No 33/XVIII/I/1997

Satu tugas penting yang menanti para anggota Majelis Peimusyawaratan Rakyat RI setelah dilantik nanti, adalah menyusun dan menetapkan apa yang disebut dengan Garis-garis Besar Haluan Negara. Ini inerupakan tugas rutin dari anggota MPR. Kendati sifatnya rutin, tidak berarti menjadi enteng bagi para anggota MPR untuk mrnyusunnya. Ini mengingat, isi GBHN tidak bisa dan seyogyanya memang tidak mengcopy begitu saja GBHN-GBHN dari yang terdahulu. Sejalan dengan perkembangan waktu, maka GBHN harus mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi, sepeiti melakukan revisi-revisi atas sesuatu yang dianggap sudah tidak tepat dan menambah hal-hal baru yang dianggap penting untuk mengantisipasi perubahan di masa depan.

GBHN merupakan pernyataan kehendak rakyat, yang isinya harus memberikan kejelasan arah bagi perjuangan Negara dan Rakyat Indonesia yang sedang membangun. Karena mempakan manifestasi kehendak rakyat, maka MPR pun harus menampung semua aspirasi yang ada di masyarakat. Mekanisme untuk menampung aspirasi rakyat ini antara lain melalui Dewan Pertahanan Nasional (Wanhankamnas), yang secara aktif mencari dan menghimpun pendapat dari berbagai kalangan masyarakat.

Memberikan masukan untuk arah perjuangan bangsa, jelas merupakan bagian dan tanggung jawab intelektual terhadap masyarakat. Ini bagian dan upaya untuk menunjukkan bahwa lembaga intelektual bukan suatu menara gading, yang mememcilkan diri dari lingkungannya. Mempakan tanggung jawab ilmuwan dan perguruan tinggi untuk ikut terlibat memecahkan persoalan yang dihadapi bangsanya.

Namun apakah setelah GBHN, yang masukannya dari berbagai lapisan dari masyarakat tersebut selesai dibuat maka persoalannya juga menjadi rampung?

Jawabannya, jelas tidak. Sebaik apapun dokumen konstitusional da;am bentuk GBHN tersebut, tentu tidak akan banyak artinya kalau ternyata amanat yang di dalamnya tidak diimplementasikan di kehiduupan bernegara kita. Preside, sebagai mandatarus MPR, mengemban tanggung jawab untuk melaksanakan ketetapan ini. Jadi, Presiden harus membawa pola dan tata kehidupan bangsa selama lima tahun mendatang sejalan dengan aspirasi masyarakat yang ada di dalam GBHN.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Presiden mendatang, sepanjang menggunakan GBHN sebagai acuan dan arahnya, merupakan cermin kehendak bangsa ini. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab segenap rakyat-bangsa untuk mendukungnya.Setiap individu, apapun profesi dan bidang kerjanya, dapat memberikan kontribusinya bagi pewujudan sasaran yang digariskan dalam GBHN tersebut.

Yang pasti, GBHN yang disusun nantinya akan berlaku pada masa di mana kondisi dunia semakin berubah cepat, khususnya dalam bidang perekonomian. Sebagian tahun-tahun pelaksanaan GBHN dan Pelita VII, akan terjadi pada abad XXI. Dalam abad ini, berbagai kondisi yang mengarah pada liberalisasi ekonomi dunia akan semakin cepat terjadinya. Ini tentu menuntut langkah-langkah yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan tersebut, yakni perubahan yang mengarah pada kemampuan untuk bersaing yang lebih tinggi, kemampuan untuk bertindak efisien dalam segala hal, termasuk dalam stuktur birokrasi kita. Tanpa upaya-upaya yang demikian, sangat mungkin kita menjadi korban dan proses pembahan dunia yang semakin cepat.

Perubahan tentu saja tidak hanya di bidang ekonomi, melainkan juga bidang politik. Masyarakat yang semakiin dewasa, kian tinggi pula tuntutannya akan praktek politik yang lebih demokratis. Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan masalah demokrasi, akan menjadi tema utama pula yang diharapkan muncul pada UNISIA edisi yang akan datang. Kepada pembaca semua, tentu sangat diharapkan dapat berpartisipasi mengisi topik tersebut.

Published: July 27, 2016

No 32/XVII/IV/1997

Entah kapan berawalnya sebuah kritik sosial mensyaratkan penyampai kritik memperhatikan cara, memperhatikan status diri, memperhatikan arah dan tujuan kritik. Kosa kata jawa "ngono yo ngono ning aja ngono" adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan bagaimana mestinya kritik sosial itu disampaikan. Cara yang dianggap baik, tepat dan benar bukan saja dinilai dari tutur kata, kosa kata yang digunakan atau dari performance si penyampai kritik, tapi juga dinilai dari instrumen apa yang ia gunakan dalam menyampaikan kritiknya itu. Kalau kritik disampaikan dengan seseorang dengan kualifikasi tertentu, secara reflektif ia sampaikan kritik itu dengan kalimat tak langsung, dengan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan. Dengan cara itu si penyampai dan si penerima kritik seolah-olah sudah saling memahami substansi kritik itu.

Secara perlahan cara-cara demikian itu seolah menjadi etika kritik sosial bangsa kita. Orang tampak begitu mementingkan cara daripada substansi. Orang tampaknya tak perlu khawatir bahwa dengan cara itu substansi kritik tidak dapat ditangkap sebagaimana mestinya. Penyelimutan kritik mengesankan bahwa kritik menggandung virus distruktif yang karena itu harus dilakukan "imunisasi" lengkap jauh sebelum pembuahan berlangsung agar ia tidak menggerogoti kekebalan tubuh.

Di tingkat pemerintah "penghalusan bahasa" telah menjadi fenomena yang khas; kenaikan harga dibahasakan dengan penyesuaian; kemiskinan menjadi tertinggal; korupsi atau manipulasi disebut sebagai penyimpangan prosedur, dan seterusnya. Kecenderungan eufemisme ini menurut Ben Anderson sama ambiguitasnya dengan bahasa yang dipakai para "priyayi" untuk menghindar dari "kekerasan" realitas. Lewat bahasa yang digunakannya para petinggi negara bukan hanya menyembunyikan atau menciptakan realitas, tetapi juga bersembunyi dari realitas yang sesungguhnya.

Bahasa sebagai sistem simbol agaknya sudah terjerat dalam kerangkeng legitimasi negara; mengalami kolonisasi. Akibat yang ditimbulkan oleh kolonisasi simbolis ini membawa konsekuensi kekacauan dan peluluhan daya hidup yang luar biasa. Secara sederhana Edward Sapir yang dikutif Yudi Latif (1996) menyatakan, "manusia hidup dalam dunia realitas. Dengan bahasa ia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tapi juga"membentuk" realitas. Itu berarti, upaya pengendalian agenda dan defenisi publik tentang realitas dapat dimulai lewat penguasaan dan manipulasi medan simbolis. Dan dominasi dunia simbolis itu berarti penaklukan dunia kita dalam arti sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya".

Dalam konteks itulah Kuntowidjoyo pernah menyatakan bahwa rekayasa simbolis selalu masuk dalam program setiap kekuasaan, karena penguasa tidak akan lestari di tempatnya kalau kehilangan kontrol alas dunia simbolis. 

Published: July 27, 2016

No 31 Tahun 1996

Beberapa tahun silam, masyarakat Indonesia sangat akrab dengan istilah "tinggal landas". Ini dikaitkan dengan tahap pembangunan ekonomi Indonesia, yang digambarkan sebagai tahap untuk tunbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri, dalam menuju rmsyarakat adil dan makmur. Istilah ini kemndian menjadi term yang akrab di segala lapisan, menjadi konsumsi bahan pidato para pejabat tinggi hingga ke level paling bawah, dikutip hampir setiap hari oleh media massa. Namun wujud konkret, atau kondisi pada masa tinggal landas itu sendiri mungkin tak pernah secara pasti difahami oleh khalayak luas. Mereka mungkin tak pernah pula memikirkan bagaimana sebenamya kondisi pada waktu tinggal landas itu. Memang istilah itu menjadi sangat abstrak dan kualitatif rumusannya, walau sebenamya istilah aslinya, take off, yang dimunculkan oleh WW Rostov, mempunyoi besaran kuantitatif yang cukup jelas.

Kmi istilah tinggal landas, yang eranya menurut ukuran "formal" pemerintah sudah kita masuki, sudah jarang terdengar. Yang bergema saat ini adalah term globalisasi, regionalisosi dan lebih luas lagi: liberalisasi ekonomi. Masyarakat pun kini akrab dengan AFTA, APEC maupun GATT/WTO. Ini sebagai akibat kerapnya istilah-istilah itu muncul dari mulut para pejabat, pengusaha, para wakil rakyat, atau sekedar ucapan di warung kopi.

Namun berbeda dengan istilah "tinggal landas", yang lebih bernuansa domestik. istilah globalisasi, regionalisasi dan liberalisasi lebih berdimensi internasional. Karena yang tersirat dari ketiga istilah tersebut adalah suatu kesepakatan yang sifatnya multilateral, yang akan mempengaruhi negara anggotanya. Jadi, ini bersifat lebih nyata dan mudah dibayangkan. Tidak terlalu abstrak.

Walau wujud kuantitatifnya tidak selalu muncul, orang bisa mcmbayangkean apa yang terjadi pada saat liberalisasi ekonomi, atau persaingan ekonomi yang lebih bebas merambah dunia, dan termasuk Indonesia. Orang bisa membayangkan, apakah konglomerat kita, yang akrab dengan proteksi dan banyak disebut sebagai "jago kandang" bisa bertahan? Bagaimana pula unit-unit usaha menengah dan kecil, yang modalnya lemah, tanpa perlidungan berarti bisa kompetisi dengan pengusaha dari mancanegara ? Bagaimana pula sumber daya manusia, yang sisi pendidikan dan ketrampilannya masih rendah, bersaing dengan tenaga kcrja dari negara lain?.

Akan sangat banyak daftar pertanyaan yang berhubungan dengan era persaingan bebas tersebut, dikaitkan dengan kesiapan dan kcmampuan kita saat mi. Melihat berbagai kinerja ekonomi Indonesia dewasa ini, sebagian ekonom tetap yakin Indonesia bisa memetik manfaat pada era liberalisasi ekonomi, yang akan terjadi pada dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-21 nanti. Namun, tidak sedikit pula yang memandang masa tersebut dengan sikap skeptik, bahkan pesimistik. Pandangan-pandangan demikian, didasari oleh asumsi-asumsi dengan melihat kondisi fakta ekonomi saat ini, dan berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah;

Pandangan-pandangan tersebut, yang semuanya masih bisa didiskusikan lebih lanjut, dimunculkan dalam UNISIA edisi ini. Apapun pandangan yang muncul, tampak ada satu benang merah dari pandangan tersebut, yakni : suatu tantangan yang berat pasti dihadapi oleh ekonomi Indonesia dalam jangka pendek ini agar dapat memetik manfaat dari era liberalisasi ekonomi tersebut. Dan, bisa jadi ada pembaca yang tidak sepakat dengan pandangan tersebut. Untuk itu, UNISIA menanti pandangan lain untuk mengisi rubrik tanggapan yang akan diterbitkan pada edisi mendatang.

Published: July 27, 2016

No 30 Tahun 1996

Krisis dan Kekerasan

DALAM sejarah peradabannya, manusia tak pemah membuktikan dan membanggakan kemampuannya di segala bidang scperti abad ini. Salah satu diantaranya adalah bidang teknologi. Tidak pernah dalam sejarahnya teknologi mencapai ketinggian puncak prestasi seperti zaman ini pula. Dengan teknologi manusia pada hampir semua negara di zaman ini bisa berbuat apa saja terhadap alam dan lingkungan. Akan tetapi berbarengan dengan itu tidak pernah ada kata yang begitu menguasai perbendaharaan bahasa dalam kcbudayaan zaman ini dari pada kata krisis dan kekerasan.

Kata yang begitu mencemaskan dan menakutkan itu tidak menunjukkan lain daripada konstruksi manusia atas implikasi dari pemujaan teknologi, pengurasan energi, pengejaran pertumbuhan optimal dan konsumsi maksimal, sekaligus tumbuhnya suatu kesadaran bahwa manusia berada di simpang jalan menuju dua kemungkinan akan pilihan-pilihan yang menentukan hidup atau mati. Yang menjadi kecemasan tahap pertama dan menentukan kelanjutan hidup manusia sekarang ini adalah nafsu eksploitasi atas alam yang kian tak terkekang dan menimbulkan krisis-krisis besar pada berbagai aspek sumber daya, yang mulai menjadi bibit konflik-konflik kekerasan pada berbagai dimensi di berbagai kawasan.

Eksploitasi atas alam juga membuat keseimbangan alam dan lingkungan terganggu. Ia tak lagi dapat berfungsi normal sebagai penyejuk, penyeimbang dan tempat manusia merebahkan diri dengan aman dan nyaman. Ia justru telah menjadi faktor penting meningkatnya emosionalitas segenap penghuni jagad ini sehingga rosionalitas itu pula yang acap kali digunakan untuk merasionalisir keputusan-keputusan nafsu dan emosioruilitas lebih lanjut. Semua itu menunjukkan, bahwa pada saat manusia menepuk dari di puncak tcrtinggi keberhasilannya, di puncak yang sama juga manusia mengalami kegagalannya. Dan kegagalan tersebut adalah akibat langsung dari suatu kcberhasilan yang juga mcnjadi langkah pertama menuju bencana. itulah paradok, bahwa bencana yang muncul dan yang akan muncul bukan karena kelemahan akan tetapi karena kekuatan. Bencana yang timbul bukan karena kegagalan tetapi karena keberhasilan.

Sayang sekali, kata krisis dan kekerasan yang mencemaskan dan menakutkan itu menjadi terkesan tak mencemaskan dan tak menakutkan karena rasionalitas manusia modern amat canggih mereduksi problematika yang mengancam hidupnya sendiri, atau meminjam istilah Myrdal sangat tmggi kemampuan diplomasi terminologinya. Masalah lingkungan hidup seolah soal sampah, soal buangan industri, pencemaran alam yang karena itu adalah soal bagaimana memelihara dan melestarikan alam, seal penghijauan dan penghutanan kembali. Mereka lalu berbicara dan menganjurkan meta industrial village, mencari desa, kembali ke suasana desa di luar masyarakat industri, diseberang masyarakat industri dimana cinta dan kebersamaan masih berarti.

Itulah romantisme manusia zaman ini; tak beda jauh dengan romantisme Hitler ketika ia bicara cinta dan keindahan di saat ia menghancurkan kota-kota dan menghabiskan nyawa manusia. Galtung heran "mengapa orong-orong yang bertanggung jawab terhadap sistem sekarang lebih suka bicara tentang kekurangan sumber alam ketimbang struktur dari sistem itu. Lingkungan hidup kata Galtung bukan semata-mata sarana, tempat bagi kelangsungan hidup manusia, tetapi juga merupakan Lebenswelt, yaitu medan yang memungkinkan manusia berkarya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun kebudayaan.

Pembaca budiman! Mulai edisi ini dan seterusnya Unisia sedikit mengalami perubahan manajemen dan redaksional sebagai upaya kamu menjadikannya salah satu referensi penting para pembaca. Mudah-mudahan persiapan yang cukup lama menunda salah satu terbit ini dapat memenuhi harapan. Topik untuk edisi depan tentang Masa Depan Ekonomi Indonesia.

Terimakasih

Published: July 27, 2016

No. 29
Tahun XVI Triwulan I 1996

Tiada terasa kepengurusan dalam pengelola jurnal kita ini telah berjalan dua tahun. Dengan demikian, sesuai dengan kctentuan yang ada, waka kepengurusan ini akan "disegarkan". Artinya, dalam edisi yang akan datang, pengelola UNISIA ini sudah merupakan wajah-wajah baru, kendati sebagian tetap ada yang berasal dari pengelola sekarang. Dengan demikian, UNISIA No.29 yang tersaji ini merupakan edisi terakhir dari kepengurusan yang akan digantikan tersebut.

 Penyegaran personalia ini didasari pula dari suatu studi kelayakan yang akan merubah orientasi dalam penerbitan jurnal ini. Nantinya, topik-ropik yang akan dimunculkan terutama terkait dengan tema ataupun topik yang aktual dan bcrkembang di kalangan akademis maupun masyarakat, yang akan dikaji secara ilmiah. Dengan penyegaran tersebut tentu saja diharapkan kualitas dari apa yang disajikan dalam media ini akan lebih baik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya, dapat menjadi referensi yang lebih luas bagi kalangan akademis, dan lebih banyak pula pembacanya.  

Dalam edisi kali ini, konsentrasi kajian terutama pada bidang ekonomi dengan aneka topik bahasan, yang  ditulis oleh ekonom dari UlI maupun dari luar Ull. Dr. AR. Karseno, misalnya, menyajikan tentang Masalah  Kemitraan dalam Industri Kecil. Karseno secara analitis mengemukakan kelemahan program kemitraan yang juga  menimbulkan implikasi negatif terhadap industri kecil, berupa ketergantungan dan yang lebih memprihatinkan lagi  terjadinya eksploitasi terhadap mereka. Walaupun tidak memungkiri adanya keuntungan yang dirasakan oleh  industri kecil dari program kemitraan tersebut, dalam perspektif kedepan - dimana kondisi perekonomian dalam  tekanan perdagangan internasional dan GAJT/WT.O - Karseno mengkhawatirkan akan berpalingnya perhatian  pemerintah kearah industri-industri besar domestik maupun asing. 

Sementara itu Suwarsono membahas isyu yang saat ini banyak didiskusikan di kalangan ekonom, yakni  masalah liberalisasi ekonomi. Bagi kita tentunya liberalisasi ekonomi ini tidak bisa dihindarkan lagi, sejalan  dengan perkembangan ekonomi global yang ada, serta keterikatan Indonesia pada berbagai komitmen internasional,  seperti dalam AFTA, APEC serta dalam Putaran Uruguay. Karenanya, menurut PD I FE UIl ini, kini bukan saatnya  lagi membicarakan perlu tidaknya liberalisasi ekonomi. Yang perlu dilakukan adalah aksi untuk menghadapi  persaingan ekonomi yang serba bebas tersebut. Namun walaupun sebenarnya gema liberalisasi itu sudah cukup  lama, ternyata Indonesia masih menghadapi kendaia struktural yang justru muncul dari masih dominannya intervensi  pemerintah dalam keputusan-keputusan ekonomi tertentu, sehingga justru menimbulkan distorsi dalam perekonomian. 

Dalam bidang perbankan, sebagaimana tersirat dalam tulisan Sutrisno, liberalisasi ini dalam cakupan  terbatas sudah mulai dilakukan sejak munculnya paket deregulasi moneter tanggal 27 Oktober 1988. Deregulasi  yang memberikan sektor perbankan bersaing lebih bebas, dan kran izin ekspansi perbankan dipermudah, telah  menghasilkan terjadinya pergeseran dalam peta kekuatan perbankan nasional. Jika tadinya pasar perbankan  Indonesia didominasi oleh bank-bank pemerintah, sekarang berbalik didominasi oleh bank-bank swasta. 

Namun demikian perkembangan pesat di sektor perbankan ini juga telah beberapa kali menimbulkan akibat  berupa memanasnya perekonomian nasional, yang ditandai oleh inflasi yang tinggi. 

Dikaitkan dengan kesiapan sumber daya manusia, Nur Feriyanto melalui tulisannya memaparkan begitu  pentingnya peningkatan kualitas SDM negara bcrkembang terutama dalam hal transfer teknologi. Untuk itu,  sebagai kesiapan menghadapi perekonomian dunia yang semakin mengglobal, maka diperlukan adanya kebijakan  yang dapat mendukung kearah pencapaian kualitas SDM sesuai tuntutan perubahan ini. Hal ini didasari dari  pengalaman banyak negara yang menunjukkan bahwa investasi modal manusia di negara bcrkembang mempunyai.  Manfaat yang lebih besar dalam meningkatkan pendapatan nasional dibandingkan dengan modal fisik. 

Dalam bidang ekonomi ini, dimuat pula tulisan Supardi yang mengkaji aspek organisasi dan pengembangan  sumber daya manusia, serta tulisan Amir Mualim yang mengupas masalah gerakan ekonomi umat dan Arif Hartono  yang mencoba menangkap spirit reformasi dan kemunculan Bank Muamalat Indonesia. Di samping itu, di luar topik  ekonomi, pada edisi ini dimuat pula antara lain tulisan dari M. Rush Karim tentang erosi nilai: agama dalam masyarakat, Muntoha tentang posisi ijtihad dalam hukum Islam, Moh. Mahfud mengenai judicial review danjuga  lanjutan tulisan Akhmad Minhajidari Unisia cdisi sebelimnya. 

Seperti biasanya, dalam setiap edisi ditampilkan pula ringkasan penelitian dan Resensi Buku. Untuk itu  disajikan sebuah hasil penelitian mengenai proses transformasi struktural di Pulau Batam, yang kini terus  dikembangkan sebagai kawasan industri besar di tanah air. Pola pembangunan yang tampaknya akan dijadikan  sebagai salah satu model pengembangan industri secara cepat ini, ternyata menimbulkan berbagai dampak yang  negatif. Sementara untuk resensi menampilkan buku yang membahas bagaimana spirit kewiraswastaan bisa diterapkan  secara kreatif, hidup dan menarik pada sektor publik karya dari David Osborne dan Ted Gaebler. 

Demikianlah sepintas apa yang disajikan dalam edisi ini. Secara lebih mendalam tentunya pokok pikiran  tersebut akan lebih lengkap termuat dalam jurnal ini. Dan terakhir, untuk edisi yang akan datang, bagi yang  berminat untuk menyumbangkan makalahnya, topik utamq direncanakan berkaitan dengan kajian terhadap  perkembangan Inpres Desa Tertinggal. Pengelola tentunya sangat berterima kasih jika ada dari pembaca yang  menyumbangkan naskahnya untuk dimuat dalam edisi tersebut. (Edy S.Hamid&ArifH) 

Published: July 21, 2016

No. 27
Tahun XV Triwulan III 1995

Ada adagium mengatakan : "Siapa yang menguasai informasi dialah yang menang". Adagium ini tak hanya berlaku secara domestik, melainkan secara global. Secara gampang bisa dilihat, negara-negara yang kini menjadi raksasa dunia adalah negara yang mempunyai akses memperoleh dan menyebarkan informasi yang sangat  luas. Mereka menguasai teknologi informasi, menyebarkan dan menyuarakan opininya kepenjuru dunia sejalan dengan misinya, menyerap informasi dari berbagai penjuru.dan sebagainya.

Dalam kasus lokal, misalnya, jika ada pemberontakan ataupun kudeta, yang segera dilakukan oleh pelaku pemberontakan adalah menguasai media informasi, seperti radio, televisi, ataupun surat kabar. Tujuannya tak lain menginformasikan dan membentuk opini masyarakat agar mendukung pemberontakannya. Bahkah, dalam suatu kampanye pemilihan umum para kontestan yang punya akses memanfaatkan informasi yang besar, berpeluang paling besar pula untuk menang.  

Adalah sangat banyak contoh yang bias ditunjukkan tentang pentingnya penguasaan informasi tersebut. Yang pasti, kini orang sudah menyadari hal itu dan berlomba-lomba untuk menguasai, memperoleh dan menyebarkan informasi, Dan berbagai aspekyang berkaitan dengan informasi inipun berkembang semakin cepat.

Informasi kini sudah berkembang menjadi suatu industri. Sebagai suatu industri maka aspek bisnis pun menjadi kian menonjol. Ambil contoh, dunia pers atau media massa. Persaingan antar media massa sudah sangat ketat. Persaingan untuk memperoleh dan menyebarkan berita, misalnya, bukan saja dalam hal isi beritanya itu sendiri, melainkan juga akurasinya, kecepatannya, eksklusivitasnya, dan sebagainya. Hal demikian telah menyebabkan media massa berlomba pula dalam menggunakan teknologi informasi yang canggih untuk memenangkan persaingan tersebut agar dapat menarik pembaca, pendengar atau pun pemirsa sebanyak mungkin. Banyaknya konsumen bukan saja berarti banyaknya pelanggan, tetapi juga banyaknya pemasang iklan yang berarti memperbesar pula keuntungan yang dimiliki. Jadi informasi sudah menjadi komoditi bisnis yang menguntungkan pula.

Dalam kaitan itu pula kali ini UNISIA bersama Fakultas Teknologi Industri Ull mengadakan seminar bertema: "Kontribusi Teknologi Informatika dalam Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Nasional". Beberapa pakar diundang dalam forum terbatas tersebut, antara lain: Dr. Jazi Eko Istiyanto dan Dr. Chairil Anwar dari UGM, Dr. Moses L. Singgih dari Unair, Ir. Erlangga Fauza MSc serta Ir. Faisal, MS dari Ull. Tinjauan tak hanya dari sisi teknologis belaka, melainkan juga dari sisi agama dan etika kerja Islam, yang disampaikan oleh Ir. RHA Syahirul Alim MSc.

Sebagian makalah dan jalannya dialog dalam seminar tersebut dimuat secara penuh dalam edisi ini. Melengkapi tema utama tersebut, disajikan pula tulisan tentang masalah yang berkaitan dengan aspek konsentrasi industri di tanah air, masalah lingkungan, sektor informasi, dan sebagainya.

Demikianlah dengan penyajian tema ini diharapkan semakin memperkaya khasanah pemikiran kita mengenai masalah informatika ini. Harus diakui bahwa bangsa kita telah tcrtinggal jauh dalam hal akses maupun penguasaan teknologi informatika tersebut. Namun demikian dengan segala upaya yang dilakukan, termasuk melakukan pengkajian pengkajian dan penyebarluasan pengkajian tersebut, diharapkan dapat memperkecil ketertinggalan tersebut, sehingga membawa bangsa ini terus maju ke depan dan dapat mensejajarkan diri dengan negara industri saat ini.

Seperti biasanya, dalam kaitan dengan pengembangan isi jurnal ini, kepada para pembaca diharapkan kritik dan sarannya serta partisipasinya dalam menyumbangkan tulisan-tulisan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Sebagaimana diketahui, setiap edisi selalu memunculkan tema utama. Namun demikian beberapa tulisan di luar tema utama diserahkan kepada Fakultas Syariahl Tarbiyah, dan karenanya kontribusi tulisan yang berkaitan dengan aspek tersebut sangat diharapkan (E. Suandi Hamid)

Published: July 20, 2016

No. 26
Tahun XV Triwulan II 1995

Kendati telah banyak dikoreksi logika Adam Smith bahwa liberalisasi perdagangan internasional membawa keuntungan kesejahteraan bagi negara secara keseluruhan, telah diyakini sebagian besar negara-negara di dunia. Sejarah telah menyajikan bukti-bukti pendukung logika tersebut  ketika tembok-tembok proteksionisme berdiri kokoh, malapetaka perekonomian dunia, yang berimbas kepada negara-negara, tidak terhindarkan. Dengan demikian --dalam alur logika tersebut di atas-- liberalisasi perdagangan internasional telah menjadi conditio sine qua nan.

Prediksi teoretik bahwa trend perdagangan internasional sudah dan sedang menuju ke sana-ke arah liberalisasi— tanpa tindakan sengaja negara-negara sekalipun, tidak cukup memuaskan. Oleh karena itu, negara-negara masih menganggap perlu untuk senantiasa mencurahkan banyak potensi untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan bersama guna mempromosikan terlaksananya liberalisasi perdagangan internasional tersebut.  

Liberalisasi perdagangan internasional sesungguhnya tidak diupayakan melalui instrument ekonomi perse, tetapijuga melalui instrumen hukum. Fenomena terbentuknya beberapa blok perdagangan regional dan General Agreement on Tarriff and Trade (GATT), yang pada Putaran Uruguay menghasilkan Final Act Embodying the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations dan melahirkan World Trade Organization (WTO), sebenarnya merupakan upaya sengaja negara-negara melalui instrumen hukum untuk memacu agar liberalisasi perdagangan internasional terwujud sesegera mungkin.

Rekayasa perdagangan internasional melalui instrumen hukum tersebut secara normatif akan berimplikasi, tidak hanya segera akan membawa pergeseran struktural dalam organisasi perekonomian global, tetapi juga akan membawa perubahan terhadap struktur dan karakteristik hukum itu sendiri. Implikasi yang lebih luas, pergeseran struktur perekonomian global tersebut akan bersentuhan, (kalau bukan berhadapan) dengankonsep New International Economic Order (Tata Ekonomi Internasional Baru); apakah liberalisasi perdagangan akan mendukung terciptanya tata ekonomi internasional yang lebih berkeadilan. Sedangkan perubahan struktur dan karakteristik hokum pun akan berkaitan dengan harmonisasi hukum baik pada dataran global maupun nasional; apakah hukum yang berwatak akomodatif terhadap perdagangan bebas tersebut, akan merupakan hukum yang juga berwatak keadilan.

Persoalan-persoalan tersebutlah yang diangkat sebagai topik utama UNISIA edisi kali ini. Topik utama tersebut sebelumnya telah dikaji dalam suatu diskusi terbatas "Peran Hukum dalam Liberalisasi Perdagangan Internasional" dengan menghadirkan beberapa nara sumber baik dari kalangan hukum sendiri seperti Erman Rajagukguk, S.H.,LLM.,PhD, Nandang Sutrisno, S.H., LLM.,M.Hum., Ridwan Khairandy, S.H. dan Drs. H. Abdurrochiem maupun dari kalangan ekonomi seperti Dr. Anggito Abimanyu dan Drs. Edy Suandi-Hamid, MEC. Tulisan-tulisan lain, seperti yang berasal dari Sefriani, SJi., Dra. Sri Wartini, S.H. dan Iain-lain, meskipun tidak didiskusikan, namun sangat representative Untuk disimak. (NS)

Published: July 20, 2016

No. 24
Tahun XIV Triwulan IV 1994

Mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama islam. Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau sebagian besar rakyat pun menginginkan norma-norma Islam mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, yang mempengaruhi pola berpikir ataupun bertindak dari masyarakat tersebut. Lebih dari itu, agama Islam pun diharapkan bisa menjawab masalah riel yang ada dalam masyarakat, yang sekarang ini sedang dalam proses industrialisasi. Harapan ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena agama Islam memang mengandung ajaran komperhensif dan mengait pada setiap aspek kehidupan makhluk.

Dalam edisi kali ini, UNISIA mencoba mengangkat topik utama yang berkaitan dengan masalah proyeksi kehidupan sosial dalam era industrialisasi. Seperti biasanya, mendahului penerbitan ini, diadakan diskusi terbatas yang melibatkan beberapa pakar yang relevan denganpokok bahasan tersebut. Antara lain dijadikan nara sumber adalah Dr. Juhaya S Praja dari IAIN Bandung, Dr. Chairil Anwar, Sekum ICMI Orwil DIY, Drs. Syafaruddin Alwi MS, Drs. Soeroyo MA, dan pembicara lainnya.  

Industrialisasi menyangkut suatu proses perubahan, yang kalau kita lihat di Indonesia hal ini berkait dengan terjadinya tranformasi struktural dari masyarakat agraris ke industri. Ini memang menyangkut suatu yang kompleks. Perubahan tersebut, menurut Dr. Juhaya, menggiring masyarakat yang hidup pada era industrialisasi untuk patuh dan taat dengan nilai masyarakat industri. Padahal, nilai tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh masyarakat agraris. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya interpretasi nilai-nilai keagamaan yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam yang berpuncak pada tauhidullah dan tauhiidul ummah.

Persoalan lain yang mungkin muncul dalam industrialisasi adalah masalah pengangguran, ketimpangan pendapatan dan merajalelanya kemiskinan. Aspek itu, menurut Syafaruddin Alwi, sebenarnya sudah dibahas semua dalam agama Islam. Misalnya saja, diajarkan tentang prinsip keseimbangan yang di dalamnya mengatur dengan jelas distribusi pendapatan, hubungan antar-manusia, yang kalau diterapkan maka tak mungkinmuncul ketimpangan ataupun kemiskinan.

Jadi, dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam pembangunan, maka berbagai dampak negatif pembangunan ataupun industrialisasi itu, sebenarnya tidak perlu terjadi. Pengintegrasian ini, menurut Zaenal Abidin SH. sangat tergantung pada sikap dari pemuka agama dan pemerintah.

Untuk mendukung industrialisasi maka dituntut pula adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), yang juga diharuskan oleh Islam untuk dipelajari. Namun sayangnya, seperti ditulis oleh Dr. Chairil Anwar, di negara yang banyak penduduk muslimnya, termasuk Indonesia, masih kurang dalam mengembangkan Iptek tersebut.

Tentu saja masih banyakpemikiran yang berkaitan dengan topik tersebut muncul dalam edisi ini, Dan diluar topik utama tersebut, dimuat pula teori Al Ghazali mengenai pemerintahan, masalah pengembangan industri tekstil, dan kajian mengenai konfigurasi hukum Islam modern  Untuk edisi yang akan datang, tema utama UNISIA adalah berkait dengan masalah konglomerasi dan kasus ketidaksempurnaan pasar yang berupa monopoli dan oligopoli. Jadi, titik berat kajiannya adalah bidang ekonomi. Namun demikian, seperti biasanya, diperlukan pula tinjauan dari bidang ilmu lainnya, seperti tinjauan hukumnya. Oleh karena itu, diharapkan kontribusi pembaca untuk berpartisipasi membuat kajian tertulis sehingga dapat dimuat dalam UNISIA berikutnya (esh).

Published: July 20, 2016

No. 23
Tahun XIV Triwulan III 1994

Fenomena gempa bukanlah hal yang baru. Gempa merupakan gejala alam yang sudah berlangsung cukup lama, bahkan merupakan peristiwa yang tersurat da'am Al Our-an walaupun ilmu yang dibawa AlQur'an menyatakan bahwa gempa adalah salah satu ujud peringatan atau ujian Allah SWT yang ditujukan kepada ummatnya. Namun tidak berarti manusia hanya pasrah diri menerima tanpa upaya menanggulanginya.

Sesuai dengan tugas manusia di bumi adalah sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kemaslahatan ummat, maka perlu mulai mengusahakan sedemikian rupa gempa yang terjadi tidak diterjemahkan sebagai laknat yang tidak tertanggulangi, namun merupakan gejala alam yang harus diusahakan agar pengaruh negatif gempa tersebut menjadi sekecil mungkin. Oleh karena itu dalam prinsip pembangunan, perencanaan bangunan diharapkan bangunan tidak mengalami kerusakan apabila terjadi suatu gempa kecil. Apabila terjadi gempa sedang maka bangunan tersebut diharapkan hanya terjadi kerusakan nan struktur baru bila terjadi gempa besarmaka bangunan yang direncanakan dapat terjadi kerusakan struktur tetapi tidak terjadi keruntuhan.

Namun demikian, ternyata gempa yang terjadi dari waktu ke waktu masih sangat jarang yang tercatat menjadi data yang komplit, sehingga rumus pendekatan yang digunakan untuk menghitung gaya gempa yang terjadi kurang akurat. Kondisi  tersebut makin Nampak jelas karena rumusan-rumusan perhitungan gempa pada dasarnya belum dapat mengakomodasikan semua variabel yang berpengaruh akibat terjadinya gempa, maka dari itu perhitungan pengaruh gempa masih perlu disempurnakan dan diusahakan untuk lebih praktis agar dapat digunakan oleh para praktisi dalam perencanaan suatu bangunan. Misalnya, terjadinya gempa yang cukup besar beberapa waktu yang lalu, baik di Lampung Barat pada 16 Februari 1994, yang hanya 6 detik sudah memporak porandakan seluruh kota Liwa dan sekitarnya, serta gempa di pantai banyuwangi yang mampu menimbulkan gelombang Tsunami yang cukup besar pada bulan Juni 1994 yang mengakibatkan karamnya perumahan nelayan di sepanjang pantai. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh gempa ini mempunyai sifat perusak yang sangat besar.

 

Sesuai dengan awal bahasan  bahwa gempa bukanlah laknat Allah tetapi merupakan fenomena alam yang haras dipelajari dan diusahakan uhtuk ditanggulangi, setidak tidaknya untuk mengurangi factor risiko menjadi sekecil mungkin. Berpijak dan kejadian itulah maka nampaknya membicarakan masalah gempa menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Mengingat bahwa peraturan tentang gempa masih relative baru di Indonesia, maka tinjauan terhadap gempa dan penanggulangannya ini akan dapat memberikan kontribusi dalam penyempurnaan peraturan tentang bangunan tahan gempa ataupun penyempurnaan dalam perencanaannya.

 

Dalam kaitan itu, maka UNISIA kali ini mengangkat topik "Gempa dan Penanggulangannya" sebagai bahan kajian. Dan seperti biasanya, diadakan seminar sehari, yang kali ini dilaksanakan bekerjasama dengan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII. Seminar melibatkan para pakar yang berasal dari Jakarta, Bandung maupun Yogyakarta.

 

Dr. Bambang Suhendro, misalnya dalam seminar ini mencermati tentang bencana Tsunami yang memang acap kali menerpa bumi Indonesia. Menurut catatannya, sejak tahun 1900, sudah terjadi lO kali bencana gempa tsunami di Indonesia. Dari makalahnya, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya banyak upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi bencana tsunami ini.

 

Sejalan dengan pembangunan di Indonesia, maka bangunan-bangunan pun bermunculan. Dalam membangun ini maka jelas harus diperhitungkan kemungkinan terjadinya bencana gempa tersebut apalagi untuk bangunan bertingkat tinggi yang kini banyak bermunculan sebagai akibat terbatasnya lahan. Tanpa perhitungan yang mendalam. maka bangunan bertingkat tinggi sangat retan terhadap gempa. Dalam artikel yang ditulis Dr. Adang Surahman, Dr. Dradjat Hudayanto dan Ir. Suharyanto MSCE, dikaji secara sistematis dan detail aspek-aspek yang berkaitan dengan bangunan bertingkat tinggidan gempa tersebut.

 

Seperti biasanya, disamping artikel yang menyangkut tema mama, pada UNISIA kali ini juga dimuat artikel yang berkaitan dengan masalah ekonomi, agama maupun bidang lainnya.Mudah-mudahan memberikan tambahan referensi ilmiah yang bermanfaat bagi kita semua semoga. (Harsoyo/Esh)

Published: July 20, 2016

No. 22
Tahun XIV Triwulan II 1994

Naiknya pemerintahan orde baru menggantikan pemerintahan orde lama ditandai dengan beberapa slogan politik tentang komitmen orde baru terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar l945 secara murni dan konsekuen. Orde baru membuat komitmen menengakkan rule of law.

Seiring dengan berhasilnya pembangunan nasional, kesadaran hokum masyarakat juga mulai meningkat dan mengakibatkan masyarakat menjadi semakin kritis dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Tuntutan akan keadilan makin meluas, yang kadangkala mengakibatkan sikap sebagaian masyarakat yang kurang menghargai hukum. Disamping itu, dirasakan pula adanya tindakan aparatur negara yang mencerminkan kurangnya kesadaran dan penghayatan terhadap hukum, padahal hukum tidaklah hanya semata-mata ditujukan kepada masyarakat, tetapi juga kepada setiap penyelenggara negara.

Sinyalemen tersebut diatas tampak terlihat dalam berbagai kasus yang akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan. Adanya kolusi antara pengusaha Golden Key Group dan perbankan,bahkan melibatkan beberapa (mantan) pejabat tinggi negara. Kolusi semacam ini telah melibatkan kalangan birokrasi dalam berbagai level. Dunia peradilanpun rupanya tidak luput dari sorotan adanya kolusi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam peradilan, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Kasus terakhir yang sekarang ini sedang menjadi sorotan masyarakat adalah kasus peradilan Marsihah dan kasus restitusi pajak di Pengadilan Negeri Surabaya. Peristiwa semacam ini mengingatkan kembali ,santernya "Issu mafia peradilan".

Atas dasar beberapa kecenderungan tersebut di atas itulah, sejumlah ahli hukum yang berkesimpulan, bahwa slogan menegakkan the Rule of Law yang dulu menjadi komitmen Orde Baru telah mengalami distorsi. Bahkan, lebih ekstrim lagi ada yang berkesimpulan sesungguhnya kepastian hukum saat ini hanyalah mitos. Penegakan hukumyang efektif harus didukung adanya kepastian hukum. Lebih dari itu eksistensi dan manifestasi kepastian hukum masih pula bergantung pada orientasi, visi politik, moral dan ekonomi para hakim yang menangani kasus-kasus yang ada.

Di tengah-tengah suasana distorsi inilah kita mesti secara kritis mempertanyakan ulang sejauh mana orientasi orde baru dapat dikembalikan kepada relnya, dan bagaimana pula menemukan solusinya? Kemudian bagaimana pula mengubah kritik yang provokatif tersebut menajdi kritik yang konstruktif. Untuk itulah patut disambut gembira komitmen Pembangunan Lima Tahun (Pelita) Keenam akan peningkatan penegakan hukum dan pembinaan aparatur hokum serta peningkatan dan prasarana hukum. Komitmen tersebut kemudian dijabarkan pada Rencana Pembangunan lima Tahun (Repelita) Ke-enam Menurut Repelita tersebut, pembangunan aparatur hokum dilaksanakan melalui pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi hukum agar aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya secara professional. Kualitas dan kemampuan aparat hukum harus dikembangkan melalui peningkatan kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan profesionalnya maupun kesejahteraanya, serta didukung sarana dan prasarana yang memadai. Kualitas tersebut harus tercermin dalam sikap yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan, berwibawa dan bertanggung jawab dalam perilaku dan keteladanan.

Arah baru pembangunan hokum dalam Pelita dan Repelita Ke-enam merupakan tantangan sekaligus peluang memantapkan kembali semangat penegakan rule of law, penegakan hukum. Untuk maksud itulah, Majalah Unisia dalam edisi ini menampilkan kajian mengenai penegakan hokum yang meliputi kajian dari sudut yuridis ketatanegaraan, hukum administrasi negara yang membahas penegakan hukum pajabat administrasi negara, penegakan hukum dan dunia peradilan dalam perspektif pengacara/konsultan hokum dan hakim kemudian dikaji pula peranan polisi dalam penegakan hukumtersebut. Kemudian ditambah dengan kajian yang mencoba mencermati sumber daya manusia dalam penegakan hukum dan penegakan hukum lingkungan. (R.Khairandy)

Published: July 18, 2016

No. 21
Tahun XIV Triwulan I 1994

Salah satu karakteristik negara berkembang adalah menghadapi problema kemiskimn. Indonesia pun dililit problematik tersebut, yang tercermin dari masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan tersebut. Namun, walaupun kemiskinan ini merupakan masalah yang melekat dalam perekonomian Indonesia sejak hadirnya bangsa Indonesia yang merdeka ini, pembicaraan kemiskinm secara terbuka baru muncul diawal tahun l980-an. Sebelum itu masyarakat termasuk kalangan ilmuan, seakan "tabu" menyibak kemiskinan di tanah air ini. Akibatnya persoalan itu pun tidak bisasecara cepat diatasi.

Sekarang ini keadaannya sudah sangat lain. Orang tidak lagi tabu berbicara mengenai banyaknya penduduk miskin, mencari sebab-sebab kemiskinan, atau mengkritik kebijaksanaan pemerintah yang dipandang malah menimbulkan proses kemiskinan. Iklim yang demikian justru sangat positif, karena masalah yang ada bisa dikaji dan dipecahkan bersama-sama. Orang lebih banyak mendiskusikan untuk mencari jalan keluar yang dipandang tepat. jadi, dapat diduga keberhasilan menurunkan secara cukup besar jumlah penduduk miskin di tanah air ini, ada hubungannya dengan "kebebasan" untuk mendiskusikan masalah tersebut.

Namun demikian, walaupun secara absolut jumlah penduduk miskin ini sudah menurun, masih saja ada rasa kurang puas. Kita ingin cepat-cepat menghapuskan kemiskinan dari bumi Indonesia ini. Dan ini didukung pula oleh program pemerintah yang pada awal PJP II ini mengintrodusir program baru yang dikenal dengan Inpres Desa Tertinggal. Dalam kaitan untuk menampung berbagai pokok pikiran tentang kemiskinan itu pula majalah UNISIA mengadakan seminar, yang makalah-makalahnya tersaji dalam edisi sekarang ini.

Dr. Djamaludin Ancok melihat, peluang untuk mengentaskan kemiskinan ini sebenamya cukup besar. Syaratnya, kaum miskin diberi peluang yang lebih besar untuk mengurus dirinya sendiri, mempengaruhi keputusan, dan berpratisipasi dalam kegiatan yang mempengaruhi kemampuan ekonomi dan kesejehteraan hidup mereka. Pemerintah, menurutAncok, sejauh mungkin dibatasi pada upaya merealisasikan kehendak masyarakat, penyediaan dana dan prasarana.

Sayangnya, menurut penilaian Dr. Sunyoto Usimn, pemerintah kita selama ini terlalu banyak campur tangannya dalam setiap aktivitas masyarakat termasuk aktivitas produksi. Peran yang sangat menempatkan pemerintah dalam posisi sentral aktivitas pembangunan ini justru tidak begitu kondusif untuk mempercepat proses penanggulangan kemiskinan ini.

Soal kemiskinan ini juga disoroti dari kacamata agama. Dr. Musa Asy'arie menyatakan kemiskinan inidapat memperlemah iman dan membawa kepada kekufuran. Karena itu kemiskinan ini memang perlu dihilangkan, karena merupakan ancaman dan tantangan bagi keberagamaan. Kendati demikian, tidak berarti agama meremehkan orang miskin. Dalam tata pergaulan manusia, semua manusia adalah sama, dan dibandingkan Tuhan semua manusia adalah miskin.

Dalam seminar sehari yang diadakan tersebut, muncul pula pemikiran-pemikiran tentang kemiskinan ini dari Syafaruddin Alwi, Bachruddin, serta pengalaman lapangan dari orang yang banyak terlibat menanggulangi kemiskinan, Dr. Bambang Setiadji dan Imam Nurhidayat. Pengalaman lapangan ini nampaknya perlu kita telusuri dan cermati, karena pendekatan-pendekatan spesifik yang dilakukannya mampu secara langsung membantu mengangkat derajat hidup masyarakat miskin tersebut.

Kontributor karangan lain, yang kita tampilkan pada edisi ini adalah makalah Prof. Dr. Nurimansyah Hasibuan. Secara khusus ia menyoroti perah sektor informal dalam mengatasi kemiskinan ini. Rekomendasinya yang cukup menarik agar peran sektor informal ini berkembang adalah diperlukannya bank formal untuk sektor informal. Pemikiran lengkap mengenai berbagai sisi kemiskinan ini tentu dapat diikuti dalam artikel yang ada dalam majalah ini.

Seperti biasanya, disamping topik utama lain yang dimunculkan dalam setiap edisi. Kita bisa membaca, misalnya, yang berkaitan dengan masalah teknik, manajemen dan sebagainya.

Dan, mungkin perlu pula diinformasikan, bahwa pada edisi kali ini susunan redaksi sudah mengalami beberapa perubahan. Mudah-mudahan perubahan ini bisa membuat kearah perbaikan. Selamat membaca. (Edy S Hamid)

Published: July 20, 2016

No. 20
Tahun XIII Triwulan IV 1993

Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, material spiritual berdasar Pancasila dan UUD '45. Pembangunan nasional dilaksanakan secara simultan yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pembangunan  Nasional berdasar Pancasila dan UUD 1945 menghendaki keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara sesama manusia, lingkungan dalam sekitar, hubungan antar bangsa, kebahagiaan hidup di dunia serta kebahagiaan hidup di akhirat.

Bercermin pada pengalaman-pengalaman keberhasilan pembangunan bangsa-bangsa lain dan belajar dari pengalaman pembangunan masa lampau di Indonesia maka sangatlah tepat pilihan yang diambil oleh pemerintah bahwa titik sentral pembangunan nasional terletak pada usaha pengembangan sumberdaya manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus obyek pembangunan. Sumber kekayaan alam yang berlimpah, wilayah yang sangat luas dan menempati posisi yang sangat strategis memungkinkan percepatan pencapaian keberhasilan pembangunan apabila dikelola oleh maniisia-manusia Indonesia yang berkualitas. Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, ekonomi, politik, pemerintahan, ketenagakerjaan menekankan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai barometer keberhasilan pembangunan yang tengah digalakkan terutama dalam memasuki pembangunan jangka panjang tahap dua yang akan datang.

Permasalahannya adalah apa dan siapa manusia, kriteria apa yang dijadikan tolok ukur pengembangan sumberdaya manusia serta usaha-usaha apa yang perlu dilakukan dalam pengembangan sumberdaya manusia tersebut. Manusia sebagaimana kita ketahui tidak sekedar sekumpulan daging yang membutuhkan makan dan minum atau yang disebut sebagai "homo economicus" atau sekedar dipersiapkan untuk menjadi pekerja yang ulet dan terampil atau "homo faber", tetapi sekaligus sebagai manusia yang memiliki akal fikiran atau "homo sapien", sebagai makhluk sosial atau "homo socius" sekaligus makhluk individu dan makhluk bertuhan (homo oivinans).

Berbagai konsep pengembangan sumber daya manusia telah dilakukan sejalan dengan persepsi serta teori yang mendasarinya tentang manusia. Faham kapitalisme memandang manusia sebagai "human capital" dan dikaitkan dengan teori modernisasi telah menempatkan manusia sebagai modal produksi dan dikembangkan melalui kebijakan-kebijakan dengan slogan "human invesment". Faham rationalisme menempatkan manusia dalam kualitas "unlimited human being" terutama kemampuan intelektualnya yang dapat direkayasa untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Agama Islam menempatkan manusia dalam berbagai dimensi yang mengarah pada idealisasi manusia yang sempurna penciptaannya. Manusia dalam kontek kejadiannya berasal dari Adam, diciptakan dari tanah dan diberi fiidup dengan "Roch dari Tuhan". Dalam kontek kesejarahan manusia adalah pemimpin dunia diatas ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, ia menjadi "Imam" bagi segala umat manusia. Dalam kontek peran kemasyarakatan, manusia mempunyai peran "Khalifah", wakil Tuhan dan penguasa di muka bumi. Manusia mulia adalah manusia yang mengabdikan segala aktivitas hidupnya dalam kerangka pengabdiannya "ibadat" kepada Tuhan, menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Tuhan dan mengisi hidupnya dengan berbuat kebajikan "amal sholeh".

Diskusi yang diselenggarakan majalah UNISIA kali ini mencoba mengkaji lebih dalam tentang bagaimana Agama Islam memberikan pilihan alternatif dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia dengan menampilkan berbagai fakar di bidang agama, filsafat, budaya, anthropologi, pendidikan serta dari sisi praktek pelaksanaan di Indonesia dewasa ini. Seperti biasanya disamping topik-topik utama dalam edisi kali ini disampaikah pula topik-topik umum lainnya yang sangat penting untuk diikuti, Selamat membaca. (Zainal Abidin)

Published: July 20, 2016

No. 19
Tahun XIII Triwulan 4 1993

Merupakan fakta sejarah bahwa industri pertekstilan merupakan industri yang menjadi pionir dalam proses industrialisasi di banyak negara. Di negara-negara Eropa Barat yang dikenal dengan Revolusi Industrinya, misalnya, diawali oleh lompatan-lompatan kemajuan dalam sektor industri tekstil ini. Hal yang sama juga terjadi dengan Amerika Serikat ataupun Jepang lewat restorasi Meiji yang sangat terkenal itu.

Bagaimana dengan negara-negara Asia —selain Jepang – yang juga gencar memacu proses pembangunan industrinya ? Ternya juga tidak berbeda. Kepesatan pembangunan negara-negara Macan Asia seperti Singapura, Korea Selatan, Hongkong ataupun Taiwan, tidak bisa dilepaskan dari pembangunan industri tekstilnya. Begitu juga Indonesia. Industri tekstil dapat dikatakan sebagai perintis yang juga menarik perkembangan industri lainnya.

Perkembangan tekstil di Indonesia mulanya memang untuk industri substitusi impor. Namun perkembangan lebih lanjut, ia justru menjadi primadona komoditi ekspor Indonesia, dan kini menjadi komoditi ekspor nonmigas yang sumbangdn devisanya paling besar dalam neraca perdagangan Indonesia. Dan Industri ini masih terus diharapkan lebih besar perannya di masa mendatang, baik dalam struktur pendapatan nasional, ekspor maupun penciptaan kesempatan kerja.  

Oleh karena itu, maka wajar kalau kali ini UNISIA mengundang beberapa pihak untuk mengkaji beberapa aspek mengenai pertekstilan nasional ini. Berbicara dalam forum ini para praktisi pertekstilan, seperti Chamroel Japri dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia, ahli ekonomi Industri seperti Dr. Soeratno serta tenaga-tenaga akademik yang sering menggeluti masalah pertekstilan ini. Yang disoroti tidak saja aspek produksinya, melainkan juga aspek teknologiah, pemasaran, penyiapan sumberdaya manusia dan sebagainya.

Ternyata masa depan industri tekstil kita akan menghadapi tantangan yang cukup berat. Dalam hal teknologi, ternyata masih belum mandiri. Bahkan ketergantungan pada luar masih tinggi. Bahan baku pun banyak yang diimpor. Itu dari sisi produksi. Dari sisi pemasaran, proteksionisme pun menghadang di depan. Persaingan juga semakin keras, karena kian tumbuhnya produsen-produsen baru dipasar dunia. Sementara skill labor yang diharapkan dapat mengembangkan produk tekstil ini serta ahli-ahli pemasaran yang sangat dibutuhkan untuk mendukung industri ini sangat terbatas jumlahnya.

Itu sebagian kendala yang harus diantisipasi jika kita mengharapkan terjadinya perkembangan yang terus menerus dari sector ini. Jika kendala itu bisa disingkirkan, maka masa depan industri ini akan sangat menjanjikan. Namun Jika yang sebaliknya terjadi, maka industri ini bisa Jadi akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.

Berbagai pemikiran mengenai pertekstilan ini akan lebih lengkap jika pembaca mencermati makalah-makalah utama dalam UNISIA edisi ini. Dan seperti biasanya, beberapa artikel lainnya di luar topik utama juga disajikan dalam edisi ini. Selamat membaca.  ( Sukarno R/Edy S. Hamid)

Published: July 20, 2016

No. 17
Tahun XIII Triwulan VI 1993

Salah satu isyu yang agaknya masih belum akan hilang selama masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap 11 mendatang adalah isyu tentang ketenagakerjaan. Isyu ini sudah muncul dan sebetulnya juga dijadikan salah satu yang akan digarap secara serius selama PJPTI. Bahkan, soal ini sudah muncul sejak masalah kolonial, khususnya yang berkaitan dengan keterbatasnya kesempatan kerja dan tingginya angkatan kerja yang masuk dalam kategori setengah menganggur tak kentara. Namun sampai saat ini, isyu tersebut belum juga hilang, bahkan terasa semakin menghentak dan memberikan tangan berat bagi perencana ekonomi kita untuk memecahkannya,

Melihat kenyataan tersebut, UNISIA No. 1711993 ini mencoba mengangkat berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah sumber daya manusia tersebut sebagai isyu sentralnya. Dan seperti biasanya, diundang pula pakar-pakar di bidang ini untuk tampil dalam forum diskusi sehari yang diadakan 13 Maret l993. Pengelola majalah ini merasa beruntung bisa menghadirkan beberapa pembicara yang memang sudah ahli dalam bidangnya, baik mereka yang mempunyai posisi dalam pemerintah, akademisi dan juga praktisi. Mereka antara lain adalah Dr. Boediono, Kepala Biro Perencanaan Depdikbud, Dr. Prijono Tjiptoherijanto, mantan Direktur Lembaga Demographi UI dan Staf Ahli Menperdag yang kini menjabat Deputi Ketua Bidang Diklat II pada Lembaga Administrasi Negara serta Dr. Musya Asy'arie pengusaha yang banyak bergelut dengan pengrajin kecil dan koperasi dipedesaan, disamping juga pengajar dari kalangan UII sendiri.

Dalam diskusi tersebut para pembicara dan peserta diskusi tampak secara gamblang menyoroti berbagai dimensi yang berkaitan dengan sumberdaya manusia itu. Serentetan panjang persoalan ketenagakerjaan muncul dalam forum ini, seperti masalah pengangguran yang dirasakan masih akan menyelimuti perekonomian Indonesia, soal penempatan angkatan kerja yang tak sesuai dengan keahlian, tentang kurikulum pendidikan yang dianggap tidak berorientasi pada pasar tenaga kerja, tentang investasi di bidang pendidikan yang dirasakan belum memadai dibandingkan bidang tugas di Depdikbud, kualitas angkatan kerja yang rendah, hingga masalah yang ironis dalam pasar kerja kita, yakni: walaupun jumlah pelamar untuk pekerjaan tertentu sangat banyak, namun yang memenuhi kualifikasi ternyata lebih sedikit jumlahnya dari yang dibutuhkan!

Walaupun soal pengangguran disebut-sebut sepanjang diskusi, anehnya data statistik resmi yang dipublikasikan BPS seakan tidak menunjukkan banyak angkatan kerja yang "tidak bekerja". Dari berbagai publikasi yang ada, ditunjukkan merekayang "tidak bekerja" saat ini kurang dari 1,5%, suatu angka yang sangat kecil dan lebih rendah dibandingkan negara-negara maju sekalipun, atau negara-negara lain yang tidak terlalu risau dengan soal ini. Padahal, awam sekalipun secara mudah menemukan para penganggur di sekitarnya, dan merasakan sulitnya mencari pekerjaan.

Memang angka-angka statistik tentang "tidak bekerja" tersebut bisa menyesatkan jika kita tidak hati-hati melihatnya. Karena pengertiannya memang betul-betul untuk mereka yang sama sekali tidak bekerja, atau bekerja nol jam per minggu. Dengan kata lain, menurut BPS, seseorang itu sudah dianggap "bekerja" kalau ia sudah bekerja selama satu jam saja per minggu. Dengan demikian Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata banyak sekali angkatan kerja kita yang bekerja dibawah jam kerja normal, atau kurang dari 35 jam per minggu. Lebih dari itu, ada kecenderungan  mereka yang tergolong menganggur penuh dan setengah menganggur ini semakin besar jumlahnya.

Persolannya adalah : apakah dalam jangka panjang masalah pengangguran, rendahnya produktivitas dan kualitas tenaga kerja. dan sebagainya itu bisa dipcahkan? Dan "resep" apa yang bisa digunakan untuk mengatasi beragam persoalan yang berkaitan dengan sumberdaya manusia itu? Pertanyaan-pertanyaan ini secara tidak langsung dijawab dalam forum diskusi, dan sebagian tercakup dalam makalah-makalah yang tersaji pada edisi ini.

Berbicara soal sumberdaya manusia, maka tak lengkap jika tidak membahas yang berkaitan dengan peran dan problema yang melekat pada industri kecil ataupun yang bekerja pada sektor informal. Apa masalah yang melingkupi sector yang paling banyak menyerap tenaga kerja industri ini ? Ternyata persoalannya tidaklah sederhana dan sekedar masalah ekonomis melulu, seperti yang banyak dibayangkan orang. Namun, sebagaimana disinggung Musa Asy'arie, masalahnya juga mencakup aspek kultural yang tidak bisa semata-mata dipecahkan dengan pendekatan tekno-ekonomis.

Kita agaknya sangat sulit untuk menjawab semua persolan yang berkatian dengan sumberdaya manusia ini dalam ruang yang sangat terbatas ini, atau hanya dalam sehari  dua hari diskusi. Ia akan menjadi persolan yang terus berlanjut dan agaknya menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk dijawab oleh para menteri yang terkait dengan masalah Ekuin ataupun pendidikan. Ini mungkin PR pertama yang harus dijawab oleh para Menteri Kabinet Pembangunan VI yang baru saja dilantik . (Edy Suandi Hamid).

Published: July 20, 2016

No. 16
Tahun XIII Triwulan V 1992

Suatu kenyataan bahwa mayoritas bangsa Indonesia memeluk agama Islam yang di dalam dinamika kehidupan sehari-hari disamping mematuhi hukum-hukum negara, juga tunduk dan melaksanakan hukum-hukum Islam, terutama dalam kaitan dengan hukum Perdata Islam seperti hukum perkawinan, hukum waris, wasiat, hibah dan jual beli. Bagi Umat Islam Indonesia yang hidup dalam negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, ketaatan pada hukum Perdata Islam, merupakan perwujudan dari keinglnan melangsungkan kehidupan bernegara tanpa mengabdikan perintah Allah, khususnya jika terjadi silang sengketa dalam kehidupan keluarga seperti perkawinan dan warisan, kehidupan bermasyarakat seperti jual beli, hutang piutang dsb.

Bagi bangsa dan negara Indonesia adanya suatu lembaga peradilan sebagai salah satu formulasi perwujudan hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup bangsa adalah keharusan mutlak. Oleh karena itu Peradilan Agama (bacaIslam) yang merupakan salah satu lingkungan Peradilan di Indonesia mempunyai eksistensi yang semakin penting dalam upaya membina dan menegakkan rasa keadilan di dalam kehidupan masyarakat.

Legalitas Peradilan Agama telah cukup lama tertuang dalam UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. PeradilanAgama menurut kedua Undang-Undang tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai Peradilan Negara. Dengan demikian kedudukan dan wewenang Peradilan Agamatelah mantap. Terlebih lagi dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989. Namun dalam realitas, secara fungsional Peradilan Agama pada saat sekarang ini masih mengalami profesional dari para hakim, panitera, jurusita, pengacara dan lain sebagainya. Sehubungan dengan itu permasalahan yang muncul adalah sejauhmana politik peradilan mampu mengembangkan Peradilan Agama yang setaraf dengan kualitas peradilan lainnya ? Bagaimana peran lembaga pendidikan tinggi khususnya Fakultas Syari'ah dalam menyiapkan tenaga profesional dalam bidang Peradilan Agama ? Dan bagaimana peluang berlakunya hukum lslam didalam kerangka kehidupan negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ?. Tertarik untuk menjawab berbagai pemasalahan seperti itu maka majalah Unisia pada penerbitan ke-16 kuartal ke-V tahun ke XIIII1992, menampilkan berbagai tulisan dari para ahli yang mengulas berbagai topik diseputar masalah-masalah tersebut yang diproses sebelumnya melalui diskusi yang intensif. Para pembaca dapat mengikuti pokok-pokok pikiran yang ditulis oleh antara lain KH. Azhar Basyir mengenai Peluang Konstitusional Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Tulisan Amir Mu'alim tentang peran Fakultas Syari'ah sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan tenaga profesional di bidang Peradilan Agama. Tidak kalah pentingnya tulisan dari Sidik Tono dan Sofwan Jannah yang menyangkut Efektivitas, Fungsi Islah pada Peradilan Agama ini sebagaimana tradisi penulisan pada majalah Unisia yang selalu ingin menampilkan pula tulisan diluar topik-topik utama, di saniping juga rubrik tetap berupa resensi buku.

Published: July 21, 2016

No. 15
Tahun XIII Triwulan IV 1992

APAKAH sektor industri kita sudah siap dalam menyongsong era tinggal landas ? Inilah salah satu pertanyaan yang hendak dijawab dalam seminar sehari yang dilakukan UNISIA 7 September lalu. Pertanyaan ini memang tidak menghasilkan  jawaban yang seragam. Di satu sisi, ada yang mengatakan kita sudah siap. Alasannya, sebagaimana dikemukakan dalam makalah Kepala badan Litbang Departeman Perindustrian, peran sektor industri atas PDB ini sudah cukup besar, melampaui sektor pertanian. Pertumbuhannya pun belakangan ini sudah mencapai dua digit. Beberapa subsektor industri juga sudah melesat lajunya, jauh di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata.

Namun ada juga pandangan yang  ragu-ragu melihat perkembangan industri nasional. Kalau ingin tinggal landas, ketergantungan pada luar tentunya tidak terlalu tinggi. Namun kenyataannya, kandungan impor dari sektor industri yang dikembangkan masih cukup tinggi. Di samping itu, impor barang-barang kapital dan teknologi untuk mendukung industrialisasi masih sangat besar. Apalagi perkembangan beberapa sektor industri yang ada itu juga ditopang oleh proteksi yang tinggi dari pemerintah. Hal ini telah menimbulkan berbagai ketidak efisienan dalam sektor tersebut. Oleh karena itu, untuk dapat tinggal landas masih menuntut berbagai perubahan struktural dalam industri itu sendiri.

Yang tidak ada perbedaan pendapat adalah pandangan bahwa sektor industri ini penting untuk mengangkat taraf hidup masyarakat. Pandangan ini didukung oleh hasil studi empirik yang menunjukkan bahwa negara-negara maju identik dengan negara industri. Negara-negara yang saat ini masuk kategori kaya, pada awalnya adalah negara agraris juga, dan mereka ini kemudian mengalami transformasi struktural, sehingga kontribusi sektor pertanian menurun dalam pendapatan nasional. Sebagai gantinya, sektor industri yang melesat, memimpin dan memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan nasional tersebut.

Jadi, kalau Indonesia dalam era pembangunan jangka panjangnya berusaha memajukan sektor industri, maka ini bukanlah sesuatu yang mengherankan. Kita Juga sedang berpacu mengurangi penduduk miskin di negeri ini, meningkatkan distribusi pendapatan masyarakat, serta mengejar ketertinggalan dari negara negara tetangga kita yang tampaknya sudah lebih dulu maju industrinya.

Ternyata usaha ini tidaklah mudah. Banyak kendala yang kita hadapi. Dari segi masukannya, kita pun masih kekurangan, terutama teknologi dan sumberdaya manusia yang berkualitas. Akibatnya, kita harus mendatangkan hal itu dari luar. Memang ironis, di saat di dalam negeri kita kelebihan tenaga kerja, namun masih mengimpor sumber daya manusia dari negara lain. Ini tak terelakkan, karena kualifikasi penawaran tenaga kerja yang ada, tidak cocok dengan sumberdaya manusia yang tersedia. Sementara, teknologi terpaksa diimpor, karena invensi dan inovasi teknologi dari masyarakat kita masih sangat minim. Padahal, kebutuhan teknologi maju ini merupakan hal yang mutlak untuk mendukung industrialisasi.

Di tengah berbagai kesulitan menuju era industrialisasi itu, ternyata ada sisi lain yang perlu mendapat perhatian serius yakni : dampak pembangunan industri pada lingkungan hidup ! Dampak ini tak bisa dihindarkan. Oleh karena itu, perlu upaya khusus agar jangan sampai masyarakat yang tidak menikmati keuntungan industri itu, menjadi korban. Berbagai gagasan pun muncul untuk mengeliminir dampak industri pada lingkungan hidup tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam salah satu makalah yang tersaji dalam edisi ini. ( Edy S. Hamid)

Published: July 20, 2016

No. 13
Tahun XIII Triwulan 2 1992

Peristiwa Dili 12 Desember 1991, telah menghangatkan pembicaran tentarng RAPBN 1992/1993, karena beberapa negara donor khususnya negara-negara yang tergabung dalam IGGI, berkenaan dengan peristiwa tersebut, akan mengurangi atau menghentikan sama sekali bantuan mereka kepada Indonesia. Implikasi dari sikap tersebut menurut beberapa pengamat ekonomi kita bagaimanapun akan mempengaruhi sumber pembiayaan pembangunan yang tercermin dalam RAPBN 1992/1993.

Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia selain pinjaman luar negeri yang banyak dibahas oleh beberapa pakar seperti Sumitro dah Anwar Nasution. Sumitro dan Anwar Nasution sama-sama berpendapat bahwa faktor-faktor  proteksionisme pasar intemasional, penurunan harga minyak bumi, fluktuasi harga komoditi primer, dan penurunan kurs mata uang asing khususnya dollar, telah mempengaruhi neraca pembayaran kita. Oleh sebab itu, tidaklah heran bila kita memandang bahwa RAPBN 1992/1993 yang, dibacakan oleh Presiden di depan DPR RIbulan Januari 1992 yang lain perlu mendapat perhatian yang khusus.

Pertanyaan penting dalam kaitan itu antara lain, apakah mungkin Indonesia mengganti bantuan luar negeri dan tindakan apa yang perlu dilakukan ? Penggantian bantuan luar negeri dengan kekuatan sumber dalam negeri memang perlu dilakukan sejak sekarang karena menurunnya penyediaan dana-dana bantuan intemasional. Salah satu tindakan untuk mengatasi penurunan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah telah melalaikan intensifikasi dari.ekstensifikasi pajak disamping penggalangan tabungan dalam negeri melalui kebijaksanaan moneter. Tetapi dalam keadaan ekonomi sekarang ini, dalam suasana politik. moneter uang ketat timbul berbagai dilema. Bank-bank membatasi pemberian kredit kepada nasabah sehingga investasi untuk meningkatkan komoditi eksport.sukar berkembang. Pada hal, untuk merigimbangi berkurangnya bantuan luar negeri, diperiukan kebijaksanaan yang tepat disektor kredit ekspor. 

Fungsi bank saat ini cenderung beralih dari fungsi agent of development yang menyediakan kredit atau sumber dana-dengan biaya murah, ke fungsi financial intemiediary, yang kurang menyenUih kepehtingan ekonomi lemah. Itu semua akan mempengaruhi APBN 1992/1993.

Berdasarkan perimbangan itulah, UNISIA pada peherbitan nomor ini menonjolkan berbagai topik diseputar APBN tersebut dalam kaitannya dengan berpagai aspek intemasional seperti yang telah_dijelaskan dimuka. UNISIA sengaja mehampilkan beberapa tulisan dari tokoh-tokoh.yang "akrab†dengan penyusunan RAPBN 1992/1993 antara lain Gunawan Sumodiningrat, Suharsorio Sagir dan pakar-pakar ekonomi lainnya yang, tertarik dengan masalah-masalah diseputar topik. Tulisan-tulisan lain juga ditampilkan sebagai pelengkap penerbitan nomor ini, sehingga diharapkan pembaca  dapat menarik kesimpulan secara utuh. (Syafaruddin Alwi)

Published: July 20, 2016

No. 11
Tahun XII Triwulan I 1991

Pelaksanaan Pemilihan Umum yang untuk kelima kalinya diadakan di tanah air kian dekat. Semakin dekatnya pelaksanaan pesta demokrasi tersebul, telah mengakibatkan meningkatnya perhatian dan perbincangan masyarakat terhadap topik ini. Akibat lebih jauh, suhu politik terasa lebih panas dari biasanya. Isyu-isyu yang dibicarakan juga semakin berkembang, tidak sebatas pada siapa yang akan menjadi pemenang dan berapa besar kemenangannya, melainkan pada sistem dan praktek pelaksanaannya hingga kerja dari orang-orang yang akan terpilih menduduki kursi legislatif tersebut.

Berkenaan dengan Pemilu ini maka dalam terbitan ini, Unisia menjadikan masalah politik umumnya dan Pemilu khususnya, sebagai topik utama. Penelusuran atas Undang-undang Pemilu serta Undang-undang Golkar yang kini berlaku sampai dengan pelaksanaannya, tersaji dalam penerbitan kita ini.

Berbagai pertanyaan dasar yang berkaitan dengan keberadaan ketentuan hukum yang berkaitan dengan Pemilu tersebut dalam hubungannya dengan kualitas anggota badan legislatif, dikaji dan dijawab oleh Prof. Sri Soemantri dalam tulisan utama dalam Unisia ini. Dari penelusuran tersebut, maha guru dari UGM yang juga mengajar pada Fakultas Hukum UII, berkesimpulan bahwa ketentuan hukum yang digunakan saat ini sudah cukup baik. Pemilihan dengan model proporsional, juga dinilai lebih menguntungkan, karena sistem ini dapat menghasilkan anggota DPR yang berkualitas jika faktor lain yang berada di luar sistem Pemilu itu sendiri mendukungnya.

Ahli hukum lain dari Jurusan Tata Negara FH UII, Dahlan Thaib, dengan menggunakan pendekatan normatif, membahas pelaksanaan Pemilu dari sisi pandang konstitusional. Dari sisi pelaksanaan ini, ia menegaskan bahwa keluhan masih sering muncul akan ketidakadilan atas pelaksanaan pesta demokrasi Indonesia ini. Agaknya, apa yang disuratkan oleh Dahlan Thaib juga dibenarkan oleh pucuk pimpinan Partai Persatuan Pembangunan, Ismail Hassan Metareum, dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia, Soe'rjadi, sebagaimana dikemukakannya dalam rubrik Dialog.

Lepas dari kelemahan-kelemahan  yang ada, Dahlan Thaib menilai bahwa pelaksanaan Pemilu ini berjalan semakin baik. Pemilu 1987 misalnya, sudah lebih baik dibandingkan Pemilu sebelumnya dalam memilih wakil-wakil rakyat. Namun diingatkannya bahwa Pemilu tak sekedar memilih wakil rakyat dan bekerja membawa aspirasi politiknya, namun lebih dari itu adalah sebagai wakil rakyat oleh rakyat yang betul-betul bisa membawakan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai perwujudan kedaulalan rakyat.

Masih berbicara tentang politik, Syafaruddin Alwi menganalisis tentang penerapan model bureucratic aouthoritarian dalam politik Indonesia serta implikasinya terhadap politik massa. Dalam kajiannya, ia sampai pada kesimpulan bahwa adanya keterbatasan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam sisiem politik Indonesia. Hal ini terjadi karena sirategi pembangunan yang dijalankan kurang kondusif dalam memberikan kesempatan tersebut.

Berbicara tentang masalah politik yang dikaitkan dengan masalah kepemudaan, Afan Gaffar mencatat adanya empat isyu yang akan muncul dan menghangat pada masa Pemilu nantinya, Yaitu : masalah kelerbukaan, pertanahan, keadilan sosial — khususnya soal pribumi dan nonpribumi —serta isyu tentang suksesi, khususnya untuk kursi wakil presiden. Karena pemuda ini "diminati" banyak fihak sebagai akibal posisinyayang strategik, maka Afan mengingatkan agar pemuda bersikap arif dan waspada, dan tidak menganggapinya secara emosional.

Di samping isyu politik, edisi kali ini dilengkapi pula kajian-kajian bidang hukum lainnya seperti yang dilulis Mudzakir dan Nandang Sutrisno; masalah ekonomi oleh Murdiyono, Anas Hidayat, Agus Harjito, serta penulis lainnya. Seperti biasanya, ringkasan penelitian juga muncul dari karya Syahirul Alim dan Sudjito. Mudah-mudahan semuanya ini bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita.... (edy s. hamid)

Published: July 18, 2016

No. 10
Tahun XI Triwulan IV 1991

Barangkali hanya Nabi Muhammad saw sebagai tokoh besar dalam sejarah umat manusia yang tak dikenal wajahnya. Kecenderungan dikalangan aliran Ahlu Sunnah Wal Jama'ah mengharamkan visualisasi atau menggambarkan wajah Rasulullah. Tetapi tidaklah demikian yang tumbuh dikaiangan aliran syi'ah. Para pengikut syi'ah di Iran, Irak dan Turki tidak terkejut melihat lukisan wajah Rasulullah. Reproduksi lukisan Nabi Muhammad saw pernah dimuat dalam The New Encyclopedia Britanica. Begitu juga di buku Encyclopaedia or World Religions, halaman 589 memuat gambar Nabi sehalaman penuh sebagai ilustrasi. Nampaknya mereka tidak tahu bahwa gambar Nabi Muhammad saw oleh sebagian besar Umat Islam di haramkan.   

Visualisasi wajah yang menampilkan perwujudan gambar Nabi Muhammad saw selalu dikhawatirkan akan disembah dan dipuja-puja yang akhirnya menimbulkan syirik, yaitu menserikatkan Allah yang merupakan dosa yang tak terampuni. Syirik juga bermaksud penyembahan berhala dan mempertuhankan makhluk.

Setiap kali muncul penggambaran Rasulullah umat Islam selalu melancarkan reaksi yang keras. Alasan yang lain adalah bahwa sepintar-pintarnya orang melukis wajah Nabi tentu tak akan persis sama dengan yang sebenarnya. Dikhawatirkan penggambaran wajah Nabi justru akan mengacaukan citra wajah Nabi yang sebenarnya.

Reaksi-reaksi terhadap penampilan sosok Rasulullah selalu saja terjadi; dimana-mana sehingga sering kali menghabiskan energi. Umat Islam seringkali mendapat "PR" baru atau pekerjaan rumahyang melelahkan. Yang terakhirdi Indonesia penggambaran sosok Rasulullah dimuat di majalah SENANG sehingga melahirkan beberapa protes yang kemudian atas inisiatif penerbitnya sendiri, menutup Majalah ini dan mengembalikan SlUPP-nya kepada Departeman Penerangan (Tempo, 10 Nopember 1990).

Maka redaksi "UNISIA" menyelenggarakan diskusi dan wawancara mengenai visualisasi wajah Rasulullah saw. Prof. Husein Yusuf, Guru besar Ilmu Hadits IAIN Sunan Kalijaga mengetengahkan haramnya melukis obyek yang mempunyai ruh. Sementara itu Kamal Muhtar dosen Masailul Figh Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga menyatakan bahwa visualisasi gambar Nabi Muhammadakan menimbulkan persoalan, dan dapat menimbulkan syirik atau fitnah. Senada dengan itu Drs. A. Malik Madani, MA. dosen Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga mengkhawatirkan, meskipun umat Islam semakin rasional, tetapi kita juga harus realistis katanya. Masyarakat sekarang ini berdiri pada dua dunia. Satu kakinya di alam modern, tetapi kaki yang lain berada di dalam jahiliyah.

Dalam Hal ini Sahirul Alim berpendapat bahwa : jika segi segi negatif (penghinaan, syirik dsb.).dari visualisasi Nabi Muhammad saw. dapat dicegah maka penggambaran beliau itu Insya Allah tidak haram, mungkin ada manfaatnya untuk dunia pendidikan. Sedangkan Soerojo mempertanyakan mengapa gambar Nabi-Nabi lain tidak dipersoalkan, bahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diangkat dalam drama "Iblis" oleh seniman muslim Pedro Sujono, tak ada reaksi. Padahal Allah berfirman dalam surat AI Baqarah 285 ; Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara Rasul-rasulnya. Kemudian Dr. Quraisy Syihab menyatakan bahwa: Tidak ada NashdariAl Qur'an atau Haditsyang melarang' Tetapi larangan yang diberikan oleh Ulama lebih bersifat membendung, sehingga kalau segi-segi negatif ini bisa ditanggulangi, ia tidak melihat adanya halangan untuk memvisualisasikan wajah Rasulullah.

Sejak semula diskusi dan wawancara "UNISIA" tidak mentargetkan untuk keluarnya sikap atas pro-kontra yang berkembang. Unisia bermaksud menginventarisir masalah dan argumentasi mengenai visualisasi wajah Nabi besar Muhammad saw. yang sering kali menghabiskan energi umat yang bereaksi terhadap usaha untuk menggambarkan wajah Nabi.

Dalam edisi ini, memang tak melulu mengangkat topik visualisasi wajah Nabi Muhammad saw saja. Sebagaimana edisi sebelumnya, beragam topik lain juga disajikan. Dalam konteks pembicaraan mengenai lembaga keuangan yang Islami, D. Tholib mencoba mendeskripsikan mengenai sistem hubungan kreditur debitur pada masa Rasulullah dan sahabat. Sistem hubungan yang sampai masa kini selalu diperbincangkan, ditelaah oleh dosen IAIN SUKA ini, mulai dari telaah mengenai korelasi pemilik dengan harta kekayaan hingga aspek yang berkaitan dengan imbalan sukarela atas pinjaman. Dari penjelajahannya yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits, penulis ini berkeyakinan bahwa pola hubungan kreditur debitur yang sesuai ajaran Islam adalah tiadanya bunga dalam kaitan pinjam-meminjam tersebut. Namun demikian debitur boleh secara sukarela membayar lebih pada waktu membayar hutangnya. Sedangkan persyaratannya yang meminta kelebihan atau profit pada debitur pada saat pemberian pinjaman, adalah tidak dapat dibenarkan.

Sementara itu, Kuntowijoyo menyoroti aspek industrialisasi dari sisi social budaya. Industrialisasi memang menjadi ciia-cita banyak negara dunia, karena dianggap mempakan jalan pintas menuju peningkatan kesejahteraan material. Namun demikian — sebagai — mana juga muncul di Indonesia industrialisasi telah melahirkan berbagai ekses negatif. Untuk mengeliminir ekses negatif ini, menurut Kuntowijoyo, diperlukan adanya kerjasama agamawan, intelektual, pekerja sosial dan politisi.

Topik - topik yang berkaitan dengan masalah ekonomi-manajemen disajikan oleh Syafaruddin AIwi, Muqoddim, Edy Suandi Hamid dan Hudiyanto. Isu hutang luar negeri yang sekarang lagi hangat dikaji oleh Syafaruddin Alwi dengan mengkaitkannya dengan masalah swastanisasi. Dan isu aktual tentang masalah industri rokok - yang juga banyak diperbincangkan dikaitkan dengan pasar modal monopoli cengkeh — ditelaah oleh Edy Suandy Hamid. Sementara Muqodim menyoroti hubungan sistem pengendalian manajeman dengan pelaksanaan fungsi perencanaan dan pengawasan. Sedangkan Agus Hardjito melengkapi kajian mengenai sistem pembiayaan dalam perusahaan dengan mengajukan sistem leasing sebagai salah satu alternatif yang cocok dikembangkan di Indonesia. Beberapa prasyarat untuk berkembangnya industri leasing ini dikemukakan pula dalam tulisan tersebut.

Dalam kaitan dengan perkembangan ilmu ekonomi sendiri, Hudiyanto, melakukan telaah atas pendekatan-pendekatan yang ada dalam ilmu ekonomi. Menurutnya, upaya memahami permasalahan ekonomi hanya menggunakan analisis ekonomi murni, ternyata tidak memadai. Karena itu ilmu ekonomi akhirnya berkembang dengan konsentrasi pada aspek tertentu, seperti ekonomi kelembagaan, ekonomi politik dan ekonomi moral.

Masalah hukum administrasi negara hadir pula lewat tulisan Saut Panjaitan. Sementara itu, Affan Gaffar menurunkan analisis dan pandangannya atas buku yang sempat menghebohkan, yakni buku "Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950—1980" yang ditulis oleh Yahya Muhaimin. Telaah ini menjadi sangat menarik karena dimulai dengan telaah teoritis yang berkaitan dengan isi buku yang dikajinya, sampai pada akibat-akibat praktis dari beredarnya buku yang diangkat dari disertasi tersebut.

Seperti biasanya, ringkasan hasil penelitian juga muncul, dan kali ini dari penelitian kimia dan ekonomi yang ditulis oleh Djaka Sasmita dan Sunadji Daromi. Bagaimana metoda dan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut, kiranya dapat diikuti dalam bagian akhir majalah kita ini. (Soerojo/Edy S.Hamid)

Published: July 20, 2016

No. 9
Tahun XI Triwulan III 1991

Ternyata masih sangat banyak persoalan mendasar yang perlu dijawab oleh bangsa Indonesia dalam mengelola dan membangun ekonominya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat ini. Persoalan ini tidak semata mencakup masalah kebijaksanaan praktis, seperti bagaimana memerangi inflasi, meningkatkan investasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, ataupun bagaimana meredam spekulasi yang dapat merugikan masyarakat. Namun yang lebih penting dan ternyata belum terumuskan sampai sekarang adalah panduan strategis yang bisa menjadi dasar bertindak, dasar berpikir maupun dasar berperasaan masyarakat ataupun pemerintah dalam menyusun kebijaksanaan tersebut. Inilah yang kita sebut sebagai suatu sistem ekonomi, yakni sesuatu yang menyangkut pedoman, aturan atau kaidah yarig dipakai dalam melakukan aktivitas ekonomi : aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi.

Adanya persoalan itulah yang tampaknya mendorong para pakar kita sejak awal dasawarsa 1980-an mencoba merumuskan hal tersebut. Ketidakcocokan kita pada moral ekonomi kapitalis ataupun sosialis-komunis yang dominan dalam kancah ekonomi dunia, memaksa untuk mencari suatu sistem yang sejalan dengan kaidah dan norma-norma yang hidup dalam bangsa kita. Pembahasan mengenai hal ini gencar dilaksanakan dan dimasyarakatkan oleh Fakultas Ekonomi UGM yang dimotori oleh Prof. Dr. Mubyarto, dengan memunculkan konsep "Sistem Ekonomi Pancasila". Pembicaraan yang sempat surut ini, kembali hangat sejak tahun lalu hingga sekarang, setelah Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memunculkan konsep "Penjabaran Demokrasi Ekonomi (PDE)", yang dianggap sebagai dasar sistem ekonomi Indonesia. Konsep ini sudah banyak mendapat tanggapan, baik oleh pribadi-pribadi maupun institusi, sebagaimana yang diminta oleh Pengurus Pusat ISEI.

Adalah wajar kalau kemudian timbul banyak catatan bernada pro dan kontra terhadap gagasan besar ISEI yang disusun cukup sistematis itu. Dan wajar pula kalau kemudian Prof. Mubyarto, sebagai orang yang banyak berbicara dan tiada henti mengupas masalah sistem ekonomi Indonesia, dalam berbagai forum dan media melontarkan tanggapan serta pokok pikirannya terhadap konsep PDEISEI tersebut. Dan sebagai suatu media ilmiah yang terbit di bawah naungan sebuah lembaga perguruan tinggi, UNISIA mencoba berpartisipasi dengan mengangkat berbagai pernikiran yang menanggapi konsep PDE ISEI, termasuk pemikiran dari Prof. Mubyarto sendiri yang kita tempatkan sebagai artikel utama dalam edisi ini.

Pemikiran lain yang kita muat untuk mendukung topik tersebut adalah datang dari forum diskusi panel yang diadakan oleh jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE UII. Diskusi panel tersebut diadakan sebagai respon dari permintaan PPISEI agar FE UII memberikan masukan untuk menyempurnakan konsep PDEISEI itu. Makalah yang berisikan catatan dan komentar atas konsep ISEI yang dibahas dalam diskusi ini datang dari Edy Suandi Hamid, Syafaruddin Alwi dan Suwarsono. Pemikiran mereka mengacu langsung pada rumusan ISEI dan mengkajinya lewat butir per butir dari setiap bidang yang dirumuskan ISEI tersebut.

Kiranya para ilmuwan memang ditantang untuk menunjukkan tanggung jawab ilmiahnya untuk berprestasi menyumbangkan pemikirannya guna merumuskan bentuk baku sistem ekonomi nasional kita. Konsep ISEI maupun pemikiran-pemikiran lain tentang sistem ekonomi seperti yang termuat dalam jurnal ini, memang masih jauh dari selesai. Permasyarakatan pokok pikiran seperti ini diharapkan dapat mengajak ilmuwan lain ikut ambil bagian dan berdiskusi suatu sistem ekonomi yang berwajah Indonesia, yang sejalan dengan apa yang kita dambakan.

Masih berkaitan dengan masalah ekonomi, suatu topik yang hangat diperbincangkan dalam masyarakat belakangan ini adalah tentang kebijaksanaan uang ketat (tightmoney policy). Tahun lalu bank sentral kita menarik berbagai jenis kredit likuiditas yang disalurkannya, sehingga telah mendorong naiknya tingkat bunga. Kekhawatiran akan inflasi yang tinggi telah memaksa pemerintah untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat lewat kebijaksanaan moneternya. Kemudian di awal tahun ini, beredar isyu devaluasi, yang menimbulkan terjadinya spekulasi memburu dollar dan mata uang keras lainnya. Menghadapi spekulasi ini, pemerintah kembali mengambil kebijaksanaan moneternya lewat penarikan dana BUMN yang nilainya sekitar Rp. 8 trilyun, sehingga kebijaksanaan uang ketat yang tadinya diperkirakan akan diperlonggar, ternyata berkepanjangan. Tingkat bunga kembali meningkat tajam, sehingga dikhawatirkan akan mempunyai implikasi yang tidak menguntungkan bagi ekonomi Indonesia.

Masalah kebijaksanaan uang ketat ini dianalisis oleh Bambang Tri Cahyono, yang mendekatinya dari aspek teoritis dan praktis. Hal serupa diungkap pula oleh Ahmad Tohirin, yang tidak saja melihat perkembangan terakhir ini, tetapi Juga menyibak wajah sektor moneter ini dalam tahun-tahun sebelumnya.

Tentu saja tidak hanya isyu ekonomi yang muncul dalam penerbitan ini. Masalah hukum, pendidikan serta ringkasan hasil penelitian juga mewarnai edisi ini. Dan kesemuanya diharapkan bisa menambah wawasan keilmuan kita serta menjadi referensi yang bermanfaat dalam upaya kita mengembangkan ilmu pengetahuan serta mendarmakannya untuk kepentingan masyarakat. (Edy Suandi Hamid)

Published: June 30, 2016

Vol.. 10, No. 2 (1988)
Tahun X Triwulan II 1988

Published: June 30, 1988