Suatu hari ada orang yang ditahan tanpa diberitahu apa salahnya. Tak seorangpun petugas hukum merasa berhak menjelaskan,kenapa ia matl. Kalau ditanya semua menunjuk pada orag bernama; atasan. Sapakah atasan? Sering kita tak pemah tahu sosoknya. Pokoknya Atasan yang mengharuskan  lwik dihadapkan ke muka pengadilan dengan tuduhan membunuh wartawan. Di mata atasan hukum memang tak segan-segan untuk menjatuhkan vonis pada siapa saja. Malah mereka yang barusan mencicipi kue keadilan Keadilan tak bisa terlalu lama menikmati. Ada yang harus dikalahkan, tak peduli ia warga Kedung Ombo, PDI Mega atau majalah Tempo sekalipun. Atasan ltu tampil lewal Jubah seorang hakim atau lembaga yang namanya Peradilan. Prof Asikin Kusurnah-mantan ketua muda MA- berkata bahwa ada 50% hakim dewasa ini yang tidak jujur dan cenderung menggunakan posisinya untuk kepentingan pribadi. Hal sarupa pemah dikatakan oleh Hakim Agung Andi Andojo Soetjipto. lstilah semacam mafia Peradilan atau kolusi peradilan bukanlah sesuatu yang baru. Agaknya Lembaga Peradilan wajahnya sudah terlalu tua untuk mengemban misi besar. Yang jelas memang tak semuanya begitu namun angka 50% tetap punya arti serius.

Mungkinkah soalnya karena Hakim terlaluterbebgani oleh peran besar? Atau jangan-jangan kekuasaan menghendakinya demikian. Malah bisa jadi karena pendidikan hukum yang sengaja membuat hakim seperti sekrang. Kecurigaan dan dugaan gukan dosa. Dikatakan pendidikan karena hakim yang kini bertugas bukanlah lulusan Fakultas Hukum? Kita menganggap kekuasaan karena semua pasti  tahu bahwa tabiat atau watak kekuasaan sudah keterlaluan. Ia seoalh-olah memberi tahu bahwa posisinya ada dan mengatakan  kadang-kadang sifatnya harus lalim. Siapapun paham bila peradilan sudah tak bisa dipercaya sebagai tempat untuk menemukan keadilan maka rakyat pasti akan membuat peradilan jalanan.

Yang menakjubkan peradilan jalanan kini muncul di mana-mana. Seolah-olah jadi mode yang menyebar kemanapun. Sebab berdirinya bisa bermacam-macam, tapi bila diingat-ingat itu semua adalah akumulasi dari penderiaan yang berkepanjangan. Kita tahu bahwa kekecewaan adalah sesuatu yang menyakitkan dan kadang kita-pun harus mengerti, tak semua orang punya kesabaran menanti datangnya keadilan. Umumnya tiap peristiwa harus ditemukan hikmahnya dan manfaatkanlah bila peradilan jalanan itu muncul berulang-ulang, karena nyatanya kita terlalu “bebal†untuk bisa memetik perjalanan. Kadang kita harus sadar, bahwa rakyat tak sebodoh yang kita duga.

Published: December 2, 2016

Sistem Peradilan di Indonesia

Sudikno Mertokusumo (1)
(1)
1-8
9264

Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman

SF Marbun (1)
(1)
9-19

Politik Hukum untuk Independendi Lembaga Peradilan

Moh. Mahfud MD (1)
(1)
20-34
333

Urgensi dan Uapaya Revitalisasi Lembaga Peradilan

Rusli Muhammad (1)
(1)
35-44
149

Budaya hukum dalam Peradilan di Indonesia

E. Zainal Abidin (1)
(1)
45-53
385

Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparat Keadilan

Salman Lutham (1), Agus Triyanta (2)
(1) ,
(2)
54-62
468

Contempt of Court pada Peradilan Administrasi

Enny Nurbaningsih (1)
(1)
63-71
196

Revitalisasi Mahkamah Internasional: Studi Kasus Sengketa Kepemilikan Sipadan-Ligitan antara Indonesia-Malaysia

sefriani sefriani (1)
(1)
72-80
506

Kuhap dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Muhammad Arif Setiawan (1)
(1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
81-89
195

Hukum dalam Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Arbi Sanit (1)
(1)
90-110
279