Di dasar nurani kita selama ini ada keprihatian yang mendalam tentang nasib keadilan. Barangkali sudah menjadi tabiat masyarakat yang menyejarah, tiap kali kenyataan pecah sama sekali pertautannya dengan bingkai hukum, ketika kelalilam terlampau menekan, kita mendambakan hadirnya aturan dan aparat yang adil. Tak selaluia sosok nabi; bisa saja seorang pemberani, aparat yang suka mengkritik atau penguasa yang melawan-asal kedatangannya membawa kosmologi baru yang menjadi dasar bagi tertibnya masyarakat.

Kini sebagai masyarakatseolah tersekap dalam ruang kekuasaan yang sarat oleh kepentingan, dan kengerian mulai tampak ujungnya. Warta mengenai kerusuhan yang beruntun dan sikap aparat yang kian terlempar dari keharusan hukum, mencetuskan berbagai gugatan. Hukum, dianggap oleh sebagian pihak kini tidak lagi berada pada langit suci yang mampu mengantarai manusia untuk memeperoleh keadilan. Pergolakan sosial seringkali terdengar karena kesenjangan dan diimbuhi oleh kepentingan pragmatis semata. Hukum-tanpa mengurangi rasa hormat kita pada pada kaidahnya-kini telah dinodai oleh kepentingan sesaat.

Tapi-sebagian masih percaya bahwa hukum harus tetap berjuang menoreh beberapa nilai hakiki. Sedang, masyarakat terus mengalami perubahan dan perkembangan, acapkali timbul soal: bagaaimana hukum dapat menjadi historis dan konkrit tanpa melepaskan nilai hakiki yang harus disampaikan? Hukum, apakah ia sesuatu yang kalangan, tumbuh jawaban, bahwa hukum seperti kaidah agama selalu mempunyai sesuatu yang menetap, yang bertahan dan tak hilang dari dirinya. Namun identitas yang ada hanya mungkin terwujud dalama perubahan, atau sebagai sesuatu yang tetap dia hanya akan nampak dalam gejala yang selalu berganti-ganti.

Dengan lukisan yang singkat ini hendak dikatakan bahwa hukum selalu merupakan suatu hakikat yang historis, yang berjuang bersama perjuangan dan kefanaan, dan bukanlah suatu hakikat mengandung. Untuk kembali pada kekuatan nilai yang hakiki, maka ditengah bisingnya perbedaan kepentingan dan rasa asing masyarakat pada keadilan, hukum dituntut menjadi bagian dari kesadaran kekuasaan. Kegagalan kekuasaan dalam bersanding dengan hukum akan melahirkan kekuasaan yang tak punya wibawa dan getar sosial pada rakyat.

Hasil adalah ledakan sosial yang beruntun dimana penguasaan akan keletihan dalam memberikan reaksi. Kekuasaan yang terlanjur dominan wajib mendengar rintihan masyarakat tentang hukum, sebab kalau hukum terus-terusan ditidurkan maka justru ia menjadi beban yang terlalu menekan.

Published: November 30, 2016

PENDAYAGUNAAN SOSIOLOGI HUKUM UNTUK MEMAHAMI PROSES-PROSES SOSIAL DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAN GLOBALISASI

Satjipto Rahardjo (1)
(1)
1-16
2152

Pembaharuan Hukum Nasional Sebagai Amanat Proklamasi dan Konstitusi

Moh. Mahfud MD (1)
(1)
17-30
440

Hukum Modern dan “Institusi Sosial”

suparman marzuki (1)
(1) Universitas Islam Indonesia
31-43
950

Paradigma Hukum dalam Konteks Perubahan Sosial-Ekonomi

artidjo alkostar (1)
(1)
44-56
834

Penegakan Hukum dalam Konteks Sosiologi

Salman Lutham (1)
(1)
57-70
1590

Hukum pada Masyarakat Tradisional dan Kemungkinann Pengembangnya bagi Hukum Indonesia Moden

M. Syamsudin (1)
(1)
71-84
737

Kredit Perbankan Permasalahannya dalam Kiatannya dengan Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan

Maria S.W. Sumardjomo (1)
(1)
85-94
259

Beberapa Masalah Hukum Amdal dan Implikasinya terhadap Sistem perizinan dan Penegakan Hukum Lingkungan

Zairin Harahap (1)
(1)
95-111
391

Franchise dan Kaitannya sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum

Ridwan Khairandy (1)
(1) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
112-127
529