Vol 16, Edisi Khusus 2009

Pada edisi akhir tahun 2009, kami sengaja menghadirkan satu edisi khusus di samping edisi regular tri wulan, yang berasal dari hasil-hasil penelitian terpilih (disertasi) beberapa staf pengajar di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, serta beberapa hasil penelitian dari penulis luar Universitas Islam Indonesia.
Artikel yang  kami hadirkan pada Edisi Khusus kali ini antara lain membahas tentang efektifitas ketentuan-ketentuan world trade organization tentang perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang: implementasi dalam praktek dan dalam penyelesaian sengketa. Tulisan ini mengkaji tentang masalah efektivitas ketentuan-ketentuan Special and Differential Treatment (S&D) dalam menolong negara sedang berkembang (NSB). Secara umum implementasi dan penegakan hukum ketentuan-ketentuan S&D tidak efektif. Ketidakefektivan terutama disebabkan oleh faktor karakter dari ketentuan-ketentuan S&D sendiri yang tidak mengikat secara hukum.
Hasil penelitian lainnya yang menarik dikaji adalah tentang implementasi kepatuhan syariah dalam perbankan Islam (syariah) yang mengkaji perbandingan antara malaysia dan Indonesia. Artikel ini memfokuskan pada kerangka hukum dari kepatuhan syariah serta implementasinya di Malaysia dan Indonesia. Dengan perbandingan tersebut diharapkan akan ada beberapa keunggulan di antara keduanya yang dapat diidentifikasi. Pemilihan pada Malaysia dan Indonesia dalam pembandingan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain bahwa Malaysia telah memulai bisnis perbankan Islam cukup lama, bahkan terdepan di wilayah Asia Tenggara. Kedua negara juga merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
Artikel berikut adalah tentang proses pembentukan UU: studi tentang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU. Problematik  tarik-menarik kepentingan dalam proses pembentukan UU tidak mudah untuk dicarikan jawabannya. Ketika pembentuk undang-undang kurang transparan, partisipatif dan demokratis pada akhirnya masyarakat menggugatnya melalui gerakan reformasi. Akan tetapi, ketika proses pembentukan undang-undang akan dilakukan dengan pintu transparansi, partisipatif dan demokratisasi yang dibuka secara luas, maka akan menggeser kewenangan konstitusional yang telah diberikan oleh UUD 1945. Sebenarnya, bagaimana proses partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang di era reformasi?
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: June 13, 2016

Vol.. 16, No. 4 (2009)
Vol 16, No 4 Oktober 2009

Pada edisi Oktober 2009 ini sebagaimana biasanya, Jurnal Hukum menghadirkan beberapa artikel selain berasal dari penulis di lingkungan Fakultas Hukum UII juga beberapa penulis  dari perguruan tinggi/lingkungan lainnya sesuai dengan kriteria jurnal ilmiah nasional yang baik.
Artikel yang kami hadirkan kali ini antara lain tulisan Moh. Mahfud MD, yang berjudul "Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi".  Tulisan ini membahas tentang perlunya  pembatasan atau pemagaran dalam pelaksanaan kewenangan MK sekaligus penambahan atau pengembangan kewenangan MK jika suatu saat dilak ukan amandemen lanjutan atas UUD 1945, agar MK tidak melanggar kewenangan yang sudah diberikan serta mampu menampng dinamika ketatanegaraan secara konstitusional.
Artikel lainnya adalah tentang Kemandirian Pengadilan Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Bebas dan Bertanggung Jawab. Artikel ini merupakan ringkasan disertasi dari Rusli Muhammad. Di dalam praktek penegakan hukum pidana, kemandirian pengadilan baik kemandirian parsial terlebih kemandirian sistemik sangat lemah dan berada pada titik rendah. Rendah dan lemahnya kemandirian pengadilan tersebut disebabkan karena pengaruh dari berbagai faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Kondisi kemandirian pengadilan yang berimplikasi buruk pada upaya penegakan hukum demikian, memerlukan upaya perbaikan dan penataan ulang. Sebelumnya langkah ini telah dimulai dengan dikeluarkannya TAP MPR No. X Tahun 1998 dan UU No. 35 Tahun 1999, namun hal ini belum cukup tanpa ada usaha-usaha atau langkah-langkah lebih lanjut dan lebih konkrit.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel lainnya adalah tentang Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi Di Bidang Keuangan. Tulisan ini juga merupakan ringkasan disertasi dari Salman Luthan. Ada  dua permasalah yang dibahas dalam penelitian tentang kebijakan penal untuk kejahatan dalam bidang keuangan, yaitu: penyesuaian  kebijakan berkaitan dengan tindak pidana dan penyesuaian kebijakan  terkait sanksi pidana bagi pelanggaran bidang keuangan. Penyesuaian kebijakan terkait dengan tindak pidana  menunjukkan adanya peningkatan pada perilaku yang dianggap sebagai kejahatan oleh para pembuat undang-undang akibat perubahan sosial, ekonomi, perdagangan global, dan juga perkembangan teknologi. Penyesuaian ini didasarkan pada Teori Individual Liberal dan urusan politik ( Ordening Strafect Theory ). Penyesuaian kebijakan terhadap sanksi pidana cenderung memperkuat sanksi pidana terhadap pelanggaran dalam bidang keuangan. Hal ini merupakan respon terhadap lemahnya penegakan hukum, dan juga usaha untuk mereformasi lembaga keuangan, serta sebagai implementasi falsafah hukum pencegahan, dan penyemangat bagi pembuat undang-undang untuk menghukum  mereka  yang bersalah.
Artikel berikut mengkaji tentang  Korelasi Antara Peraturan Daerah (Perda) Bermasalah  Dengan Tingkat Investasi Ke Daerah. Proses legislasi Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang sekarang terjadi banyak mendapat sorotan publik, karena setelah beberapa instansi pemerintahan maupun swasta melakukan evaluasi terhadap Perda, hasilnya   terdapat  beberapa Perda disinyalir tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Artinya dengan dikeluarkannya Perda tersebut, menyebabkan pebisnis lokal/interlokal atau investor enggan berinvestasi di daerah. Minimnya jumlah investor yang menanamkan modal ke daerah cukup berpengaruh terhadap kondisi perekonomian daerah, karena suntikan dana dari investor merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: January 27, 2016

Vol.. 16, No. 3 (2009)
Vol 16, No 3 Juli 2009

Pada edisi ketiga yang terbit pada Juli 2009, Jurnal Hukum menghadirkan beberapa artikel menarik, antara lain mengkaji tentang Demokrasi dan Hukum. Negara hukum  harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.Dengan demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi†berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat) melainkan diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat).
Artikel menarik lainnya adalah  tentang peran Mahkamah Konstitusi dalam penegakan hukum konstitusi. Dalam tindak lanjut putusan MK yang membatalkan satu undang-undang, baik pasal, ayat atau bagiannya saja, dibutuhkan kejelasan bagaimana implementasi putusan demikian dapat berlangsung efektif dalam koordinasi horizontal fungsional yang setara berdasar doktrin checks and balances dalam separation of powers. Secara yuridis, meskipun hanya deklaratif, putusan MK dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar memiliki sifat konstitutif, baik berupa pembentukan norma hukum baru maupun yang meniadakan satu norma hukum dalam ketentuan undang-undang yang diuji.
Untuk mengetahui capaian hukum kita pasca reformasi, kita harus memiliki dasar pijak, yaitu dengan melihat terlebih dahulu apa yang dulu menyebabkan dilakukannya reformasi di bidang hukum. Artinya, masalah-masalah apa saja yang timbul dalam bidang pembangunan hukum pada masa Orde Baru sehingga kita melakukan reformasi di bidang hukum melalui reformasi politik pada tahun 1998. Masalah-masalah hukum di masa lalu yang kemudian dicoba untuk diperbaiki pada era reformasi melalui reformasi hukum, misalnya melalui perubahan UUD 1945, penataan lembaga peradilan melalui perubahan UU tentang Kekuasaan Kehakiman, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang dipandang lebih efektif menegakkan hukum dan demokrasi.  
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: January 26, 2016

Vol.. 16, No. 2 (2009)
Vol 16, No 2 (2009)

Pada edisi kedua kali ini, Jurnal Hukum akan menyajikan beberapa artikel menarik antara lain tentang  penyelesaian non-prosekutorial dan rekonsiliatif  terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan pidana bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya mekanisme menagih pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Saat ini berkembang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang  dipandang urgen sebagai salah satu jalan mengatasi masalah nasional  sekaligus diharapkan dapat menjawab ketidakadilan individual yang dialami para korban.
Artikel selanjutnya adalah tentang hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat  (tinjauan hukum internasional dan nasional). Hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah banyak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan namun, kelemahan-kelemahan konseptual dalam rumusan substansi masih terdapat dalam hukum positif kita. Aspek substansi tersebut dikhawatirkan akan berimplikasi buruk bagi pelaksanaan perlindungan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, mengingat aspek proseduralnya sudah barang tentu sedikit banyak akan mengacu pada hukum materiilnya. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan yang diharapkan memacu semua pihak untuk dapat memperbaiki dan memberikan sumbangsih terbaik dalam upaya perlindungan, pemajuan hak asasi manusia, serta penegakan hukum dan keadilan bagi korban.   
Di samping kedua artikel tersebut, tulisan menarik lainnya adalah tentang kewenangan daerah dalam melaksanakan hubungan luar negeri (Studi Kasus di Propinsi Jawa Barat dan DIY). Pemerintah daerah meskipun dapat melaksanakan kerjasama internasional, tetapi tidak bisa dipandang sebagaimana layaknya subjek hukum internasional yang lain, seperti negara. Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan kekuasaan negara, dari pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban perjanjian internasional tidak di daerah, tetapi berada di pemerintah pusat yang mewakili negara yang berdaulat.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: January 26, 2016

Vol.. 16, No. 1 (2009)
Vol 16, No 1 (2009)

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Illahi Robbi, karena atas perkenanNya jurnal kami telah mendapatkan akreditasi kembali di penghujung tahun 2008 berdasarkan SK Dikti No 65a/DIKTI/Kep/2008.
Sebagai edisi pembuka di tahun baru 2009, beberapa artikel menarik  akan kami sajikan, antara lain aspek hukum dan kelembagaan dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan wilayah pesisir. Pengelolaan sumberdaya pesisir membutuhkan asas-asas hukum antar wewenang agar jelas siapa, melakukan apa dan kaidah hukum apa yang harus berlaku apabila terjadi konflik antar instansi. Pendekatan kelembagaan (institutional approach) melalui penataan wewenang, lembaga (institusi) dan prosedur dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, merupakan salah satu langkah strategis dalam mendorong peningkatan efisisensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan
Artikel selanjutnya mengenai Prospek dan tantangan hukum internasional di ASEAN dan Indonesia pasca piagam ASEAN dari sisi perjanjian internasional. Bagi Indonesia sendiri, prospek dan tantangan hukum internasional pasca Piagam ASEAN dari sisi perjanjian internasional terbagi menjadi dua segi, yaitu segi internal dan eksternal. Untuk segi  internal Indonesia perlu  melakukan pembenahan hukum yang mengatur tentang organisasi internasional. Indonesia dalam hal ini dipengaruhi oleh hukum internasional. Sedangkan untuk segi eksternal, posisi Indonesia sebagai tuan rumah dari ASEAN dapat mempengaruhi perkembangan hukum internasional, khususnya berkenaan tentang hukum organisasi internasional.
Di samping kedua artikel tersebut, tulisan menarik lainnya adalah tentang kewenangan dewan keamanan menghentikan yurisdiksi ICC : studi kasus resolusi dewan keamanan Nomor 1497 Tahun 2003, ketiadaan  aturan yang jelas mengenai hierakhi dalam sumber hukum maupun lembaga atau institusinya dalam hukum internasional  berpotensi menimbulkan masalah bilamana ada konflik antara aturan yang satu dengan aturan yang lain atau konflik kewenangan antara lembaga satu dengan yang lain.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: January 26, 2016

Vol.. 16, No. 2 (2009)
English Version

Published: May 25, 2009

Vol.. 16, No. 1 (2009)
English Version

Published: May 18, 2009

Vol.. 15, No. 3 (2008)
Vo. 15 No. 3 JULI 20008

Membangun sebuah lembaga demokrasi yang kuat dan kredibel membutuhkan waktu dan kesabaran yang relatif lama. Untuk itu, tiga pilar kekuatan KPU (independensi struktural, independensi fungsional, dan independensi personal) harus terus dijaga dan dipertahankan.
Sementara itu, Pemilu 2009 semakin dekat dan kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK)  akan menerima lebih banyak perkara sengketa hasil Pemilu. Apa yang telah diperankan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil Pemilu 2004 merupakan refleksi bagi MK untuk tetap mempertahankan prinsip-prinsip yang telah tercermin dalam putusan-putusannya. Sebab, pemilihan umum yang demokratis tidak hanya dilihat sebagai tata cara yang telah memenuhi kaidah normatif dan berhenti ketika etape pemilihan umum telah selesai, tetapi demokratisasi pemilihan umum itu akan dilihat pula dari aspek enforcement atas pelanggaran Pemilu maupun perselisihan hasil pemilihan umum.
Artikel lain yang menarik dikaji ialah tentang partisipasi publik dalam pembentukan peraturan daerah. Peraturan daerah sebagai pedoman dan dasar dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di dalam menetapkannya senantiasa tidak bisa dilepaskan dengan rakyat di daerah. Penyerahan kewenangan pemerintahan kepada daerah pada hakekatnya adalah kepada rakyat di daerah. Bagaimana peluang partisipasi masyarakat dalam proses legislasi atau penyusunan peraturan daerah melalui implementasi metode Regulatory Impact Assesment (RIA) sebagai sebuah metode yang terlembagakan dalam pemerintahan daerah.    
Artikel lain tentang amandemen UUD 1945. Hasil amandemen yang dilakukan oleh MPR tahun 1999-2002 merupakan kontribusi positif terhadap upaya perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia ke depan. Tetapi, hasil amandemen yang telah dilakukan MPR periode 1999-2004 masih menyisakan sejumlah persoalan. Untuk itu, berbagai ide penyempurnaan hasil amandemen UUD 1945 patut untuk diapresiasi secara konstruktif, agar penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik. Tidak perlu mensakralkan hasil amandemen UUD 1945, tetapi juga jangan terlalu ‘gegabah’ dalam mengubah UUD.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: February 24, 2009

Vol.. 15, No. 3 (2008)
English Version

Published: June 17, 2009

Vol.. 15, No. 2 (2008)
Vol. 15 No. 2 APRIL 2008

Perdebatan tentang apakah perusahaan mempunyai tanggungjawab sosial sudah terjadi sejak tahun 1930-an. Perdebatan tentang Corporate Social Responsibility dimulai kembali dengan terbukanya skandal bangkrutnya Enron dan perusahaan-perusahaan lainnya di Amerika. Corporate Social Responsibility dalam konsep yang luas mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Asasi Manusia, perburuhan, perlindungan konsumen, dan lingkungan hidup secara keseluruhan.UU di Indonesia telah mengamanatkan agar perusahaan melaksanakan tanggungjawab sosial, yakni tanggungjawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
Good Corporate Governance tidak serta merta dapat diterapkan secara baik oleh pihak-pihak yang ada dalam perusahaan itu sendiri, tetapi perlu adanya dukungan dari pihak regulator untuk membuat suatu payung hukum yang menaungi penerapan GCG. Untuk itu, sebaiknya prinsip-prinsip GCG dibuat dalam bentuk ketentuan perundang-undangan agar memiliki kekuatan hukum mengikat, mengingat sampai saat ini ketentuan mengenai GCG yang dibuat oleh Komite Kebijakan Nasional Corporate Governance hanya dalam bentuk rekomendasi. Oleh karena selama ini prinsip-prinsip GCG hanya berbentuk rekomendasi, maka perusahaan masih enggan untuk menerapkan GCG secara penuh.
Penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan yang baru beberapa saat dimulai di Indonesia memang belum dapat diukur efektifitasnya. Namun demikian, tidak ada salahnya jika kita belajar dari pengalaman Malaysia yang lebih dahulu menerapkan sistem tersebut. Malaysia diasumsikan telah memiliki pengalaman yang relatif utuh tentang penyelesaian kasus-kasus sengketa bisnis keuangan Islam.  Berbagai jenis kasus-kasus yang diselesaikan  memberikan kontribusi bagi perkembangan perangkat hukum dan juga sekaligus mewarnai perkembangan dari bisnis keuangan Islam di negeri tersebut. Melihat pengalaman Malaysia tersebut menjadi urgen, utamanya bagi Indonesia yang sedang dalam tahapan elementer dalam memasuki era penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan, setelah dalam satu dekade lebih mempercayakan penyelesaiannya hanya pada proses arbitrase syariah.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi  menyumbangkan pemikiran dalam  menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: February 24, 2009

Vol.. 15, No. 1 (2008)
Vol. 15 No. 1 JANUARI 2008

Fenomena korupsi politik yang menjangkiti lembaga negara mengindikasikan betapa praktek korupsi telah berlangsung secara sistemik. Kemauan politik dan pelaksanaan pemberantasan korupsi dalam pandangan ahli hukum diisyaratkan tetap dalam kerangka negara hukum. Kita melakukan perang terhadap korupsi, begitulah teriakan sebagian besar rakyat Indonesia. Namun, perang terhadap korupsi dan koruptor, terhadap premanisme, dan lain-lain, tidak boleh dilakukan di jalan-jalan atau di sembarang tempat. Identitas negara hukum menanggung konsekuensi diberlakukannya prosedur-prosedur hukum dalam upaya mensikapi, merespon, menanggulangi dan memberantas korupsi.
Kajian korupsi dan perlawanan terhadapnya dalam perspektif hukum Islam masih amat langka. Padahal sesungguhnya dalam khazanah syariah terhadap rujukan-rujukan mengenai masalah korupsi yang kiranya layak untuk menjadi bahan renungan. Pengembangan pemahaman tentang korupsi dan pemberantasannya dari perspektif hukum syariah sebagai salah satu dari kajian banyak cara yang harus digunakan secara simultan untuk melakukan pemberantasan korupsi memberikan beberapa keuntungan.
Materi lain yang dikaji adalah tentang urgensi judicial review dalam tata hukum Indonesia. Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konstitusi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional lainnya tidak dilanggar atau disimpangi  perlu ada badan serta tata cara mengawasinya. Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa ada dua lembaga yang bertanggungjawab untuk menjaga konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya melalui mekanisme judicial review, yakni Mahkamah Konstitusi yang bertugas menjaga konstitusi (UUD) dan Mahkamah Agung untuk menjaga peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Pasca otoritarianisme Orde Baru, harapan mendudukkan relasi kekuasaan secara ideal melalui amandemen UUD 1945 menjadi muara harapan, namun semangat untuk memperbaiki sistem yang ada dengan satu persatu melucuti kekuasaan eksekutif menjadi rancu ketika kita masih sepakat pada bentuk sistem Presidensiil, tetapi perubahan yang terjadi justeru mengarah kepada “quasi-Presidensiil†dengan semakin memperkuat positioning parlemen. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita sekarang.
Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi  menyumbangkan pemikiran dalam  menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.
Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Published: February 24, 2009

Vol. 14 No. 4 (2007)

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Lahirnya karya digital images di internet membawa dampak pada hukum. Salah satunya adalah ketentuan hukum hak cipta. Semestinya, ketentuan hukum hak cipta yang kini berlaku mampu merespon atas fenomena digital images di internet. Tidak terkecuali hukum hak cipta Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2002. Pada kenyataannya, UU tersebut telah mengatur karya-karya di medium internet, sekaligus hal ini menunjukkan bahwa UU No. 19 Tahun 2002 secara normatif juga telah memberikan perlindungan.

Seiring perkembangan zaman yang dipicu oleh pencapaian kemajuan teknologi informasi, fenomena pornografi di dunia cyber (internet) tentu dapat menimbulkan destruksi moral yang lebih dahsyat lagi. Internet yang bersifat sangat aksesabel, menjadikan sajiannya dapat dikonsumsi oleh siapapun tanpa mengenal batas usia. Dalam konteks demikian maka jika substansi dari sajian internet adalah berupa hal-hal yang pornografik (cyberporn), tentu “hukum†tentang kepantasan moral akan menjadi tidak berfungsi bahkan tidak berlaku sama sekali.

Materi lain yang disajikan dalam jurnal kali ini adalah instrumen yang dibentuk dalam upaya menegakkan HAM dalam hukum internasional yakni ICC atau yang dikenal sebagai peradilan pidana internasional. ICC ini menurut yuridiksinya berusaha mengadili pelaku kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimesagainst humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of agression) yang dikenal sebagai bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat. Dalam kenyataannya, ICC banyak menghadapi kendala.

Permasalahan lain yang juga menarik dikaji adalah mengenai lingkungan. Persoalan lingkungan menjadi isu yang sangat penting bagi semua bangsa dan memiliki implikasi yang berdimensi internasional seperti misalnya, kerusakan lapisan ozon, pemanasan global dan berkurangnya keanekaragaman hayati, sehingga memunculkan adanya tanggung jawab negara secara internasional. Oleh karena itu, bagaimana Hukum Lingkungan Internasional mengatur prinsip common but diffrenciated responsibility atas terjadinya pemanasan global? Dan bagaimanakah prinsip common but diffrenciated responsibility diimplementasikan dalam Protokol Kyoto ?

Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.

Semoga jurnal hukum yang terbit kali ini memberikan manfaat dan menambah wacana perkembangan dunia hukum.

Wabillahittaufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Redaksi

Published: August 25, 2009

Vol. 14 No. 3 (2007)

Bismillahirrahmanirrahiim Assalamu’alikum Wr. Wb.

Perbincangan mengenai perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) dan ekspresi budaya tradisional, sesungguhnya adalah perbincangan tentang perlindungan hukum atas ekspresi kreatif manusia. HKI dan ekspresi budaya tradisional, dalam hal ini sama-sama dipandang sebagai ekspresi kreatif manusia, dengan letak perbedaan pada baru dan telah lamanya saja masing-masing ekspresi tersebut. Karena itu, pada HKI dan ekspresi budaya tradisional sebenarnya terjadi hubungan yang dialektis mengenai perlindungan hukum terhadap ekspresi kreatif manusia. Dalam hubungan yang dialektis inilah perlindungan hukum terhadap ekspresi kreatif manusia seharusnya tidak terpusatkan pada ekspresi yang baru (HKI) saja, tetapi juga ekspresi lama yang tergolongkan ke dalam ekspresi budaya yang baru.

Materi lain yang juga menarik untuk dibahas adalah tentang iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Walaupun iktikad baik menjadi asas yang sangat penting dalam hukum kontrak dan telah diterima dalam berbagai hukum nasional dan internasional, tetapi sampai sekarang permasalahan tentang definisi iktikad baik tetap sangat abstrak. Tidak ada pengertian iktikad baik yang diterima secara universal.

Memasuki era reformasi, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang luas dalam pengelolaan di daerahnya, termasuk mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) Syari’at. Implementasi beberapa Perda Syari’at banyak menimbulkan kontroversi, bukan saja dari kalangan non-muslim yang menganggapnya sebagai perda diskriminatif, namun dari kalangan muslim serta para ahli hukum tatanegara tidak jarang yang menolak pemberlakuan Perda Syari’at, karena Perda Syari’at dianggap tidak sesuai dengan hukum ketatanegaraan Indonesia.

Artikel lain yang dapat disimak adalah tentang hak dan kewajiban asasi manusia. Dalam Perspektif Negara Madinah Sumber hukum tentang hak dan kewajiban asasi manusia dalam Negara Madinah adalah Al Quran, hadits, dan ijtihad, khususnya beberapa konvensi ketatanegaraan keempat al Khulafa’ ar Rasyidun. Berbeda dengan Hukum Barat yang bersumber pada kehendak rakyat, maka hukum Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul tanpa harus ada persetujuan rakyat.

 

Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat. Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Selamat membaca.

Wabillahittaufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Redaksi

Published: August 25, 2009

Vol. 14 No. 2 (2007)

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Urgensi perlindungan industri dalam negeri, salah satunya melalui penguatan sistem hukum remedi perdagangan. Instrumen kebijakan remedi perdagangan sangat penting untuk melindungi industri dalam negeri. Hal ini didasarkan pada alasan mengingat di satu sisi produk ekspor Indonesia seringkali dituduh merupakan produk dumping dan produk bersubsidi, dan sering juga dilakukan inisiasi untuk dikenakan tindakan pengamanan, tetapi di sisi lain Indonesia juga kebanjiran produk-produk impor dengan harga dumping dan bersubsidi dan tidak jarang mengalami lonjakan impor untuk produk-produk tertentu. Akibatnya industri dalam negeri mengalami kerugian atau terancam mengalami kerugian yang berdampak pada menurunnya perekonomian, dan pada gilirannya berdampak pula terhadap menyempitnya lapangan kerja atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ironisnya, di satu sisi Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak dituduh melakukan praktek dumping, tetapi di sisi lain dikategorikan sebagai negara yang paling rendah dalam melakukan tuduhan dan penyelidikan dumping. Tidak mengherankan pula jika dalam penyelesaian sengketa di lembaga penyelesaian sengketa WTO, yakni Dispute Settlement Body (DSB), yang didominasi kasus-kasus remedi perdagangan, partisipasi Indonesia pun sangat minimal. Melihat kondisi di atas, sudah merupakan keharusan bagi Indonesia untuk lebih proaktif mendayagunakan instrumen remedi perdagangan dalam rangka melindungi industri dalam negeri. Penerapan pasal-pasal pelindung sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik hukum dengan negara-negara maju. Dalam jurnal ini, akan dikaji beberapa hal penting di seputar pelaksanaan pasal tersebut, seperti analisa terhadap konsistensi pasal-pasal pelindung yang termuat dalam UU Paten Indonesia dengan perjanjian TRIPS dan evaluasi terhadap pasal-pasal pelindung tersebut dalam UU Paten Indonesia dari perspektif efektivitasnya dalam menjalankan fungsi sebagai pelindung terhadap dampak negatif perjanjian TRIPS di sektor kesehatan masyarakat.

Di samping persoalan di atas, persoalan lainnya yang disajikan adalah tentang kontoversi pidana mati yang sampai saat ini masih diperdebatkan. Membicarakan kontroversi hukuman mati kiranya cukup relevan untuk disimak lebih dahulu pemikiran-pemikiran apa yang melatar belakangi adanya kontroversi tersebut. Hal ini diperlukan untuk mendeskripsikan dan menyelami mengapa pidana mati selalu diperdebatkan orang. Sumber kontroversi berkisar pada perdebatan mengenai keabsahan pidana mati sebagai sanksi hukum dan efektifitas/kemampuannya sebagai pengendali kejahatan dalam kenyataan. Bahkan tidak jarang pula perdebatan tersebut pun dikaitkan dengan perspektif hak asasi manusia (HAM) serta doktrin agama yang antara lain mengajarkan bahwa hidup dan matinya makhluk adalah mutlak berada dalam wilayah hak Tuhan sebagai sang Khaliq (Pencipta). Bukan manusia (penguasa), sekalipun atas nama hukum.

Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel, dan kepada semua penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran kepada Jurnal Hukum.Semoga Jurnal Hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Wabillahittaufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Redaksi

Published: August 25, 2009

Vol. 14 No. 1 (2007)

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alikum Wr. Wb.

Memasuki lima tahun perjalanan reformasi, berbagai catatan kritis akan kami sajikan dalam edisi kali ini, khususnya dalam bidang ketatanegaraan. Namun demikian, penerbitan jurnal kali ini tidak lagi kami batasi dengan tema tertentu, tetapi disajikan dengan pilihan topik yang beragam.

Kebijakan otonomi daerah sejak digulirkan 1999 telah mendapat apresiasi positif dari masyarakat baik di pusat maupun di daerah. Namun tafsir terhadap kebijakan otonomi daerah sangat beragam. Ada yang menafsirkan otonomi daerah identik dengan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga perlu dibuat berbagai pungutan di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda), tetapi ada juga yang menginginkan perjuangan Islam Syari’at melalui pembentukan Perda (Berbasis) Syari’at (misalnya sebagian daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Jawa Barat).

Pada awal reformasi RUU tentang Pemda hanya menentukan empat urusan sebagai urusan absolut Pemerintah Pusat yakni hubungan luar negeri, moneter dan fiskal nasional, pertahanan keamanan-keamanan, dan peradilan. Namun menjelang RUU tersebut disahkan, ada yang mengusulkan agar “urusan agama†dijadikan juga sebagai urusan pusat. Sebab jika urusan agama didesentralisasikan dikhawatirkan muncul Perda-perda berdasar agama mayoritas setiap Daerah. Jika itu terjadi maka integrasi bangsa bisa terancam. Maraknya beberapa daerah yang menerbitkan Perda Syariat menarik untuk dikaji dalam perspektif politik hukum nasional.

Di samping persoalan otonomi daerah, persoalan nasional yang sampai hari ini terus menjadi polemik di masyarakat adalah tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara substantif DPD tidak diberi kewenangan yang sama dengan DPR dalam desain sistem bikameral menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejumlah anggota DPD, DPR, tokoh masyarakat, dan sejumlah ahli sudah berkali-kali mewacanakan amandemen ulang supaya disain bikameralnya lebih tegas (strong bicameral), tetapi hingga saat ini belum berhasil. Bagaimana prospek DPD dalam penerapan sistem bikameral di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan datang tentu menarik untuk dikaji.

Perubahan kekuasaan kehakiman terjadi karena semata-mata merespon tuntutan reformasi dan dilakukan dengan sangat parsial, akibatnya berbagai persoalan kelembagaan dalam kekuasaan kehakiman diselesaikan dengan cara parsial pula, bahkan terdapat lembaga peradilan yang muncul karena tuntutan politis dan hal itu tidak melekat secara langsung pada lembaga induk dari kekuasaan kehakiman. Hal ini disebabkan, karena lembaga kekuasaan kehakiman Indonesia saat ini tidak mempunyai grand design tentang format lembaga kekuasan kehakiman. Akhirnya, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel Jurnal Hukum, dan kepada penulis yang telah berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum yang muncul di tengah kehidupan masyarakat.

Semoga jurnal hukum ini memberikan manfaat dan menambah khasanah mengenai perkembangan hukum di Indonesia.

Selamat membaca.

Wabillahittaufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Redaksi

Published: August 25, 2009

Vol.. 13, No. 2
Mei 2006

Diskripsi Jurnal

Published: June 1, 2016

Vol.. 13, No. 1
Januari 2006

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alikum Wr. Wb

Proses pembentukan undang-undang di era reformasi yang melibatkan Pemerintah, DPRdan masyarakat, padadasamya adalah suatu bentuk ideal dalam proses pembentukan UU yang partisipatif guna melahirkan UU yangresponsif. Semua kekuatan politik secara rill termasuk masyarakat ada didalamnya. Akan tetapi, karena belum ditopang oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang mengaturpartisipasi masyarakat secaramemadai, maka bentuk yang ideal tersebut belum dapat menghasilkan produk undang-undang yang sepenuhnya responsif bagi keinginan masyarakat luas.

Dalam praktik seringkali dijumpai beragamnyajenis peraturan perundang-undangan yang menyulitkan pejabat daerah untuk memahaminya. Apayang harusdilakukan pemerintah agar pejabat daerah tidak terus menerus melakukan kesalahan dalam memahami hierarki peraturan perundang-undangan danmembuat peraturan daerah. Permasalahan ini iayak untuk dikemukakan karena pemahaman masyarakat tertiadap otonomi daerah sangat beragam, sehingga perlu ditegaskan koridor otonomi daerah dalam bingkal yang jelas agar tidak keluardarire! Yang sudah disepakati bersama dan membahayakan ekslstensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu dalam halpemuatan sanksi, padaumumnya Peraturan Daerah memuatsanksl pidana yang berupa pidana kurungan atau pidana denda. Sangat jarang sekali penegakan hukum Peraturan Daerah mengedepankan sanksi administrasi. Padahal berdasarkan ketentuan Pasa! 143 UUPD sangat jelas bahwa tidak ada larangan bahwa suatu Perda tidak boleh mencantumkan sanksi administrasi.

Secarakonstitutif, UUD1945 samasekali tidak mengatursecara ketat tentang syarat pencalonan dalam pilkada. Tetapi amanat implisit yang diwasiatkan konstitusi tersebut gagal disikapi secara tepat oleh pembuat undang-undang. Bukti empirisnya UU No. 32/2004 Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59ayat (1) secara diskriminatif hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pencalonan dalam pilkada. Ketentuan tersebut membuat peluang calon independen untuk tampil dipilkada menjadi tertutup. Padahal kehadiran calon independen dalam pilkada sifatnya mutiak dan tidak bisa dihindari. Kebijakan yang memberikan otoritas tunggal pada parpol menjadi kurang relevan, karena parpol diIndonesia banyak yang bermasalah. Akhir kata dari kami, mudah-mudahan Jumal Hukum edisi kali ini dapat bermanfaat dan menambah wacana bagi pembaca yang budiman.

Selamat membaca.

Billahittaufiq walhidayah

Wassalamu'alikum Wr. Wb.

Published: June 3, 2016

Vol.. 12, No. 30
September 2005

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum wr.wb.

Pada edisikali ini, sengaja kami menyajikan artikel-artikel yang variatif dari berbagai bidang ilmu hukum, karena edisi kali ini merupakan edisi terakhir dari dua tahun masa akreditasi jurnal kami, sehingga kami tidak membatasi artikel pada tema utama ataupun tema lepas. Meskipun artikel yang kami tamplikan variatif, aktualisasi permasalahan dan ketajaman dalam analisis yang dimunculkan dalam setiap tulisan tetap menjadi focus utama.

Salah satu permasalahan yangmenjadi perdebatan publik berkaitan denganinvasi tenlaraAmerika (dansekutunya) ke Irak dimatainternasional adalah legaiitas perangdan pertanggungjawaban perang tersebut di mata hukum internasional. Publik mempertanyakan apakah sah serangan Amerika ke Irak. Di samping itu, dampak lain yang timbul dari perang Irak adalah masalah tawanan perang, yang beberapa saat lalu diberitakan di media internasional adanya perlakuan yang tidak sepantasnya terhadap mereka oleh tentara Amerika. Baik darikacamata hukum humaniter internasional maupunhukum Islam, perlakuan tentara Amerika terhadap tawanan perang di Irak tidak dapat dibenarkan. Ada hal-hal prinsip bagi tawanan perangIrak yang harus di lindungi oleh hukum.

Materi lain yang juga menarik dikaji adalah eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta dan pengisian jabatan gubernur. Selama ini, jabatan Gubernur di DIY selalu dilakukan melalui sistem pengangkatan (belum pernah melalui pemilihan). Sebagaimana diketahui bersama, MPR telah mengamandemen Pasal 18 UUD1945 yang didalamnya mengatur masalah eksistensi daerah Istimewa. Pasal 18 (baru) ayat (4) UUD1945 menegaskan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provlnsi, kabupaten, dan kota dipiiih secara demokratis. Ketika Pasal 18 UUD 1945 telah diamandemen, apakah mekanisme pengangkatan Gubernur di DIY tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945?

Imbas pemilihan langsung juga terasa di daerah isu yang mencuat dari pelaksanaan Pilkada langsung antara lain money politician, money loundering. Pilkada disatu sisi memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk memilih secara langsung pemimpin daerahnya, namun disisi lain, Pilkada dimaknai sebagai pesta rakyat yang sangat kental dengan kedua isu tersebut. Dampak lain dari pelaksanaan Pilkada adalah munculnya tarik menarik antara hukum dan politik dalam kasus sengketa hasil Pilkada Depok, karena hasil Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan Nur Mahmudi dan Yuyun S. dianulir oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Hingga jurnal ini akan diterbitkan belum ada kejelasan siapa yang akan memimpin Kota Depok lima tahun kedepan.

Akhir katadari kami, semogaJurnai Hukum yangterbit kali Ini dapatmemberikan solus! terhadap permasalahan hukum ditanahalr. Pengurus Jurnai Hukum FH Ui! mengucapkan "Selamat Menunaikan Ibadah Puasa"Semogaamaiibadankita diterima oleh Allah SWT. Amin.

Billahittaufiq wal hidayah

Wassalamu'alaikum wr.wb. Redaksi

Published: June 2, 2016

Vol.. 12, No. 29
Mei 2005

Bismiilahiirahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum wr.wb.

Dewasa ini para ahli geologi dan kegempaan menyimpulkan bahwa bencana alam bukan merupakan peristiwa tunggal yang bersifat alamiah semata. Melainkan terkait dengan perilaku umat manusja yang menyimpang dan rakus terhadap sumber kekayaan alam. Sehingga efek sampingan terhadap ketidakseimbangan ekosistem tersebut tidak dapat dicegah. Dalam al-Qur'an ditegaskan bahwa telah terjadi kerusakan di darat dan laut disebabkan akibat ulah manusia yang melebihi batas. Perbuatan yang menimbulkan kerusakan tersebut, baik bagi alam maupun tatanan masyarakat antara lain disebabkan oleh karena ulah tangan-tangan kekuasaan yang jahil dan tidak adil.


Dampak negatlf dari bencana alam yang ditimbulkan bukan hanya mengancam keamanan dan keselamatan manusia (human security), dan telah menjadi beban ekonomi negara dan masyarakat. Tetapi, dampak lainnya adalah timbulnya pengungsi yang begitu besar jumlahnya dan bencana terhadap sistem ekcnomi nasional juga telah menjadi ancaman yang signifikan.


Di tempat pengungsian tersebut banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya, hal itu telah menggugah banyak orang untuk melakukan pengadopsian terhadap anak-anak malang tersebut. Dengan demikian penanganan anak-anak Aceh korban gempa dan tsunami semakin penting. Untuk itu, Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak Aceh untuk melindungi hak-hak mereka, sebagaimana
anak-anak yang lain.


Pengungsi yang disebabkan oleh bencana alam sebagaimana yang terjadi di Aceh ini, menurut ketentuan
hukum internasional disebut Internal Displaced Persons (IDPs). Salah satu kewajiban internasional adalah
membantu dan melindungi hakJDPs diwilayah negaranya. Kalau suatu negara tidak mampu dan tidak berkehendak untuk membantu serta melindungi hak-hak IDPs, berarti negara tersebut telah melanggar kewajiban intemasionalnya.


Bentuk bantuan dari masyarakat internasional beraneka ragam bentuknya, ada yang segera atau langsung dapat dinikmati korban bencana. Namun banyak pula yang maslh berupa janji. Bagalmana sebenarnya janji negara donor tsunami Aceh dalam perspektif hukum Internasional, apakah janji tersebut mengikat secara hukum? Dapatkah lndonesia juga negara-negara korban lainnya menuntut realisasi janji tersebut? Adakah upaya-upaya yang dapat dilakukan supaya negara korban tidak hanya menerima janji kosong dan sebaliknya negara donor tidak mudah mengumbar janji kosong?


Jurnal Hukum edisi kali ini akan menyajikan beberapa persoalan hukum berkenaan dengan dampak peristiwa bencana tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam sebagal tema utama, serta berbagai persoalan hukum lainnya yang menarik untuk disimak sebagal artikel lepas.
Akhirnya, segenap pengurus Jurnal Hukum berharap semoga artlkel yang disajikan dalam jurnal ini
dapat bermanfaat dan menambah wacana kita. Amin.
Selamat membaca.


Billahittaufiqwal hidayah
Wassalamu'alaikum wr.wb.

Published: June 7, 2016

Vol.. 12, No. 28
Januari 2005

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu'alaikum wr.wb.

Kehidupan ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi dan Pembahan UUD 1945 telah memberikan warna yang dinamis dalam ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 yang dulu di masa Orba 'disakralkan' telah mengalami perubahan yang sangat fundamental. Hasil Perubahan UUD 1945 pun banyak mengadopsl prinsip-prinsip baru dalam bidang ketatanegaraan, misalnya, pemisahan kekuasaan, check and balances, dan demokratisasi.

Salah satu kesepakatan MPR dalam melakukan perubahan UUD 1945yakni tidak merubah Pembukaan UUD 1945, karena hakikat Pembukaan UUD merupakan kaidah fundamental negara. Perubahan lainnya berkaitan dengan relasi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Selama Ini, UUD 1945 bernuansa executive heavy. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam UUD 1945 terlihat setidaknya pada Pasal 5 ayat (1), yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Konsekuensi pengaturan yang demikian itu menyebabkan masuknya 'intervensi' kekuasaan eksekutif kedalam semua kelembagaan negara. Setelah dilakukan perubahan UUD 1945, bukannya terjadi keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, tetapi kekuasaan negara justru bergeser ke arah penguatan legislatif atau biasa disebut legislative heavy.

Salahsatu konsekuensi logis dari Perubahan UUD 1945, adanya perubahan kelembagaan negara, termasuk di dalamnya adalah MPR. Melalui perubahan tersebut MPR telah mendekonstruksi dirinya menjadi parlemen soft bicameral bahkan adayang menyebutnya trikamerai. Akibat dari perubahan struktur dan kelembagaan MPR tersebut, dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPR/S. Hal itu dilakukan karena telah ada kesepakatan untuk menghapuskan Ketetapan MPR/S sebagai sumber hukum di Indonesia.

Jurnal Hukum edisi kali ini akan mengetengahkan berbagai persoalan aktual di bidang hukum ketatanegaraan yang muncul pasca amandemen sebagai temautama, serta beberapa persoalan hukum lain yangmenarik untuk disimak sebagai artikel lepas.

Akhimya, kami atas namaredaksi Jumal Hukum berharap mudah-mudahan lontaran ide dan analisis yang ingin diwacanakan dalam jurnal ini dapat bermanfaat dan menambahminat pembaca untuk lebih mendalami berbagai persoalan tersebut. Amin.

Billahittaufiqwalhidayah

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Redaksi

Published: January 22, 2016

Vol.. 11, No. 27
SEPTEMBER 2004

Pembangunan tidak hanya berdampak positif namun juga mempunyai efek negatif, baik itu terhadap kelangsungan hidup manusia maupun terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dalam waktu yang bersamaan pembangunan juga menimbulkan berbagai perusakan dan pencemaran yang mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan di bidang lingkungan hidup.

Seiring dengan pesatnya pembangunan diera globalisasi yang menuntut akan kebutuhan dan ketergantungan manusia terhadap sumber daya alam yang semakin besar, tidak menutup kemungkinan kondisi seperti itu akan menimbulkan gesekan-gesekan dalam setiap aktlvitas manusia. Atau dengan kata lain, kondisi sedemikian sangat potensia! Mendatangkan sejumlah konflik kepentingan antara satu warga dengan warga lainnya, antara pengusaha dengan warga mansyarakat, antara pengusaha dengan pemerintah, dan antara warga masyarakat dengan pemerintah.

Untuk mengantisipasi munculnya konflik tersebut sekaligus menyelesaikan konflik yang muncul, diperlukan suatu aturan hukum melalui sistem penegakan hukum lingkungan yang tidak hanya ditujukan untuk memberikan hukuman kepada perusak atau pencemar lingkungan, tetapi juga ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan yang dapat menimbulkan perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, penegakan hukum lingkungan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga bersifat preventif. Kendati demikian, aturan hukum yang diciptakan membutuhkan suatu sifat keterbukaan dimana setiap warga negara dapat memperoleh informasi tentang proses pembentukan keputusan.

Keterbukaan menjadi sangat penting artinya untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik dan demokratis. Selain itu, Jurnal Hukum kali ini juga menginformasikan lahirnya undang-undang barud ibidang ketenagakerjaanya itu, UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang secara prinsip mengubah proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang semula penuh campurtangan pemerintah, dikembalikan kepada para pihak untuk secara suka rela menyelesaikan sendiri perselisihannya melalui pengadilan (litigasi).

Akhirnya, melalui jurnal hukum yang terbit kali ini segenap pengurus Jurnal Hukum FH Ull ingin mengucapkan pertama, "Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1426 H" dan kedua, ikut berduka cita atas musibah yang menlmpa masyarakat Aceh. Semoga, gelombang tsunami yang baru saja membelah bumi Indonesia hanyalah sebuah sapaan lembut yang mencoba menyentuh ranah tutur kita untuk sekedar berucap bahwa "sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan kepada-Nya jua segalanya akan kembali".

Published: June 8, 2016

Vol.. 11, No. 26
Mei 2004

Bismillahiirahmanirahim

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Jurnal Hukum yang hadir di hadapan pembaca kali ini membicarakan munculnya lembaga-lembaga baru di bidang peradllan di era reformasi, sebagaimana bentuk kepedulian terhadap realitas korupsi di Indonesia yang dinilai semakin memprihatlnkan dan telah menimbulkan kerugian besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara, sehingga menghambat pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean govern ment), kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan masyarakat. Sementara itu, upaya pemberantasan korupsi yang telah berjalan selama ini dinilai belum terlaksana secara optimal. Karena aparat penegak hukum yang bertugas menangani perkara tindak pidana korupsi dipandang belum dapat berfungsi secara efektif dan efisien.

Namun, stagnasi atau bahkan kemunduran penegakan hukum terhadap KKN dalam kurun lima tahun era reformasi, tampaknya telah menjadikan masyarakat Indonesia sudah tidak sabar lagi mendengar berbagai alasan klasik aparat yang menangani kasus-kasus tersebut. Oleh karena itu, wajar jika muncul desakan mengenai perlunya suatu badan khusus (mandiri) yang dapat bekerja secara multidisiplin dengan kewenangan dan kemampuan untuk mengambil alih tugas dan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang terindikasi "macet" atau sengaja "dimacetkan".

Dengan disahkannya UU No. 30 Tahun 2002 berarti telah disepakati hadimya institusi baru dalam Peradilan Korupsi di Indonesia yang diberi nama resmi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau popular dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kehadiran KPK dengan tugas danwewenang spesial seperti melakukan koordinasi dan supervisi terhadap fungsi-fungsi penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang seharusnya dijalankan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan, tidak akan melahirkan tumpang tindih kinerja di antara lembaga-lembaga tersebut dan sekaligus juga tidak merusak sistem peradilan pidana yang ada.

Sebagai pelengkap, jurnal ini menyajikan beberapa artikel lepas dengan tema sebagai berikut: Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia; Kriminalisasi dalarifi Peraturan-peraturan Daerah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perspektif Politik Kriminal; Denda Adat dalam Penjatuhan Pidana (Studi Kasus Kejahatan Kekerasan di Pengadilan Negeri Merauke-Papua); Beberapa Catalan Mengenai UU Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997); Sumbangan Dana Kampanye Pemilu dan Kejahatan Korporasi; Imunitas Negara Asing di Forum Pengadilan Nasional dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat: Studi kasus Putusan The European Court on Human Right dalam Al-Adsani vs The United Kingdom 21 Nopember2001; dan Eksistensi Hak Ulayat dalam Pembangunan Daerah.

Akhir kata dari Kami, selamat membaca!

Redaksi

Published: June 8, 2016

Vol.. 11, No. 25
Januari 2004

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Keberadaan pasarmodal disuatunegara berfungsi sebagai altematif pemblayaan bag! dunia usaha. Pasarmodal diharapkan dapat melengkapi lembaga keuangan lainnya, misalnya sistem perbankan, sebagai altematif pendanaan bag! dunia usaha,sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Ketika iembaga keuangan lainnya mengalami kelesuan, pasar modal diharapkan mampu mensuplal kebutuhan danabagi dunia usaha.Sebaliknya, ketika pasarmodal kurang bergairah, maka kebutuhan dana dapat disediakan dari lembaga keuangan lainnya.

Untuk dapat berperan iebih signifikan sebagai sumber pendanaan, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dipasarmodal, sehingga masyarakat (investor) bersedia berinvestasi dipasar modal. Pertama, diperlukan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas, sehingga pasar modal di Indonesia sejalan dan dapat diterima tidaksaja olehinvestordaiamnegeri tetapi jugadaiampercaturan duniaintemasional. Standar perliaku dan reguiasi industri pasar modal harus menglkuti standar intemasional. Termasuk memperjelas eksistensi hukum dari lembaga-lembaga yang terkait daiam perdagangan efek dipasarmodal, dan memperjelas atau menghapuskan peraturan yangtidak jelas.Kedua, penegakan hukum termasuk pengenaan sanksibagi siapa saja yang meianggar ketentuan yang berlaku dipasarmodal. Padasisi lain, pemerintah harusmendorong terciptanya praktik bisnis yangsehat dan transparan. Misalnya, transparansi produk-produk yangdihasiikan perusahaansekuritas dan keglatan usahaemiten. Hal ini sangat penting, karenasejak Maret 2003telahdiperkenalkan pasar modal syariah, sehinggabagi umatIslam tidak ada keragu-raguan ketika akan memiiih pasarmodal sebagaialtematif berinvestasi.

Di samping itu pemerintah harus meningkatkan integritas pasar modal. Misalnya, meningkatkan penerapan goodcorporate governance untuk meiindungi parapemegang saham perusahaan gopublic, terutama pemegang saham minoritas. Fungsipengawasan di pasar modalhams iebih diperkuat, dan intervensi pemerintah hams direduksi seminimai mungkin. Pengembangan infrastruktur hams tems dit'ngkatkan, misalnya meningkatkan kualitas lembaga pemeringkat, sehingga pasarmodal yang iikuid dapat tercipta.

Edisi Jumal Hukum kail ini mencoba menav/arkan beberapa altematif pengembangan industri pasar modal di Indonesia, bentuk-bentuk peianggaran yangterjadi, jenisInvestasi yangbanyak diminati dipasar modal yaitu reksadanakontrak investasi kolektif, serta pasar modal syariah sebagai bentuk pasar modal altematif. Daiam artikei lepas,tema-tema yang disajikan diantaranya: persoaian poiitik hukum Hak Cipta di Indonesia yangsarat akantolak-tarik kepentingan nasional danglobal; makna reformasi hukum bagi pelaku bisnis diIndonesia: fenomena Golput pascapemilu caleg ataupun capres/cawapres 2004 ditinjau dari sudut hukum ketatanegaraan; pemilu dandemokrasi telaah terhadap prasyarat normatif pemliu; penegakan hukum daiam era reformasi; serta persoaian hukum Islam seputarwakafdan metodologi hukum islam. Akhir kata dari kami, tiada perubahan tanpa suatu dinamika, tiada kemajuan tanpa sportivitas, keterbukaan, dankerja keras. Maju bersamamembangun kultur intelektual yangkritis danmendinamisasikan hukum yangresponsif.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Redaksi

Published: June 7, 2016

Vol.. 10, No. 24
September 2003

Assalamu'alaikum wr wb.

Bismillahirrahmmaanirrahiim.

Jurnal Hukum Fakultas Hukum UII edisi kali ini menyajikan tema utama tentang hukum pidana. Beberapa artikel aktual di bidang hukum pidana yang akan hadir antara lain, kontroversi atas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP), kajian terhadap RUUAPP, dan penerapan Yurisdiksli Alien Tort Claim Act dalam Perspektif Hukum Pidana Intemasional.

 

Published: June 3, 2016

Vol.. 10, No. 23
Mei 2003

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kehidupan ketatanegaraan dalam Orde Reformasi di bawah Pemerintahan Megawati (1999-2004) mengalami perubahan yang begitu pesat. Hal in! dipicu oleh beberapa hal, diantaranya adalah dilakukannya deregulasi kebijakan di bidang legislasi dan kelembagaan negara yang responsif terhadap tuntutan aspirasi masyarakat. Ini ditunjukkan dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dimana masyarakat daerah memliiki hak untuk mengembangkan potensi daerahnya melalui Perda sebagai perangkat hukumnya.

Di satu sisi, langkah deregulasi kebijakan di atas dinilai cukup-prestislus. Karena, dllihat dari bidang legisiasi, banyak perubahan-perubahan yang dilakukan baik melalui langkah amandemen DUD 1945 dan Undang-undang crganik lainnya maupun pembaharuan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Sedangkan dari bidang kelembagaan negara, bermula dari perubahan konteks peraturan perundang-undangan yang ada, kemudian membawa impiikasi terhadap pembentukan kelembagaan negara baru dan tatanannya secara sistemik ketatanegaraan.

Sementara di slsi lain, kebijakan-kebijakan baru dalam konteks sebuah slstem terkadang diikuti pergeseran-pergeseran yang menimbulkan Implikasl'hukum tertentu. Seperti, pergeseran dalam sistem hubungan kekuasaan negara di mana sebelumnya (UUD 1945 Lama) menganut distributlon/devision of powerd antara ketlga cabang kekuasaan primer negara (legisiatif, eksekutif, dan yudikatlf), kini setelah amandemen UUD 1945 menganut separation of power dan bicameral system. Dalam sistem demikian, di Pariemen hanya ada dua badan yaknl DPR dan DPD sedangkan MPR sudah dihapus. Di daerah, otonomisasi membawa implikasi eksklusivitas dalam memproduksl Perda-perda utamanya sejenis pungutan. Perda-perda yang semula dimaksudkan sebagai sarana pendapatan pajak dan retribusi daerah diselewengkan menjadi alat pemeras terhadap kelompok dunia usaha. Permasalahan lain yang muncui dari deregulasi kebijakan di atas adalah terjadinya anomali sistem dan over lappinging dualisme baik di antara produk peraturan perundang-undangan yang ada maupun organ dan atau fungsi dl antara kelembagaan negara tersebut.

Dalam Jurnal Hukum dengan tema Problema Legislasi dan Kelembagaan Negara kali Ini mencoba menyajikan beberapa artikel utama yang mengupas permasalahan mendasar di atas.

Semoga pembaca yang budiman dapat menambah wacana dan cakrawala berpikir bagi perbaikan sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia.

Wassalamu'alalkum Wr. Wb.

Redaksi

Published: June 3, 2016