Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alikum Wr. Wb
Proses pembentukan undang-undang di era reformasi yang melibatkan Pemerintah, DPRdan masyarakat, padadasamya adalah suatu bentuk ideal dalam proses pembentukan UU yang partisipatif guna melahirkan UU yangresponsif. Semua kekuatan politik secara rill termasuk masyarakat ada didalamnya. Akan tetapi, karena belum ditopang oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang mengaturpartisipasi masyarakat secaramemadai, maka bentuk yang ideal tersebut belum dapat menghasilkan produk undang-undang yang sepenuhnya responsif bagi keinginan masyarakat luas.
Dalam praktik seringkali dijumpai beragamnyajenis peraturan perundang-undangan yang menyulitkan pejabat daerah untuk memahaminya. Apayang harusdilakukan pemerintah agar pejabat daerah tidak terus menerus melakukan kesalahan dalam memahami hierarki peraturan perundang-undangan danmembuat peraturan daerah. Permasalahan ini iayak untuk dikemukakan karena pemahaman masyarakat tertiadap otonomi daerah sangat beragam, sehingga perlu ditegaskan koridor otonomi daerah dalam bingkal yang jelas agar tidak keluardarire! Yang sudah disepakati bersama dan membahayakan ekslstensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu dalam halpemuatan sanksi, padaumumnya Peraturan Daerah memuatsanksl pidana yang berupa pidana kurungan atau pidana denda. Sangat jarang sekali penegakan hukum Peraturan Daerah mengedepankan sanksi administrasi. Padahal berdasarkan ketentuan Pasa! 143 UUPD sangat jelas bahwa tidak ada larangan bahwa suatu Perda tidak boleh mencantumkan sanksi administrasi.
Secarakonstitutif, UUD1945 samasekali tidak mengatursecara ketat tentang syarat pencalonan dalam pilkada. Tetapi amanat implisit yang diwasiatkan konstitusi tersebut gagal disikapi secara tepat oleh pembuat undang-undang. Bukti empirisnya UU No. 32/2004 Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59ayat (1) secara diskriminatif hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pencalonan dalam pilkada. Ketentuan tersebut membuat peluang calon independen untuk tampil dipilkada menjadi tertutup. Padahal kehadiran calon independen dalam pilkada sifatnya mutiak dan tidak bisa dihindari. Kebijakan yang memberikan otoritas tunggal pada parpol menjadi kurang relevan, karena parpol diIndonesia banyak yang bermasalah. Akhir kata dari kami, mudah-mudahan Jumal Hukum edisi kali ini dapat bermanfaat dan menambah wacana bagi pembaca yang budiman.
Selamat membaca.
Billahittaufiq walhidayah
Wassalamu'alikum Wr. Wb.
Published: June 3, 2016