Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alikum Wr. Wb.
Memasuki lima tahun perjalanan reformasi, berbagai catatan kritis akan kami sajikan dalam edisi kali ini, khususnya dalam bidang ketatanegaraan. Namun demikian, penerbitan jurnal kali ini tidak lagi kami batasi dengan tema tertentu, tetapi disajikan dengan pilihan topik yang beragam.
Kebijakan otonomi daerah sejak digulirkan 1999 telah mendapat apresiasi positif dari masyarakat baik di pusat maupun di daerah. Namun tafsir terhadap kebijakan otonomi daerah sangat beragam. Ada yang menafsirkan otonomi daerah identik dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga perlu dibuat berbagai pungutan di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), tetapi ada juga yang menginginkan perjuangan Islam Syari’at melalui pembentukan Perda (Berbasis) Syari’at (misalnya sebagian daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Jawa Barat).
Pada awal reformasi RUU tentang Pemda hanya menentukan empat urusan sebagai urusan absolut Pemerintah Pusat yakni hubungan luar negeri, moneter dan fiskal nasional, pertahanan keamanan-keamanan, dan peradilan. Namun menjelang RUU tersebut disahkan, ada yang mengusulkan agar “urusan agama†dijadikan juga sebagai urusan pusat. Sebab jika urusan agama didesentralisasikan dikhawatirkan muncul Perda-perda berdasar agama mayoritas setiap Daerah. Jika itu terjadi maka integrasi bangsa bisa terancam. Maraknya beberapa daerah yang menerbitkan Perda Syariat menarik untuk dikaji dalam perspektif politik hukum nasional.
Di samping persoalan otonomi daerah, persoalan nasional yang sampai hari ini terus menjadi polemik di masyarakat adalah tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara substantif DPD tidak diberi kewenangan yang sama dengan DPR dalam desain sistem bikameral menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejumlah anggota DPD, DPR, tokoh masyarakat, dan sejumlah ahli sudah berkali-kali mewacanakan amandemen ulang supaya disain bikameralnya lebih tegas (strong bicameral), tetapi hingga saat ini belum berhasil. Bagaimana prospek DPD dalam penerapan sistem bikameral di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan datang tentu menarik untuk dikaji.
Perubahan kekuasaan kehakiman terjadi karena semata-mata merespon tuntutan reformasi dan dilakukan dengan sangat parsial, akibatnya berbagai persoalan kelembagaan dalam kekuasaan kehakiman diselesaikan dengan cara parsial pula, bahkan terdapat lembaga peradilan yang muncul karena tuntutan politis dan hal itu tidak melekat secara langsung pada lembaga induk dari kekuasaan kehakiman. Hal ini disebabkan, karena lembaga kekuasaan kehakiman Indonesia saat ini tidak mempunyai grand design tentang format lembaga kekuasan kehakiman. Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.
Selamat membaca.
Wabillahittaufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Redaksi
Published: August 25, 2009