dalam kepentingan apa makna fundamentalisme menjadi simbol gerakan atau aliran? Dalam kepentingan ini maka UNISIA pada edisi 45 mencoba membeberkan sekaligus memberi ulasan terhadap persoalan tersebut.

Adapun tema-tema pokok yang diulas dalam edisi ini antara lain: Fundamentalisme dalam Agama Budha, Karakteristik dan Ciri-ciri Fundamentalisme sebagai aliran dan gerakan keagamaan, Fundamentalisme sebagai Ideologi Transisi, Fundamentalisme: Kecenderungan menafsirkan antara Realita dan Doktrin, Tafsir Identitas dan Kekerasan Keagamaan, Fundamentalisme Islam : Sejarah dan Gerakan.

Dari tema-tema tersebut minimalnya dapat memberi gambaran tentang sejarah munculnya istilah fundamentalisme, perkembangan dalam posisi wacana dan gerakan, serta penerapannya dalam wilayah ideologi agama. Sehingga minimalnya bagi mereka yang akan menggunakan istilah fundamentalisme dapat mempertanggungjawabkan baik sebagai wacana, ideologi maupun gerakan, atau bagi mereka yang akan memberi penilaian terhadap gerakan fundamentalisme mempunyai argumen yang jelas. Hal ini penting karena tidak jarang orang mengatakan gerakan fundamentalisme tetapi justru pelakunya tidak pemah mengaku bahwa dirinya sebagai gerakan fundamentalisme atau sebaliknya orang mengatakan kelompok fundamentalisme tetapi dasamya tidak jelas.

Untuk meyongsong arus perubahan dengan berbagai kepentingan dan alasannya, maka topik utama yang diangkat pada edisi 46 adalah "Evaluasi Dua Tahun Pelaksanaan Otonomi Daerah"

Published: July 27, 2016

No 44/XXV/I/2002

 Di antara issu penting gang perlu dicermati di Indonesia saat ini adalah issu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Banyakperistiwa gang berimplikasi politik dan ekonomis dalam skala nasional dan intemasional dinyatakan sebagai kasus-kasus HAM. Sejak dari kasus pra dan pasca kemerdekaan Timor-Timur, pembunuhan dukun santet, kemelut di Aceh kerusuhan rasial di Ambon Maluku, kekerasan dalam masyarakat, serta gang terakhir adalah kasus konflik rasial gang terjadi di Sampit, hampir kesemuanya merefer pada permasalahan di seputar HAM.

Sorotan dunia intemasional terhadap peristiwa-peristiwa tersebut sangat tajam, dan sebagai bentuk sorotan itu adalah bahwa banyak agenda bantuan asing yang hanya diberikan dengan mensyaratkan pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan penghargaan yang lebih baik terhadap HAM. Begitu juga sebaliknya, ancaman-ancaman untuk embargo (misalnya dalam persenjataan) dilakukan dengan alasan tidak dihormatinya HAM di Indonesia.

Bisa dikatakan, bahwa dalam perspektif HAM, Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan besar. Lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas penegakan hukum dan pelindungan HAM masih terlalu lemah bila dibandingkan dengan maraknya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hal itu. Bukan saja itu menunjukkan betapa lemahnya birokrasi, namun juga menunjukkan betapa rendahnya kesadaran hukum dan HAM di negara ini. Masa reformasi sekarang ini seakan-akan memang telah memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menunjukkan, bukan saja kedewasaan mereka dalam bidang politik, namun juga sejauhmana esensi HAM tersebut dapat mereka apresiasi dan hukum itu mereka junjung tinggi. Pertanyaannya kemudian, apakah kesempatan itu akan bisa menjadi moment untuk menunjukkan political maturity bangsa ini dengan antara lain menunjukkan apresiasi tinggi terhadap HAM, ataukah justeru akan menunjukkan hal yang sebaliknya? Pilihan pertamalah yang seharusnya ditunjukkan oleh bangsa ini.

Masa reformasi ini juga harus membuktikan, bahwa kalau pun selama Orde Baru ketertiban hukum bisa dirasakan dan pelanggaran HAM tidak sesemarak dengan realita pada masa reformasi ini, namun hal tersebut bukan merupakan refleksi yang sesungguhnya atas kesadaran hukum dan HAM bangsa Indonesia, namun lebih merupakan ketertiban yang diciptakan dengan opressifitas dari penguasa. Sehingga, reformasi seharusnya melahirkan kesadaran politik dan kultural akan arti penting HAM, dalam artian yang sesungguhnya, yang kelak akan menjadi bagian dari mainset mentalitas bangsa.

Singkatnya, HAM memang masih menjadi permasalahan penting yang harus diselesaikan di negara ini. Dibentuknya KOMNASHAM, kementerian yang secara spesifik membawahi bidang HAM, adalah salah satu jalan menuju ke arah penghormatan dan penghargaaan yang lebih tinggi terhadap HAM. Namun dalam perjalanannya, lembaga-lembaga tersebut tetap belum bisa seoptimal yang dicita-citakan. Bukan saja karena masalah kekurangan dalam segi instrumen institusional - sebagai lembaga baru yang masih mengatur posisi dan jati diri - namun juga karena daya dukung masyarakat terhadap program lembaga tersebut kurang bisa diharapkan.

Di lain sisi, di luar dari realita kendala di atas, HAM memang masih sering dicurigai sebagai, tak lebih dari "senjata" yang selalu digunakan oleh negara-negara Barat untuk berkeberatan atas apa yang sedang terjadi dan diagendakan oleh negara-negara non-Barat Bahkan, ada anggapan bahwa negara Barat menggunakan double standard (standar ganda) dalam penegakan HAM, terutama apabila kepentingan mereka dikhawatirkan akan terganggu namun mereka seolah menutup mata apabila yang pihak yang teraniaya adalah pihak yang menjadi "musuh kepentingan" mereka. Hal ini tidak lain disebabkan oleh definisi yang sangat longgar dan samar terhadap HAM itu sendiri akhimya memang menjadikan HAM itu sebagai konsep yang sangat lentur untuk diarahkan ke berbagai konteks permasalahan.

Itulah sebabnya mengapa masalah konseptialisasi HAM juga merupakan salah satu masalah penting untuk didiskusikan lebih lanjut. Misalnya, apakah HAM itu memang benar-benar universal. Dengan kata lain, sampai dimanakah universalitas HAM itu sendiri. Bagaimanakah dengan pemahaman HAM dalam perspektif crosscultural understanding, bagaimana juga bila dikaitkan dengan partikulasi kelompok, ataujuga dengan wacana selfdetermination (hak menentukan diri sendiri). Takpelak , itu semuamenjadikan permasalahan HAM itu kian rumit, dia mengandung masalah, bukan hanya dalam aplikasinya, namun dalam wacananya sendiri masih memerlukan diskusi lebih lanjut. Karena alasan itulah, maka UNISIA pada edisi No. 44 ini dirasa penting untuk mengangkat isssu seputar penegakan serta pelanggaran HAM di Indonesia. Topik ini akan mencakup permasalahan-permasalahan di seputar, sejauh mana pelanggaran HAM di negara ini, bagaimanakah upaya-upaya penegakan HAM, termasuk didalam hal ini perangkat intemasional dan legal culture yang harus dibangun di kalangan rakyat, juga termasuk bagaimana konsep HAM berkembang (dikembangkan). 

Published: July 27, 2016

No 43/XXIV/I/2001

 Sebagai negara berkemhang Indonesia membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena dibutuhkan pendanaan pembangunan nasional yang sangat besar untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Tetapi untuk dapat menyediakan seluruh biaya pembangunan tersebut sebagaimana ciri negara berkembang lainnya, Indonesia belum mampu. Untuk itu maka Indonesia disamping berusaha menggenjot pemasukan negara terpaksa mencari utang luar negeri untuk menutup kebutuhan pendanaan pembangunan nasional tersebut.

Permasalahan yang timbul dalam permasalahan utang luar negeri-tersebut adalah adanya kecenderungan bahwa jumlah utang luar negeri Indonesia naik terus, sehingga ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri untuk pendanaan bagi pembangunan nasional menjadi sangat kuat. Bahkan terlihat negara ini telah terjebak dalam perangkap utang. (Debt trap).

Krisis ekonomi berkepanjangan yang dimulai tahun 1997 makin membawa bangsa Indonesia dalam kondisi yang cukup mempnhatinkan. Pembangunan sebagai penggerak perekonomian hampir terhenti karena kendala dana. Kembali utang luar negerilah yang menjadi pilihan pemecahan kelangkaan kebutuhan dana pembangunan tersebut. Padahal beban pokok pinjaman dan bunga utang luar negeri telah lama menjadi beban pembangunan nasional. Maka beban utang luar negeri Indonesia telah menjadi pemicu krisis ekonomi negara ini.

Utang luar negeri Indonesia terbagi menjadi utang luar negeri pemerintah, BUMN dan swasta memiliki permasalahan yang spesifik. Tetapi yang nyata kesemuanya telah menjadikan Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt trap). Wacana permasalahan utang luar negeri Indonesia diharapkan dapat membuka pemikiran-pemikiran bam untuk menghindari debt mismanagement. 

Published: July 27, 2016

No 41/XXII/IV/2000

Perjalanan bangsa Indonesia selama 54 tahun merdeka telah rnengalami berbagai ujian dan cobaan, baik pada era orde lama, orde baru dan kini pada era reformasi. Upaya membangun bangsa Indonesia ke arah terwujudnya cita-cita nasional telah rnelibatkan berbagai pihak baik unsur teorisi maupun praktisi, namun hasilnya masih belum sesuai yang diharapkan.

Ada dua unsur penting yang sedikit banyak ikut andil dalam memainkan peran menata bangsa Indonesia menuju masyarakat yang dicita-citakan yaitu kelompok penganut agama dan kelompok partai yang secara konseptual memiliki visi dan misi sendiri-sendiri.

Diakui bahwa kelompok Islam adalah kelompok mayoritas yang secara kuantitatif menduduki ranking teratas dalam menghuni bumi nusantara ini. Dari sisi ajarannya dengan wataknya yang egaliter ajaran Islam mendorong tumbuhnya masyarakat demokratis yang menghargai perbedaan dan mendukung nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjadikan kandungan agama sehagai dasar dari penegakan hukum rnaka perubahan yang berjalan seiring dengan proses reformasi di negara ini akan menemukan solusi atas berbagai persoalan baik secara sosial maupun ekonomi.

Perubahan ini ditengarai tampilnya kelompok modemis berpendidikan barat yang sedikit hanyak telah mengusung berbagai perubahan terutama di tingkat wacana pada masyarakat Islam, dan terjadi gelombang pasang naik hubungan antara kelompok modernis Islam dengan masyarakat sekaligus imbas pada hubungannya dengan barat.

Sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dipercaya memegang pucuk pemerintahan tidak lepas dari peran partai-partai politik Islam yang merupakan harapan dan sekaligus tantangan ujian bagi umat Islam. Pertanyaan yang mendasar adalah, mampukah? Gus Dur menyalurkan aspirasi umat Islam, yang dalam posisinya juga dituntut untuk menampung semua aspirasi masyarakat Indonesia yang sarat dengan keberagaman. Dalam kalangan Islam sendiri tidak semuanya menampilkan sosok yang harus berdiri di atas kemurnian ajaran Islam, karena ada sebagian yang masuk dalam kategori Islam abangan yang dalam gerakannya lebih mengedepankan aspek toleransi daripada mempertahankan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Oleh karena itu, sisi negatif dari adanya kelompok abangan adalah munculnya kelompok sempalan sebagai reaksi tersumbatnya saluran politik yang diwujudkan dalam bentuk aksi kekerasan. Untuk membentenginya itu perlu dilakukan perombakan secara sistematis dan radikal dengan menyelenggarakan berbagai program dan aksi demokrasi. Dengan demikian, maka idaman umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk mewujudkan Indonesia menjadi masyarakat madani akan menjadi kenyataan  

Published: July 27, 2016

No 39/XXII/III/1999

Diantara cita-cita terpenting dari setiap revolusi, restorasi ataupun reformasi adalah hancurnya sebuah sistem politik lama, untuk kemudian ditampilkan sebuah sistem yang baru, atau dengan bahasa lain, digusurnya sebuah sistem politik yang tidak melahirkan kecuali opressifitas, totaliterisme dan diktatorisme untuk kemudian dihadirkan sebuah sistem yang fair, transparan dan demokratis. Hal itu berarti, bahwa sistem bernegara yang telah lebih dari tiga dekade yang dipraktekkan oleh regim Orde Baru, adalah sebuah sistem yang sama sekali tidak popular, yang tidak aktual, yang jelas tak akan pernah menghasilkan kecuali sebuah negara yang penuh patologi negara, a-demokratik, unfair, eksploitatif, dan sederetan penyakit negara yang lain. Mutlak, konsep baru dalam bernegara harus dimunculkan untuk menggantikannya.

Maka lebih dari setengah abad, bukanlah sebuah masa yang singkat untuk mengantarkan negara menjadi sebuah negara berkembang dengan arah pembangunan yang jelas, sekalipun memang masa itu terlalu singkat untuk memenuhi ambisi melampaui tiga tahapan pendewasaan negara [konsolidasi suku, Industrialisasi dan tahapan menuju welfare society]. Artinya, bahwa negara ini seharusnya tidak boleh lagi membuang waktu terlalu panjang hanya "untuk menimba pengalaman". Cukup sudah pengalaman yang bisa diambil sebagai pelajaran, berbagai sistem bernegara dicobakan di negara ini untuk akhimya saat ini, bangsa Indonesia masih terpaksa harus menyatakan bahwa "sejarah adalah guru yang terbaik". Tidak lagi zamanya di mana para pemimpin negara ini melalukan trial and error secara spekulatif dalam mengendalikan negeri ini. Konsep bemegara yang dikehendaki haruslah jelas dan pasti.

Masa reformasi yang telah menyajikan terbukanya secara lebar pintu kebebasan berbicara dan beraspirasi [freddom of speech] dalam kehidupan politik, adalah moment yang sangat monumental bagi semua upaya penciptaan sistem bemegara yang lebih baik. Mutlak, untuk itu diperlukan optimalisasi peran politik rakyat dalam setiap kenegaraan. Maka, dalam era reformasi ini, bisalah dikatakan bahwa bangsa Indonesia telah berhasil meraih salah satu dari cita-cita terpentingnya, ialah kebebasan tersebut. Kondisi ini haruslah direspon sebagai suatu moment yang sangat berharga untuk secara intens dan terbuka mendiskusikan berbagai gagasan politik dan bemegara, tanpa harus mengkhawatiri sekat-sekat stabilitas yang memandulkan pemikiran dan memasung gagasan. Maka, dalam konteks semacam ini, perbincangan seputar bagaimana seharusnya negara ini ditata, menjadi suatu yang urgen dan krusial. Wawasan tentang Indonesia masa depan menjadi tuntutan untuk seawal mungkin di lntrodusir. Di sinilah sebenamya kontribusi terpenting yang harus diberikan bagi negara saat ini.

Konsep bernegera yang dikehendaki barangkali tidak semudah yang dibayangkan. Polarisasi kepentingan, hetrogenitas latar belakang budaya, dan kuatnya ikatan-ikatan primor dial dalam masyarakat Indonesia akan semakin mewajarkan adanya keragaman aspirasi bemegara. Diharapkan polarisasi pemikiran yang muncul akan menjadi suatu dialektika yang bisa terimbangi dengan budaya dialogis yang saat ini banyak dicoba-tumbuhkan. Sehingga akhimya, sintesa pemikiran akan terwujud dengan tanpa harus ada yang merasa terkalahkan. Sehingga konsep baru akan diterima dengan tanpa kecemburuan. Dalam konteks semacam inilah tema tentang "Visi Indonesia Baru" mendapatkan urgensinya. Karena pula,tema itu diangkat dalam Unisia edisi kali ini. Tema menarik selanjutnya yang akan diketengahkan oleh Unisia pada edisi mendatang adalah "SARA' 

Published: July 27, 2016

No 36/XXI/IV/1998

Published: July 27, 2016

No 33/XVIII/I/1997

Satu tugas penting yang menanti para anggota Majelis Peimusyawaratan Rakyat RI setelah dilantik nanti, adalah menyusun dan menetapkan apa yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara. Ini inerupakan tugas rutin dari anggota MPR. Kendati sifatnya rutin, tidak berarti menjadi enteng bagi para anggota MPR untuk mrnyusunnya. Ini mengingat, isi GBHN tidak bisa dan seyogyanya memang tidak mengcopy begitu saja GBHN-GBHN dari yang terdahulu. Sejalan dengan perkembangan waktu, maka GBHN harus mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi, sepeiti melakukan revisi-revisi atas sesuatu yang dianggap sudah tidak tepat dan menambah hal-hal baru yang dianggap penting untuk mengantisipasi perubahan di masa depan.

GBHN merupakan pernyataan kehendak rakyat, yang isinya harus memberikan kejelasan arah bagi perjuangan Negara dan Rakyat Indonesia yang sedang membangun. Karena mempakan manifestasi kehendak rakyat, maka MPR pun harus menampung semua aspirasi yang ada di masyarakat. Mekanisme untuk menampung aspirasi rakyat ini antara lain melalui Dewan Pertahanan Nasional (Wanhankamnas), yang secara aktif mencari dan menghimpun pendapat dari berbagai kalangan masyarakat.

Memberikan masukan untuk arah perjuangan bangsa, jelas merupakan bagian dan tanggung jawab intelektual terhadap masyarakat. Ini bagian dan upaya untuk menunjukkan bahwa lembaga intelektual bukan suatu menara gading, yang mememcilkan diri dari lingkungannya. Mempakan tanggung jawab ilmuwan dan perguruan tinggi untuk ikut terlibat memecahkan persoalan yang dihadapi bangsanya.

Namun apakah setelah GBHN, yang masukannya dari berbagai lapisan dari masyarakat tersebut selesai dibuat maka persoalannya juga menjadi rampung?

Jawabannya, jelas tidak. Sebaik apapun dokumen konstitusional da;am bentuk GBHN tersebut, tentu tidak akan banyak artinya kalau ternyata amanat yang di dalamnya tidak diimplementasikan di kehiduupan bernegara kita. Preside, sebagai mandatarus MPR, mengemban tanggung jawab untuk melaksanakan ketetapan ini. Jadi, Presiden harus membawa pola dan tata kehidupan bangsa selama lima tahun mendatang sejalan dengan aspirasi masyarakat yang ada di dalam GBHN.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Presiden mendatang, sepanjang menggunakan GBHN sebagai acuan dan arahnya, merupakan cermin kehendak bangsa ini. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab segenap rakyat-bangsa untuk mendukungnya.Setiap individu, apapun profesi dan bidang kerjanya, dapat memberikan kontribusinya bagi pewujudan sasaran yang digariskan dalam GBHN tersebut.

Yang pasti, GBHN yang disusun nantinya akan berlaku pada masa di mana kondisi dunia semakin berubah cepat, khususnya dalam bidang perekonomian. Sebagian tahun-tahun pelaksanaan GBHN dan Pelita VII, akan terjadi pada abad XXI. Dalam abad ini, berbagai kondisi yang mengarah pada liberalisasi ekonomi dunia akan semakin cepat terjadinya. Ini tentu menuntut langkah-langkah yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan tersebut, yakni perubahan yang mengarah pada kemampuan untuk bersaing yang lebih tinggi, kemampuan untuk bertindak efisien dalam segala hal, termasuk dalam stuktur birokrasi kita. Tanpa upaya-upaya yang demikian, sangat mungkin kita menjadi korban dan proses pembahan dunia yang semakin cepat.

Perubahan tentu saja tidak hanya di bidang ekonomi, melainkan juga bidang politik. Masyarakat yang semakiin dewasa, kian tinggi pula tuntutannya akan praktek politik yang lebih demokratis. Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan masalah demokrasi, akan menjadi tema utama pula yang diharapkan muncul pada UNISIA edisi yang akan datang. Kepada pembaca semua, tentu sangat diharapkan dapat berpartisipasi mengisi topik tersebut.

Published: July 27, 2016